Konten dari Pengguna

Melebarkan Sayap di Laut China Selatan, Tiongkok Memiliki Motif Tersembunyi?

Luna Sita
Saya merupakan mahasiswa semester 5 program studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana yang memiliki ketertarikan di bidang sosial humaniora terutama interaksi antarnegara sebagai bagian dari studi HI.
24 Oktober 2023 20:59 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Luna Sita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Map Sebagian Laut China Selatan. Foto: PeterHermesFurian (iStock Photo)
zoom-in-whitePerbesar
Map Sebagian Laut China Selatan. Foto: PeterHermesFurian (iStock Photo)
ADVERTISEMENT
Tak dapat dipungkiri bahwa sengketa Laut China Selatan (LCS) atau Laut Tiongkok Selatan menjadi bahasan yang tiada habisnya terutama oleh masyarakat kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara terimbas sengketa yang melibatkan negara-negara Asia Tenggara dengan Tiongkok (China) karena terjadi klaim wilayah perairan di Natuna yang bersinggungan dengan Nine Dash Line (NDL) atau Sembilan Garis Putus-Putus milik Tiongkok. Meskipun demikian, Tiongkok berpegang teguh pada NDL dan tidak mengakui klaim apapun selain yang dipercayainya. Tiongkok telah banyak mengeluarkan usaha dan materialnya untuk mempertahankan wilayah laut sesuai dengan NDL agar LCS tidak jatuh ke tangan negara lain yang juga merebutkan wilayah laut tersebut.
Globe Tiongkok (China). Foto: Christian Lue (Unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Globe Tiongkok (China). Foto: Christian Lue (Unsplash.com)
Nine Dash Line (NDL) Tiongkok
ADVERTISEMENT
Sebagai negara dengan aktivitas ekspansi dan historikal yang kompleks, Tiongkok mengakui bahwa para pendahulunya merupakan penemu kepulauan-kepulauan yang berada di jalur NDL. Hal ini berbasis pada catatan sejarah yang dimiliki Tiongkok pada masa Dinasti Han, disusul dengan catatan lainnya pada masa Dinasti Yuan yang menyatakan adanya klaim dan penerapan politik yurisdiksi di kepulauan kawasan LCS. Hanya terdapat satu dinamika dalam sejarah LCS yang dipercayai Tiongkok, yakni intervensi Jepang saat Perang Tiongkok-Jepang II yang menandakan tidak adanya peristiwa apapun yang menghilangkan kepemilikan Tiongkok terhadap LCS sesuai dengan NDL (O’Neill, 2018).
Penerapan NDL oleh Tiongkok tidak berlandaskan kesepakatan yang berada dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Negara dianggap memiliki kedaulatan penuh atas perairan sepanjang 12 mil laut dan dapat mengontrol aktivitas ekonomi sepanjang 200 mil laut yang disebut Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). UNCLOS hanya mengatur perbatasan wilayah laut menggunakan penarikan garis pangkal (baseline) dan tidak menyertakan adanya NDL milik Tiongkok. Meskipun Tiongkok merupakan negara bagian dari UNCLOS, Tiongkok tidak meratifikasi kebijakan yang telah disepakati sehingga NDL merupakan bentuk klaim yang hanya disepakati sepihak oleh Tiongkok selaku negara pembuat kebijakan (Firdaus, et al, 2021).
ADVERTISEMENT
Perbedaan pandangan dan penerapan antara Tiongkok dengan negara di sekitarnya tentu mengguncang keamanan negara sekitar LCS, contohnya Filipina. Filipina menganggap Kepulauan Spratly yang berada dalam zona NDL Tiongkok sebagai pulau miliknya. Menanggapi hal tersebut, Tiongkok menyatakan dengan keras bahwa Tiongkok memiliki kedaulatan atas kepulauan yang ada di LCS yaitu Kepulauan Dongsha (Prata) yang terletak di antara Kepulauan Hainan milik Tiongkok dengan Taiwan, Kepulauan Xisha (Paracel), Kepulauan Zhongsha yang terletak di antara Kepulauan Paracel dan Filipina, dan Kepulauan Nansha (Spratly).
Sebelum tahun 1970-an, tidak ada negara-negara di sekitar Tiongkok yang melakukan klaim atas kepulauan di LCS. Semakin berjalannya waktu, terjadi perubahan dalam bentuk dimulainya klaim wilayah perairan oleh negara sekitar LCS yang menyebabkan ketegangan Tiongkok dengan negara-negara tersebut (O’Neill, 2018).
