Konten dari Pengguna

Pandemi, Kesenjangan, dan Pajak

Lury Sofyan
Behavioural economist - Koordinator Indonesia Behavioural Economics Forum (IBEF)
6 Agustus 2021 15:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lury Sofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 telah membawa krisis pada multi aspek kehidupan. Sementara isu kesehatan dan ekonomi menjadi topik yang hangat, isu spesifik mengenai kesenjangan jarang menarik perhatian media.
Royalty-free image from https://www.gettyimages.com/
zoom-in-whitePerbesar
Royalty-free image from https://www.gettyimages.com/
Riset IMF (2020) menggarisbawahi bahwa kesenjangan di Asia merupakan yang tertinggi di dunia dan pandemi diprediksikan akan memperlebar kesenjangan itu. Hal ini dikarenakan dampak terburuk pandemi banyak menyerang tenaga kerja muda, wanita dan masyarakat yang rentan sehingga menggerus pendapatan dan kekayaan mereka.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya negara Asia lainnya, Indonesia telah memberlakukan paket kebijakan ekonomi dengan membuka ruang fiskal yang lebih fleksibel. Tambahan ruang fiskal ini digunakan untuk memberi insentif kepada dunia usaha, meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan yang tidak kalah penting menyediakan program jaring pengaman sosial untuk membantu masyarakat yang paling rentan. Namun demikian, upaya ekstra tersebut belum dapat mengobati kesenjangan yang terus menganga.
Sejalan dengan tren dunia, Gini Index Indonesia per September 2021 meningkat 0.005 poin menjadi 0.385 (BPS, 2021). Kesenjangan ini memang masih lebih kecil dibanding pasca krisis keuangan 2008, tetapi kedaruratannya sangat tinggi melihat ketidakpastian dari pandemi yang sekarang kita hadapi.
Isu kesenjangan bukan sekadar perbedaan kekayaan antara si kaya dan si miskin, kesenjangan juga berkaitan dengan kohesi sosial, kepercayaan terhadap pemerintah dan kehidupan bernegara.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif kesenjangan di level komunitas sudah dijelaskan oleh laporan World Bank (2019). Ketidakseimbangan kepemilikan kekayaan memberikan keuntungan kepada si kaya untuk menciptakan dan mengkoordinasikan barang publik (public goods) secara independen. Laporan tersebut menggambarkan adanya tren yang kuat dari golongan menengah dan atas untuk keluar (opt out) dari layanan publik.
Pembangunan kota mandiri (planned community) yang pesat di berbagai daerah memberikan tawaran pengelolaan infrastruktur dan layanan publik (keamanan, jalan, saluran air, taman, dll) secara mandiri dengan kualitas lebih baik.
Kegagalan memberikan layanan publik yang memadai juga lebih dahulu dirasakan di ranah transportasi. Karena layanan transportasi publik yang tidak memadai, memiliki kendaraan menjadi standar kaum muda Indonesia ketika mulai memiliki penghasilan. Di ranah pendidikan juga tidak jauh beda. Sekarang sangat mudah untuk mencari sekolah swasta dengan fasilitas bertaraf internasional. Rata-rata pertumbuhan sekolah swasta 6x lipat dibanding pertumbuhan sekolah negeri selama periode 2016-2019.
ADVERTISEMENT
Gayung bersambut, bagi masyarakat yang memiliki sumberdaya cukup, menunggu membaiknya layanan publik sepertinya bukan jadi pilihan. Jika pemerintah tidak bisa sediakan, yah kami beli. Kurang lebih seperti itu.
Private dapat mengisi kegagalan pemerintah untuk mengkoordinasi kepentingan dan mengorganisasi sumberdaya komunitas. Eksistensi pemerintah dengan pengelolaan dana masyarakat melalui mekanisme perpajakannya menjadi dipertanyakan.
Suara kritis dari kaum menengah atas untuk mendapat layanan publik yang lebih baik pelan-pelan padam. Alasan logis untuk membayar pajak pun menjadi buyar karena layanan publik sudah mereka sediakan sendiri. Jika tren ini terus berlangsung merambat ke sendi-sendi lain dalam kehidupan dan meluas ke semua wilayah Indonesia, kepedulian sebagai bangsa tergerogoti dan kohesi sosial bangsa Indonesia diuji keras.
