Mengajarkan Anak tentang Arti Kehilangan

Lufti Avianto
Life Story Teller // a man behind Books4Care, Auf Projects dan Kinaraya.com
Konten dari Pengguna
11 Februari 2022 8:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lufti Avianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kehilangan tak melulu soal tangisan. Mempersiapkannya jauh lebih penting.
zoom-in-whitePerbesar
Kehilangan tak melulu soal tangisan. Mempersiapkannya jauh lebih penting.

Kematian memang selalu datang mendadak. Kita takkan pernah tahu, kapan ia menjemput setiap makhluk yang bernyawa. Lebih baik kalau kita bisa mengambil pelajaran dari kehilangan dan mempersiapkannya.

ADVERTISEMENT
Rabu siang itu, istri mengabarkan di grup keluarga, Apin meninggal dunia. Ia ditabrak mobil ketika main di depan rumah. Dari keterangan para saksi mata, kepala Apin terlindas ban belakang mobil berwarna cokelat. Tubuh dan tengkoraknya tampak utuh, namun mulutnya mengeluarkan darah.
ADVERTISEMENT
Saya shock membaca pesan itu. Memori beberapa hari terakhir bersama Apin, seketika berkelebatan seolah menjadi sinyal tanda kematiannya. Pagi sebelum kematiannya, Apin terlihat merenung di depan jendela, memandang dengan tatapan kosong ke arah luar.
“Tumben kamu, Pin…” kata istri. Tapi Apin bergeming.
Yang lebih shock, tentu saja anak-anak. Mereka menangis begitu tahu Apin meninggal di tempat kejadian. Si sulung bahkan berteriak histeris sambil memanggil-manggil namanya, lalu mengurung diri di kamar. Ia bahkan tak mau diajak bicara sampai malam harinya. Si Nomor Dua, tampak lebih tegar. Malam hari ketika saya masih di kantor dan kami video call, ia masih sempat bercerita tentang insiden itu.
“Mulut Apin keluar darah, Bi…” hati saya makin ngilu.
ADVERTISEMENT
Terbayang bagaimana Apin, pada suatu hari di awal masa pandemi, datang ke rumah dalam keadaan lusuh. Si sulung yang lebih banyak mengurusnya. Memberikan makanan secara rutin, memandikannya sampai mengurus kotorannya.
Ya, Apin adalah kucing liar yang singgah begitu saja di rumah. Lalu anak-anak mengurusnya hingga menjadi kucing peliharaan kami karena tidak ada warga yang melaporkan kehilangannya.
“Kenapa dikasih nama Apin?” saya bertanya ketika tahu anak-anak memanggilnya begitu.
“Karena nama kucing Upin-Ipin kan si Apin…” jawab si sulung. Saya tak heran, karena kami sekeluarga juga mengikuti film animasi anak-anak itu.
“Tapi kamu harus merawatnya ya…” saya memberi begitu banyak syarat kalau mau Apin tetap di rumah. Si sulung setuju. Ia tahu betul konsekuensinya bila malas merawat Apin.
ADVERTISEMENT
Sudah hampir dua tahun, Apin tinggal bersama kami. Si sulung dengan telaten merawat kucing jantan yang baru beranjak remaja itu. Meski harus sering diingatkan, namun kali ini, si sulung sudah lebih bertanggung jawab. Kalau ia berhalangan memberi makan, si nomor dua yang menggantikan tugas merawat Apin.
Lepas shalat subuh setelah kematian Apin, saya bicara pada anak-anak untuk menghibur mereka.
“Yang kalian lakukan selama ini kepada Apin, nggak akan sia-sia…” saya membuka pembicaraan.
“Maksudnya?” mereka heran.
“Merawat hewan itu, perbuatan baik dan itu berpahala. Perbuatan baik itu berguna bagi pelakunya. Jadi, kalau kamu sayang sama Apin, kasih makan, dimandikan, itu sudah baik dan kamu akan mendapat pahala dari Allah.”
Saya mencoba membesarkan hati mereka. Agar mereka yakin, kasih sayang terhadap binatang pun tidak akan sia-sia. Juga memberikan pengertian bahwa tidak ada pengendara motor atau mobil yang akan dengan sengaja melindas kucing di jalan.
ADVERTISEMENT
“Jadi kita harus memberi maaf, meski si pengendara belum meminta maaf,” pembicaraan pagi itu, ditutup dengan janji saya untuk mencari pengendara itu, dan dengan segala kerendahan hati, memintanya untuk meminta maaf kepada anak-anak.
Tak sulit untuk mencarinya. Jelang sore, saya bertanya di grup WA Warga perumahan khusus bapak-bapak, perihal insiden itu. Lalu seorang bapak yang tinggal beberapa blok di sebelah timur, mengakuinya. Kami lalu bicara melalui pesan WA, memintanya untuk datang ke rumah kami untuk meminta maaf kepada anak-anak agar menjadi penghibur hati mereka atas kehilangan kucing kesayangan.
Saya utarakan maksud permintaan itu sebab ingin memberikan pendidikan kepada anak-anak agar ia tak salah paham.
ADVERTISEMENT
Saya bersyukur, bapak itu datang ke rumah malam harinya. Dengan segala kerendahan hati, ia juga meminta maaf kepada anak-anak karena tak sengaja melindas Apin. Ia juga menenteng dua kotak pizza sebagai penghibur bagi anak-anak.
Anak-anak tampak ikhlas dan sudah bisa menerima kepergian Apin. Malamnya, mereka tidur dengan perasaan bahagia dan merasa dihargai.
Kami mendiskusikan insiden itu kembali lepas shalat subuh tadi. Saya memancing pertanyaan, “Apa pelajaran yang bisa kalian ambil dari kehilangan Apin?”
Si nomor dua berujar, “Tanggung jawab. Kalau kita bersalah harus minta maaf.”
Si sulung mengangguk setuju.
“Betul, tapi bukan cuma itu.”
Saya lantas menjelaskan bahwa dari kesalahan, kita harus berani mengakuinya. Dari kesalahan kita belajar meminta maaf dengan rendah hati. Dari kesalahan, kita belajar memperbaikinya dengan perbuatan baik. Dan dari kesalahan, kita belajar bertanggung jawab dan siap menghadapi konsekuensinya.
ADVERTISEMENT
“Dan Bapak itu sudah mencontohkannya. Orang dewasa seperti Abi dan Ibu juga bisa melakukan kesalahan. Jadi, kalau kamu melakukan kesalahan, kamu juga harus begitu…”
Mereka diam seolah berusaha mencerna kata-kata tadi.
“Satu lagi….” Anak-anak terlihat menunggu.
Insiden ini juga mengajarkan kami tentang kehilangan dan mempersiapkannya.
“Setiap yang bernyawa pasti akan….?”
Mereka menjawab kompak, “Mati…!”
Saya mengangguk. “Hewan, tumbuhan dan manusia seperti Abi, Ibu dan kalian kelak akan mati juga. Ada batas waktunya. Apin juga begitu…”
Mereka lantas teringat dengan obrolan beberapa hari sebelumnya tentang cita-cita kami sebagai orangtua: untuk menjadikan mereka anak-anak yang shalih dan shaliha sebagai “aset terbesar” ketika kami tiada, selain ilmu yang bermanfaat dan sedekah jariyah.
“Kalau Abi dan Ibu sudah nggak ada, jangan lupa doain ya….”
ADVERTISEMENT