Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Manusia dan Narasi 'Hidup Berdampingan dengan Alam'
2 Juni 2024 16:15 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari LUH GADING PANITISAN SOEWARNO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini di media sosial sedang trend mengenai sustainable-living atau gaya hidup berkelanjutan, yang juga dipahami sebagai gaya hidup ramah lingkungan. Tren ini bermula dari kekhawatiran masyarakat mengenai kondisi bumi yang makin memburuk dari hari ke hari dikarenakan adanya pemanasan global.
ADVERTISEMENT
Banyak masyarakat dari berbagai pihak yang menggaungkan tren hidup berkelanjutan ini dengan berbagai cara, seperti memperkenalkan slow fashion, membawa botol minum sendiri ketika membeli minuman di cafe, beberapa supermarket sudah menyediakan tas belanja dari kain, dan packaging barang-barang yang terbuat dari produk daur ulang. Bahkan industri besar pun mulai beralih ke energi ramah lingkungan dalam mengoperasikan pabrik mereka.
Tidak sedikit warganet yang berandai-andai menjalani kehidupan yang harmonis berdampingan dengan alam, di mana mereka dapat hidup dengan pemandangan hijau, udara yang segar tiap harinya, dan hidup yang apa adanya.
Namun sebenarnya manusia bisa tidak sih, hidup berdampingan dengan alam?
Hidup Berdampingan dengan Alam?
Mendengar frasa "hidup berdampingan dengan alam", kita akan terbayang hidup tradisional di pedesaan di mana terbentang pemandangan hijau dan udara segar, dengan suara kicau burung dan air sungai yang mengalir.
ADVERTISEMENT
Hidup berdampingan dengan alam di masa modern ini memang memiliki banyak tantangan, karena kita dihadapkan pada dunia yang bergerak sangat cepat dan memaksa kita untuk terus beradaptasi dengan perubahan yang selalu terjadi. Manusia dihadapkan pada banyak pilihan, dan terkadang dihadapkan pada: bergerak cepat dan menang, atau bergerak lamban dan kalah. Terkadang kita bahkan tidak memiliki banyak pilihan, terkadang kita tidak memiliki banyak waktu--bahkan sedikitpun waktu--untuk berpikir. Kita dituntut untuk terus bergerak dan bergerak, tanpa sempat memikirkan lagi apa dan kenapa kita menjadi seperti ini.
Apabila kita memerhatikan, Bali menjadi salah satu destinasi bagi masyarakat metropolitan untuk menenangkan diri. Kota-kota di dataran tinggi yang jauh dari hiruk pikuk kota juga menjadi tujuan bagi orang-orang tua yang pensiun dan ingin beristirahat. Turis-turis asing juga lebih memilih berwisata ke negara-negara tropis. Semua memiliki garis besar yang sama: kondisi alam masih yang masih sangat kental.
ADVERTISEMENT
Alam sejatinya dapat membuat kita merasa tenang dan nyaman. Banyak orang yang ingin menjalani kehidupan seperti sedia kala, hidup yang lamban dan apa adanya. Hidup berdampingan dengan alam.
Namun, bisakah manusia benar-benar hidup dengan alam?
Pernahkah Manusia Hidup Berdampingan dengan Alam?
Mari kita time travel ke masa di mana hidup manusia masih sangat bergantung pada alam, tepatnya pada zaman purba. Dari buku Homo Sapiens karya Yuval Noah Harari, diceritakan bahwa manusia mulai bermigrasi dari Afrika ke Australia pada 45.000 tahun yang lalu dan mulai berkoloni selama berabad-abad lamanya di sana.
Manusia memulai perjalanan dari daratan Afrika ke Asia Timur dan menetap selama beberapa lama di Asia Tenggara. Dari perjalanan tersebut manusia banyak beradaptasi dari hewan predator, cuaca, struktur geografi, dan sumber makanan yang berbeda-beda. Pola geografi Asia Tenggara yang terdiri dari banyak pulau membuat manusia pada masa itu bermata pencaharian sebagai nelayan dan membuat perahu-perahu sederhana untuk menangkap ikan. Dari situ manusia mulai berani untuk mengeksplor laut lebih jauh hingga mereka menemukan sebuah daratan yang disebut Benua Australia. Beberapa manusia menetap di sana dan berkoloni, yang kemudian menjadi cikal bakal suku Aborigin.
ADVERTISEMENT
Benua Australia yang belum pernah dihuni manusia kala itu diisi dengan berbagai hewan-hewan bertubuh besar yang sama sekali berbeda dengan hewan Asia-Afrika. Kanguru dengan tinggi 2 meter dengan ekornya yang kuat, burung unta yang memiliki kaki sangat kuat dan berlari cepat, singa marsupial yang merupakan mamalia terbesar di Australia, hingga ular sepanjang lima meter yang meliuk di tanah. Bahkan hewan koala pun rasanya masih terlalu besar untuk disebut hewan berbulu yang lucu. Hewan-hewan itu dapat hidup berdampingan satu sama lain antara predator dan mangsanya.