Pada level individu, kesenjangan juga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Kesenjangan yang tinggi akan meningkatkan efek perbandingan sosial (social comparison effect) mendorong orang untuk mengambil keputusan apapun untuk memperbaiki status sosial ekonominya. Sebagai contoh, studi eksperimen di ekonomi perilaku (behavioural economics) menunjukkan bahwa pada kondisi kesenjangan yang tinggi, orang lebih berani mengambil risiko, lebih oportunis, lebih mau bertaruh, lebih fokus kepada kepentingan dirinya sendiri sehingga lebih sulit untuk bekerja sama.
ADVERTISEMENT
Beberapa percaya bahwa kesenjangan adalah fenomena sementara, dengan berfokus pada pertumbuhan (growth), kue ekonomi akan semakin besar dan pendapatan dengan sendirinya akan menetes ke bawah (trickle down effect).
Jauh panggang dari api. Bukan kekayaan yang menetes ke bawah, justru perilaku konsumsilah yang menetes (trickle down behaviorism). Hidup di atas piramida sosial memberikan si kaya kekuatan untuk mendikte merk baju apa yang keren, mobil apa yang paling okay, restoran mana yang enak, tempat mana yang paling bagus, dan seterusnya dan seterusnya. Perilaku mereka menjadi standar yang diikuti masyarakat dan disiarkan 24 jam melalui sosial media. Perilaku konsumtif itu menetes ke bawah dan memberikan tekanan sosial untuk semua lapisan masyarakat mengikutinya tidak terkecuali penduduk berpendapatan rendah.
ADVERTISEMENT
Ini bukan berita baik. Hal ini hanya akan menekan tingkat produktivitas masyarakat menengah bawah menjadi lebih terpuruk. Alih alih investasi pada aset produktif, mereka sibuk meladeni tekanan sosial untuk menjadi seperti orang kaya. Tidak mengagetkan jika konsumsi menjadi motor utama penggerak ekonomi Indonesia sementara tingkat produktivitas menjadi yang terendah di Asean, lebih rendah dibanding Vietnam dan Laos (JETRO, 2020).
Dari sekian banyak obat yang bisa jadi penawar kesenjangan, pajak menjadi salah satunya. Pajak menjadi alat redistribusi pendapatan yang seharusnya paling efisien. Karena dibangun diatas lembaga formal yang disepakati seluruh komponen rakyat. Namun demikian untuk mengungkit peran pajak agar optimal, tantangannya tidak mudah. Karena butuh kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang terbangun oleh layanan publik yang diberikan pemerintah itu sendiri. Ketika kualitas layanan publik rendah, kepercayaan terhadap pemerintah pun tergerus. Lingkaran setan pun terbentuk penuh ketika layanan publik sangat tergantung pada pajak itu sendiri. Kondisi ini yang dialami Indonesia sampai dengan sekarang.
ADVERTISEMENT
Di era pandemi seperti ini, sistem pajak harus dapat beradaptasi lebih cepat dan tepat. Kebijakan harus diramu di antara dua perspektif yan berbeda yaitu perspektif insentif dan ekstraktif. Untuk mempersempit jarak kesenjangan, sistem pajak harus selektif memberikan insentif pajak pada sektor dan segmen masyarakat tertentu tetapi pada saat bersamaan menggenjot pajak pada sektor dan orang-orang yang sangat diuntungkan secara ekonomi namun kontribusinya masih rendah.
Hal ini sudah dilakukan oleh pemerintah yaitu melalui perubahan tarif pajak penghasilan yang lebih progresif dan tarif pajak PPN khusus untuk barang-barang “mewah” tertentu. Lebih dari itu, pajak atas warisan untuk nilai tertentu juga dapat diadopsi untuk mengurangi kesenjangan.
*) Alumnus Doctoral Program in Behavioural Economics, University of Nottingham, UK; Koordinator Indonesia Behavioural Economics Forum. Opini ini adalah opini pribadi tidak mewakili institusi mana pun.
ADVERTISEMENT