Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kampung Kusamba Kembali ke Fitrah, Begini Sejarah dan Tradisi “Nyama Selam”
14 April 2024 10:42 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muni Wiraswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perang Puputan Kusamba yang meletus pada tahun 1849 menghilangkan nyawa Jenderal AV Michiels, seorang tentara Belanda. Konon, jenderal tersebut dibunuh oleh seorang prajurit muslim di daerah Kusamba.
ADVERTISEMENT
“Dulu ada puri di Kusamba. Di situlah sang jenderal terbunuh, yang membunuh adalah seorang prajurit Muslim. Berkat itulah, umat Muslim diberikan hak otonom untuk menempati suatu desa oleh pihak kerajaan. Meskipun, jumlah masyarakat Muslim saat itu masih sangat sedikit untuk mengisi satu desa,” tutur H. M. Saifullah, seorang warga Kampung Kusamba.
Kampung Kusamba terletak di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali. Saat masa Kerajaan Klungkung, kampung ini menjadi pelabuhan pusat ekspor dan impor barang. Hingga kini pun, pesisir Kusamba masih beroperasi menjadi pelabuhan yang menghubungkan Klungkung dan Nusa Penida.
Saifullah bercerita, bahwa umat Muslim mulai datang ke Bali pada masa pemerintahan Dalem Nglesir. Menurutnya, Raja Klungkung saat itu melakukan kunjungan ke Demak dan membawa 40 orang Muslim dari sana.
ADVERTISEMENT
Kisah masuknya agama Islam di Bali memiliki banyak versi. Rochtri Agung Bawono, seorang dosen Arkeologi di Universitas Udayana menyatakan, bahwa penelitian tentang masuknya Islam ke Bali masih menjadi dinamika sejarah.
“Sebenarnya, kita lebih tepat mengatakan bahwa datangnya Islam ke Bali terjadi secara periodik (berkala),” terangnya.
Cerita yang berkembang di masyarakat sebagian besar mengacu pada Babad Dalem yang mengisahkan tentang hadirnya Islam di Bali.
Di sisi lain, Brigitta Hausher, seorang ahli etnografi dari Jerman, mengungkapkan bahwa kemungkinan umat Islam sudah ada di Bali Utara sejak abad 12. Dugaan ini dilatarbelakangi oleh adanya beberapa upacara yang tidak melibatkan babi di beberapa pura.
Masyarakat Muslim yang bertambah banyak akhirnya tinggal di sebelah timur Pura Gelgel. Dulunya, Gelgel (Swecapura) merupakan Ibukota Kerajaan Klungkung. Beberapa juga tinggal di pinggir sungai, sehingga disebut Kampung Lembah yang kini menjadi Lebah. Sedangkan sisanya menduduki wilayah Pelabuhan Kusamba.
ADVERTISEMENT
Menurut Rochtri Bawono, sebagian besar komunitas Muslim yang terbentuk di bawah kekuasaan kerajaan pada masa lalu, selalu diberikan hak yang istimewa. Dimulai dari pembentukan wilayah yang terpisah, pajak, hingga pengelolaan wilayahnya.
Salah satunya Kusamba. Mereka diberikan hak pengelolaan atas wilayah pelabuhan sehingga terbentuk komunitas di sana. Seiring dengan perkembangan, terdapat keluarga raja yang mengelola daerah tersebut secara administratif.
“Di Bali sudah sepakat bahwa wilayah-wilayah yang ada komunitas Muslimnya, maka disebut kampung. Itu ciri khas di Bali,” ujarnya.
Bertumbuh di Bali sejak dahulu kala, membuat masyarakat Muslim saling berbaur dengan masyarakat Bali lainnya. Mereka hidup berdampingan ratusan tahun lamanya. Adat dan budaya dari berbagai kelompok di masyarakat saling menyatu, menciptakan asimilasi.
ADVERTISEMENT
“Banyak aktivitas yang menggunakan istilah-istilah Hindu (Bali). Misalnya, muludan kita sebut dengan ngusaba,” Saifullah juga menjelaskan bahwa asimilasi lahir akibat adanya proses perkawinan antara kedua kelompok (umat Muslim dan Hindu).