Peta Asia Tenggara dan Laut China Selatan. Foto: Z (Unsplash.com)
Alasan Tiongkok Mempertahankan LCS
ADVERTISEMENT
Tiongkok sangat memaksimalkan usahanya dalam menetapkan klaim LCS sebagai wilayah perairannya. Usaha tersebut didasari oleh catatan sejarah panjang yang dimulai oleh pendahulu masyarakat Tiongkok, didukung oleh keinginan mereka menciptakan pulau-pulau baru dan membuat landasan udara sebagai kawasan baru Tiongkok. Dengan terwujudnya kepemilikan atas wilayah perairan tersebut akan meningkatkan kekuatan Tiongkok dan militernya yang semakin menegaskan kedaulatan wilayah daratan maupun perairan miliknya. Aksi ini dilakukan Tiongkok atas dasar kepentingan nasionalnya untuk mendapatkan wilayah yang menurut Tiongkok seharusnya menjadi milik mereka.
Hal ini sejalan dengan konsep kepentingan nasional yang merupakan alasan di balik suatu negara menjalankan kebijakan-kebijakan dalam hubungan internasional. Kepentingan nasional menjadi motivasi suatu negara dalam menjalankan kebijakan (Bakry, 2017). Kebijakan tersebut berupa kebijakan luar negeri yang dikeluarkan Tiongkok karena ingin menguasai aktivitas aktor lain yang tidak dapat dikontrol karena beraktivitas sesuai kepentingan masing-masing negara (Jackson & Sorensen, 2013).
ADVERTISEMENT
Kepentingan nasional Tiongkok dalam menguasai LCS melalui klaim NDL-nya merupakan implementasi motif proyeksi kekuatan (power projection). Proyeksi kekuatan merupakan kemampuan suatu negara mempertahankan kekuatan di beberapa lokasi dengan tujuan mencegah terjadinya krisis dan menciptakan peningkatan stabilitas regional (Kane, 2014).
Untuk mempertahankan kestabilan di kawasan Asia Tenggara dan menambah kekuatan Tiongkok di kawasan terdekat dari regional aslinya (Asia Timur), dilakukanlah proyeksi kekuatan oleh Tiongkok. Hal ini didukung dengan tujuan Tiongkok untuk mendapatkan kedaulatannya atas LCS yang dilakukan melalui pengerahan kekuatan tentaranya (People’s Liberation Army) demi menjaga wilayah perairan melalui cara-cara militer (O’Neill, 2018). Oleh karena itu, proyeksi kekuatan merupakan motif tersirat Tiongkok untuk mencapai tujuannya mendapatkan kedaulatan wilayah di LCS.
ADVERTISEMENT
Meskipun Tiongkok tidak bergabung menjadi bagian kawasan regional Asia Tenggara, kebijakan dan kekuatannya memberikan pengaruh pada kawasan Asia Timur. Hal ini dikarenakan peningkatan kekuatan militer yang dilakukan Tiongkok tidak hanya dilakukan untuk mempertahankan wilayahnya di LCS saja tetapi juga sengketa perebutan kepulauan di Asia Timur. Sengketa yang terjadi adalah antara Tiongkok dengan Jepang dalam perebutan Kepulauan Senkaku atau Diayou. Dengan adanya peningkatan kekuatan militer Tiongkok, Jepang selaku pihak kontra akan klaim kepulauan oleh Tiongkok tersebut ikut menambah kekuatan militernya yang berpengaruh pada kawasan Asia Timur (Pramaiseilla, 2023).
Referensi:
Bakry, U. S. (2017). Dasar-Dasar Hubungan Internasional. Depok: Kencana.
Firdaus, A., Ilhafa, F., Putri, N. U., Kurniawati, E., Syakhila, H. D., & Sulfary, A. (2021). JADI DASAR HUKUM CHINA KLAIM LAUT NATUNA, BAGAIMANA POSISI NINE DASH LINE DI LINGKUP HUKUM INTERNASIONAL. In Seminar Peningkatan Sitasi Internasional (Vol. 1, No. 1).
ADVERTISEMENT
Jackson, R. & Sorensen, G. (2013). Pengantar Studi Hubungan Internasional: Teori dan Pendekatan Edisi Kelima. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kane, T. M. (2014). China's" Power Projection" Capabilities. The US Army War College Quarterly: Parameters, 44(4), 5.
O’Neill, D. C. (2018). Dividing ASEAN and conquering the south China sea: China’s financial power projection. Hong Kong University Press.
Pramaiseilla, T. Z. A. (2023). Dampak Sengketa Kepulauan Senkaku antara Jepang-Cina Terhadap Stabilitas Keamanan Jepang. Journal of International Relations, 9(1), 102-124.