Konten dari Pengguna

Pasar Tradisional, Banyaknya Sumber Cerita yang Emosional

LUDWINA ANDHARA HERAWATI
Mahasiswa dari Politeknik Negeri Jakarta, yang hingga saat ini masih menekuni materi yang berkaitan dengan Desain dan Jurnalistik. Semester ini semakin diberi tantangan untuk berani menulis kejadian dan peristiwa yang terjadi di sekitar saya.
12 Juli 2023 8:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari LUDWINA ANDHARA HERAWATI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Pasar Klender sore hari setelah hujan, suasana ramai terkendali. Sumber: Ludwina Andhara Herawati.
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Pasar Klender sore hari setelah hujan, suasana ramai terkendali. Sumber: Ludwina Andhara Herawati.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, orang-orang pergi ke pasar hanya sekadar bertransaksi jual-beli, dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Baik dari segi penjual maupun pembeli mereka sama-sama mendapat untung.
ADVERTISEMENT
Penjual mendapat untung dari hasil lakunya barang dagangan, dan sisi pembeli yang mendapat untung dari barang yang ia inginkan dengan harga miring. Tidak hanya itu, pasar juga sudah terkenal akan keramahan dan interaksi yang unik antar penjual dan pembeli. Maka tak heran jika pasar masih digandrungi masyarakat hingga saat ini.
Namun tahukah kamu, bahwa pasar bukan hanya sekadar transaksi jual-beli saja? Lebih dari itu, pasar menjadi gudang kisah unik yang dialami penjual maupun pembeli. Mulai dari kisah mengharukan, membahagiakan, hingga kisah sedih pun dialami.
Seperti itulah saya memandang pasar pada awalnya. Hanya sebatas menjual barang-barang perabotan, sayur, buah, lauk-pauk, bahkan ada yang menjual jamu dan obat.
Ilustrasi pedagan sayur di pasar tradisional. Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan
Tempat yang terkenal becek dan kotor akibat sampah pun juga bukan sorotan yang unik untuk dibahas. Namun seluruh pandangan saya sirna ketika berbelanja sembari mengobrol dengan beberapa orang yang saya temui di pasar.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika saya bertemu dengan seorang bapak tua penjual sayuran. Kebetulan ia menjual Labu Siem, Daun Ubi, Kangkung dan Sawi Hijau. Kebetulan ibu saya sudah lansia, sehingga hanya ingin Labu Siem dan Daun Ubi. Takut asam urat, katanya.
Maka saya membeli dua sayuran tersebut. Hal yang membuat saya terkejut adalah ia memberikan semua sayuran yang tersisa, namun diberi harga yang tak masuk akal murahnya.
"Udah neng gapapa, saya cuma buat ngabisin aja. Sayang dibawa pulang, lumayan juga buat ongkos pulang," ujar bapak tua itu. Tentu momen tersebut mengingatkan saya pada almarhum ayah, sehingga saya memberikan uang tambahan untuk semua sayur yang ia berikan.
Ilustrasi pasar tradisional. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Bukan hanya itu, saya pernah membeli satu setel celana untuk dikenakan sehari-hari. Dengan gigih, ibu penjual baju memilah-milah baju layak jual, lalu digantungkan di beberapa area untuk dipamerkan. Sembari menunggu waktu anak saya pulang, kami saling bertukar cerita. Betapa terkejutnya saya ketika mendengar bahwa anaknya sepantaran dengan anakku, bahkan sedang mencari tempat magang.
ADVERTISEMENT
"Iya nih anakku kan jurusan SMK nya Mesin. Jadi lagi bingung juga mau magang di mana, karena kurangnya rekomendasi," ujar ibu penjual baju.
Saya teringat saudara saya yang bekerja di salah satu bengkel otomotif ternama. Saya menghubunginya, lalu memberitahukan kabar baik kepada ibu tersebut. Saya teringat betapa bahagianya ia mengetahui anaknya bisa mendapat tempat magang.
"Aku ga paham nasib anakku jika ga ketemu sama kamu," ujar ibu tersebut.
Dua dari sekian kisah yang belum diceritakan, saya belajar banyak hal tentang pentingnya perjuangan dan semangat menjalani hidup. Tidak hanya itu, seluruh kisah yang saya dengar dan alami membuat persepsi saya tentang pasar terkikis. Bukan hanya sekadar jual-beli atau barang lebih murah dan mudah, namun kisah mereka yang membuatnya khas dan otentik.
ADVERTISEMENT