Konten dari Pengguna

Sekolah Tinggi untuk Jadi Petani

Muni Wiraswari
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
3 Juli 2024 15:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muni Wiraswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi petani di sawah. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petani di sawah. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Sekolah tinggi-tinggi mah, jangan jadi petani atuh, Neng.”
Petuah dari istri Pak Wahyu saat kami datang ke rumah mereka masih terngiang di kepala saya hingga kini. Sebelumnya, saya mengungkapkan keinginan untuk menjadi petani sebab akhir-akhir ini, saya tertarik dengan bidang tersebut.
ADVERTISEMENT
Memangnya… apa salahnya menjadi petani?
Kalau diingat-ingat lagi, ketika kecil dulu… saya juga tidak kepikiran untuk bercita-cita menjadi petani. Ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan guru soal cita-cita, saya selalu berputar pada jawaban dokter atau guru. Saat itu, menurut saya, petani itu kurang keren untuk menjadi cita-cita.
Seiring berjalannya waktu, pola pikir saya berubah. Menurut saya, petani itu sangat berjasa.
Kalau tidak ada orang yang menjadi petani, kita mungkin tidak akan bisa memenuhi kebutuhan pokok yang paling sederhana: makan. Kita pasti akan kelaparan. Lagipula, bertani di desa terasa amat damai. Lingkungan yang ramah dan jauh dari hiruk-pikuk kota.
Namun, nyatanya pekerjaan ini sering kali dipandang sebelah mata karena stereotip petani yang cenderung miskin. Meskipun, stereotip ini memang tak salah, sebagian besar petani di Indonesia masih memiliki perekonomian yang rendah.
ADVERTISEMENT
Menurut survei Litbang Kompas tahun 2024, 64,2% petani di Indonesia masih tergolong miskin. Sementara petani yang sejahtera hanya mencapai 1,8%. Padahal Indonesia merupakan negara agraris dengan pertanian sebagai sektor yang vital di negara ini. Sebagian besar masyarakat di Indonesia berprofesi sebagai petani. Maka seharusnya, pekerja di sektor ini lebih diperhatikan kesejahteraannya.
Kenyataan ini juga mungkin menjadi enggannya generasi muda untuk menjadi petani. Regenerasi sumber daya manusia dalam sektor pertanian pun kemudian menjadi masalah.
Menurut Andy Fernanda Probotrianto dalam tulisannya yang diterbitkan di CNBC Indonesia, terdapat beberapa alasan mengapa generasi muda tidak tertarik untuk bekerja di sektor pertanian. Di antara semua alasan yang ada, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan di sektor ini, yakni rendahnya keterampilan dan padat kerja, kurang berkembang, dan hasil panen yang tidak stabil.
ADVERTISEMENT
Padatnya aktivitas fisik pada pertanian sebenarnya telah dibantu oleh kemajuan teknologi. Pengenalan teknologi canggih pada sektor pertanian juga sudah disosialisasikan, tetapi 87,59% rumah tangga petani masih tetap memilih untuk menggunakan metode yang masih konvensional.
Situasi ini dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan petani. Menurut data BPS, rata-rata tingkat pendidikan petani kebanyakan masih lulusan SD, dengan persentase sebesar 38,49%. Kemudian disusul oleh lulusan SMP sebanyak 16,22%, belum lulus SD sebanyak 26,54%, dan belum pernah sekolah sebanyak 9,65%. Sementara itu, petani yang lulus dari perguruan tinggi dan diploma hanya menempati angka 0,57%.
Maka dari itu, wajar saja bila literasi digital untuk memanfaatkan teknologi pertanian masih terbilang rendah sehingga pemanfaatan teknologi di sektor pertanian masih stagnan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, pemanfaatan teknologi pada hilir pertanian seperti pemasaran dan akses pasar sudah semakin berkembang. Namun, masalah yang terletak di hulu, alias proses produksi, masih perlu dijadikan konsentrasi bagi semua pihak.
Apalagi, kegiatan bertani sangat dipengaruhi oleh cuaca. Sehingga hasil panen sulit diperkirakan. Padahal, Indonesia merupakan negara tropis yang kondisi cuacanya cenderung lebih stabil dibandingkan negara 4 musim.
Sementara itu, negara dengan 4 musim seperti Jepang dan Amerika Serikat berhasil mengelola industri pertaniannya dengan baik. Mengapa bisa demikian?
Tentu karena para petani memanfaatkan teknologi dan mendapatkan dukungan dari semua pihak. Petani di sana pun memiliki hidup yang sejahtera.
Memang rumput tetangga akan selalu terlihat lebih hijau. Jepang dan Amerika mungkin memiliki keunggulan dalam pemanfaatan teknologi, tetapi Indonesia tentu lebih unggul dalam kekayaan alam yang melimpah dan tiada habisnya.
ADVERTISEMENT
Namun, apa salahnya kita mencontoh keunggulan mereka untuk mengevaluasi dan memperbaiki kelemahan yang kita miliki?
Bayangkan jika pertanian di Indonesia juga menguasai dan bisa memanfaatkan teknologi pertanian yang terus berkembang, betapa sejahteranya masyarakat di negeri ini? Betapa kuatnya pondasi bangsa yang katanya negara agraris ini?
Maka dari itu, dukungan dari segala aspek dan pihak sangat diperlukan. Masyarakat tidak perlu memandang petani dengan sebelah mata lagi. Sekolah tinggi-tinggi untuk mengembangkan industri pertanian di Indonesia adalah hal yang mulia. Kenapa malah meremehkan pekerjaan yang menjadi identitas dan penopang negara kita?
Seharusnya, sebagai negara agraris, kita bangga sebagai petani dan terus mendukung sektor tersebut. Tak hanya masyarakat, pemerintah pun tentu harus turut andil untuk mendukung sektor ini. Bantuan dalam hal permodalan dan edukasi pada petani untuk menggunakan teknologi demi mempermudah pekerjaan sangat dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Kita bisa mencontoh Jepang yang diberikan subsidi oleh pemerintah untuk modal dalam mengembangkan agroteknologi di sana. Petani Jepang mengoperasikan lahan pertaniannya dengan robot yang canggih. Menurut pemberitaan BBC, perkembangan agroteknologi sangat berguna demi memastikan dan memelihara industri pertanian yang kemungkinan besar akan menjadi penting di masa depan.
Sementara itu, pemerintah di Indonesia mengeluarkan dana 29 triliun untuk 7,9 ton pupuk bagi petani. Johan Rosihan, anggota Komisi IV DPR RI dalam situs pemberitaan UGM, menyatakan banyaknya konsumsi konsumsi pupuk tak berbanding lurus dengan peningkatan produktivitas pertanian. Sementara itu, subsidi pertanian tidak hanya melulu soal pupuk, tetapi juga air, benih unggul, dan produk lain yang dapat meningkatkan produktivitas produksi pertanian, termasuk teknologi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, semangat untuk mengembangkan agroteknologi dalam membangun pertanian yang maju di Indonesia perlu ditingkatkan. Sekolah tinggi-tinggi dan berakhir jadi petani juga akan sangat berguna, kok!