Bahkan dulunya, semua masyarakat di Kampung Kusamba menggunakan nama depan khas Bali: Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut. Namun kini, beberapa keluarga tidak melanjutkan tradisi tersebut.
Asimilasi yang tercipta di Klungkung, khususnya Kampung Kusamba, membuat interaksi antara berbagai lapisan masyarakat tidak terputus hingga sekarang. Nyama selam (masyarakat Muslim yang melaksanakan tradisi Bali) masih berhubungan baik dengan penglingsir (tetua) Puri Klungkung. Kedua pihak saling bertemu dan berkunjung ketika salah satunya menyelenggarakan upacara. Seperti saat hari raya Galungan dan Kuningan, Idulfitri, dan hari-hari besar adat dan agama lainnya.
ADVERTISEMENT
Perayaan Idulfitri Bersama
Malam itu, semua nyama selam dari berbagai kampung berkumpul di depan Puri Klungkung untuk mengumandangkan takbir. Acara tersebut dilepas oleh Raja dan Bupati Klungkung. Setelah itu, mereka berangkat dengan mobil untuk mengelilingi kampung, dari Gelgel, Lebah, hingga Kusamba.
Takbiran nyama selam Klungkung tidak selalu dilaksanakan secara bersamaan di pusat kota. Kadang kala, mereka melakukannya di kampung masing-masing dengan berkeliling membawa obor.
Kebersamaan tidak hanya sampai di sana. Setelah menunaikan salat Idulfitri di keesokan harinya, para umat akan pulang menuju kampung masing-masing. Setelah itu, mereka biasanya melaksanakan tradisi megibungan.
Megibungan adalah tradisi masyarakat Bali bagian timur. Kata megibungan atau megibung berarti makan bersama dari satu wadah yang sama. Orang-orang yang turut dalam kegiatan ini biasanya akan membentuk lingkaran yang mengelilingi nampan yang berisi makanan dalam porsi besar. Mereka makan menggunakan tangan, menikmati makanan dan saling bercengkrama.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi ini, satu nampan biasanya diisi oleh nasi, serta lauk berupa lawar, komoh, serta sate dalam porsi besar. Namun, dalam tradisi megibungan di hari raya Idulfitri, masyarakat menggunakan teman nasi khas lebaran, seperti opor ayam, rendang, dan sebagainya.
Sebelum megibung, orang-orang harus mencuci tangan terlebih dahulu. Setelah merasa kenyang dan selesai makan pun, peserta tidak boleh meninggalkan teman megibung-nya, mereka harus menunggu sampai makanan di nampan habis
Raja dan Bupati Klungkung juga biasanya turut bergabung, mereka mengunjungi masing-masing kampung secara bergilir di setiap tahun. Saifullah menuturkan bahwa sempat sekali masyarakat kampung menawarkan sang raja untuk makan terpisah, tetapi ia menolak. Mereka tak mau dispesialkan.
Katanya, “Kenken je sepatutne nyama driki.”
ADVERTISEMENT
Artinya, mereka ingin mengikuti kebiasaan dan tradisi nyama (saudara) di kampung tersebut.
“Setelah shalat Idulfitri, biasanya kami juga akan menabuhkan bedug yang dipadukan dengan gamelan khas Bali, seperti kendang, kemong, dan kempul,” ujar Saifullah, melanjutkan ceritanya.
I Ketut Naba, seorang warga asli Bali Timur yang memiliki hubungan kerabat dengan Saifullah pun turut memberikan komentar. Menurutnya, masyarakat di sana saling menghargai secara kekeluargaan.
“Kami tidak mempermasalahkan soal agama, soal itu silakan masing-masing. Tapi, kami tetap menjalankan silaturahmi,” tegasnya.
Masyarakat Bali hidup dengan harmonis di tengah-tengah perbedaan. Hal-hal yang berbeda tidak memutus kekerabatan masyarakat di sana. Keharmonisan tercipta karena masyarakat hidup berlandaskan konsep asah, asih, dan asuh.