Anehnya, hanya beberapa ribu tahun setelah kedatangan manusia di Benua Australia, puluhan spesies hewan raksasa endemik tersebut punah, termasuk juga hewan-hewan berukuran kecil lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada zaman Mammoth, di mana banyak spesies berukuran raksasa di Pulau Wrengel, Samudra Arktik, tidak terlihat lagi pada 10.000 tahun setelah kedatangan manusia, padahal diketahui mereka sudah hidup jutaan tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Cerita yang sama juga terjadi di Benua Amerika, di mana manusia Afrika berhasil menempuh perjalanan panjang dan dingin di Alaska pada 16.000 tahun yang lalu. Di sana manusia beradaptasi dengan berburu hewan. Hewan di Alaska dan Siberia dikenal memiliki ukurang yang besar sehingga manusia memanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi, di samping memanfaatkan bulunya untuk menghangatkan tubuh. Dari Alaska, manusia bermigrasi lagi ke selatan dan menyebar ke berbagai penjuru Amerika.
Dalam jangka waktu 2.000 tahun setelah kedatangan manusia, banyak spesies hewan yang punah. Di Amerika Utara sendiri, tiga puluh empat dari empat puluh tujuh atau 72% genera anima punah, dan di Amerika Selatan lima puluh dari enam puluh atau 83% spesies punah. Spesies hewan tersebut termasuk juga kungkang raksasa, kuda endemik, unta endemik, singa raksasa, dan hewan berkuran besar lainnya. Spesies berukuran kecil seperti burung, reptil, dan serangga juga diketahui banyak yang punah setelah jutaan tahun menghuni daratan Amerika.
ADVERTISEMENT
Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa kepunahan massal ratusan spesies di bumi disebabkan oleh adanya perubahan iklim, seperti yang terjadi pada zaman es. Namun hal tersebut bukanlah hal utama karena pada zaman es pun spesies hewan banyak yang dapat bertahan.
Yuval Noah Harari, dalam bukunya berpendapat bahwa alasan utama ratusan spesies hewan punah adalah disebabkan oleh manusia. Adanya pembakaran hutan sebagai solusi manusia membuka pemukiman dirasa praktis dibanding harus menebang pohon satu persatu. Selain itu beberapa hewan berukuran besar memiliki siklus reproduksi yang lambat. Apabila 1 mata rantai makanan ini diputus oleh manusia, maka berakibat fatal. Ekosistem jadi tidak seimbang dan menyebabkan efek domino di mana banyak spesies yang tidak dapat bertahan dan berakhir punah.
ADVERTISEMENT
Oleh karena hal tersebut, Yuval Noah menyebut spesies manusia sebagai ecological serial-killer atau pembunuh berantai ekologi.
Bisakah Manusia Hidup Berdampingan dengan Alam?
Dari penjelasan tersebut, diketahui bahwa sudah berpuluh ribu tahun yang lalu manusia menjadi alasan utama bumi ini perlahan-lahan hancur. Disadari atau tidak, baik secara langsung atau tidak, manusia telah membunuh keharmonisan alam dengan berbagai kepentingan mereka.
Hidup berdampingan dengan alam rasanya menjadi hal yang sangat ambisiun untuk dilakukan, setelah melihat perilaku manusia selama ribuan tahun ini. Mau se-ramah lingkungan apapun gaya hidup kita, akan sulit untuk mencapai tahap di mana kita hidup berdampingan dengan alam. Berbagai tren sustainable-living yang banyak dibagikan di media sosial dapat menjadi salah satu cara untuk sedikit menunda kondisi bumi yang makin parah. Walau pada faktanya hal tersebut mungkin hanya membantu kurang dari 1% perubahan pada bumi, namun tekad manusia untuk mewujudkan bumi menjadi lebih baik merupakan suatu langkah yang perlu diapresiasi.
ADVERTISEMENT
Rasanya sulit apabila manusia dapat benar-benar hidup berdampingan dengan alam. Karena apabila manusia benar-benar menginginkan hal tersebut, solusi paling logis adalah dengan masuk ke sistem rantai makanan dan tidak bersikap dominan terhadap makhluk hidup di bumi ini. Atau, dalam bahasa kasarnya, manusia harus tau diri di mana posisinya dalam rantai makanan dan siap untuk menjadi mangsa predator lain. Simpelnya, kita harus kembali ke masa jutaan tahun yang lalu.
Oleh: Luh Gading Panitisan