Konten dari Pengguna

Sistem Peradilan Anak di Indonesia dalam Kasus Kekerasan Seksual Oleh Anak

Lutfi Rahmawaty
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9 September 2024 13:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lutfi Rahmawaty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekerasan seksual oleh anak Foto edited: Lutfi Rahmawaty
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan seksual oleh anak Foto edited: Lutfi Rahmawaty
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini, masyarakat dikejutkan oleh kasus kekerasan seksual yang berujung pada kematian korban, di mana pelakunya adalah anak di bawah umur. Korban, seorang siswi SMP berusia 13 tahun, ditemukan tidak bernyawa di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Talang Kerikil, Palembang, Sumatera Selatan. Berdasarkan hasil penyelidikan, korban meninggal dunia akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh empat remaja yang juga masih di bawah umur. Pelaku utama berinisial IS (16 Tahun) yang menjadi otak pembunuhan dan pemerkosaan terhadap korban. Motifnya adalah pelaku diketahui kecanduan menonton film porno sehingga ia memiliki nafsu syahwat dan ingin mempraktikannya kepada seseorang. Diketahui bahwa pelaku mengenal korban melalui Facebook.
ADVERTISEMENT
Bagaimana penegakan hukum dalam sistem peradilan anak di Indonesia?
Dalam kasus ini 1 pelaku merupakan anak yang berusia 16 Tahun, sedangkan 3 pelaku lainnya masih berusia 12 dan 13 Tahun. Pelaku yang berusia 16 Tahun diancam pidana penjara selama 15 Tahun. Sedangkan 3 pelaku lainnya tidak dikenakan ancaman pidana penjara melainkan akan dibawa ke panti rehabilitasi anak LPKS Palembang hal ini sesuai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Perlindungan Anak dalam isi pasalnya yaitu:
(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
ADVERTISEMENT
(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
b. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Akibat dari penegakan hukum kepada tiga pelaku pemerkosaan dan pembunuhan tersebut menuai kontroversional terhadap keluarga korban juga masyarakat. Safarudin yang merupakan ayah kandung korban merasa kecewa dan tidak adil terhadap keputusan tersebut, menurutnya, meskipun pelaku masih berusia dibawah umur tetapi tindakan yang mereka lakukan sampai mengakibatkan anak perempuannya tewas. Sampai saat ini ayah korban, Safarudin masih meminta keadilan ke petugas kepolisian. Selain itu, Marlina, Bibi korban juga mendesak agar pelaku dihukum dengan adil dan sesuai perbuatan yang mereka lakukan.
ADVERTISEMENT
Mengulik terkait sistem peradilan anak di Indonesia yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang telah final atau berkekuatan hukum tetap. Undang-Undang ini menekankan kepada proses diversi yang memperhatikan pada kepentingan anak dan kesejahteraan anak. Selain itu, Undang-Undang SPPA juga menggunakan prinsip keadilan restoratif atau Restorative Justice yang artinya dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak adalah dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan dari proses peradilan pidana atau menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya atau dengan kata lain Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, diversi terdiri dari tiga jenis, yaitu :
Pertama, diversi dalam bentuk peringatan. Disini pelaku akan dimintai permintaan maaf kepada korban atau keluarga korban. Kedua, diversi informal, dilakukan apabila dirasa masih kurang terhadap diversi jenis pertama. Dalam diversi informal anak akan bertanggung jawab dengan mengakui kebutuhan-kebutuhan korban dan anak, dan orang tua akan diminta bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut. Ketiga, diversi formal dilakukan apabila diversi informal tidak dapat dilakukan tetapi tidak memerlukan intervensi pengadilan. Pada diversi ini menggunakan Restorative Justice atau dengan musyawarah kelompok keluarga untuk mencapai keadilan restoratif. Hasil kesepakatannya dapat berbentuk perdamaian, penyerahan kembali kepada orang tua atau mengikuti rehabilitasi di lembaga pendidikan atau LPKS. Kemudian, apabila ketiga proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan untuk setiap tingkatannya.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Endri Nurinda, 2014, Implementasi Atas Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
https://www.kompas.com/tren/read/2024/09/05/094500065/4-fakta-siswi-smp-palembang-dibunuh-4-remaja-di-kuburan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.