Konten dari Pengguna

Nur Sutan Iskandar dan Kisah Cinta Tanah Air: Sebuah Kajian Sastra Nasionalis

Lutfiah Dwi Tanti
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20 Oktober 2024 10:59 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lutfiah Dwi Tanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover Novel Cinta Tanah Air, Sabtu (19 Oktober 2024). Sumber: dokumentasi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Cover Novel Cinta Tanah Air, Sabtu (19 Oktober 2024). Sumber: dokumentasi pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Novel Seri Sastra Nostalgia dengan nomor ISBN 979-666-186-1 berjudul Cinta Tanah Air karya Nur Sutan Iskandar yang terbit pada tahun 1945 oleh Balai Pustaka berjumlah 179 halaman ini menceritakan tentang semangat nasionalisme dan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Kisah ini berfokus pada tokoh utama, seorang pemuda bernama Amiruddin yang digambarkan memiliki cinta yang mendalam terhadap tanah airnya, yang mendorongnya untuk berjuang melawan penindasan kolonial dan memperjuangkan kemerdekaan, karena di dalam dadanya tertanam jiwa nasionalisme yang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Cerita diawali dengan seorang tokoh bernama Amiruddin yang berasal dari Bandung. Dalam sebuah perjalanan menuju Jakarta dengan menaiki trem untuk melihat pasar malam yang sangat ramai dan memiliki tema yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam perjalanan, ia terkesima dengan seorang wanita yang duduk dihadapannya dengan perawakan yang anggun dan tutur katanya yang sopan, mereka saling mencuri pandang dengan ketertarikan di antara ke duanya di dalam trem. Tidak sampai di situ saja, keduanya kembali bertemu di pasar malam dalam sebuah pertunjukan seni dan kearifan lokal, ketika Amiruddin hendak membeli sapu tangan yang di buat oleh para gadis penjahit, tak di sangka, ia bersebelahan pula dengan perempuan yang hendak membeli sapu tangan tersebut yang wajahnya sudah tak asing lagi bagi Amiruddin, sehingga bergetar hati Amiruddin. Namun, mereka hanya berinteraksi sedikit dengan perkenalan singkat, di situlah Amiruddin tahu bahwa perempuan tersebut bernama Astiah. Dan disanalah, sapu tangan mereka tertukar.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, Amiruddin bertemu dengan sahabat ayahnya yang tidak lain adalah ayahnya Astiah, ketidak sengajaan ini menjadi pintu jalan bertemunya kembali Amiruddin dengan Astiah, seorang perempuan yang pernah ia temui ketika di trem dan pasar malam dahulu, perempuan yang sangat cantik dan baik budi pekertinya, yang kerap dipanggil Ruk oleh kedua orang tuanya.
Sebelum kepulangan Amir, Ruk memberikan sebuah bungkusan yang berisi sepucuk surat dan sapu tangan milik Amir yang tertukar dahulu, surat tersebut kemudian dibalas Amir dan akhirnya mereka saling mengagumi satu sama lain. Hingga pada perbincangan yang begitu panjang, keluarga Amir pergi ke Jakarta untuk melamar Astiah dan keluarga Astiah pun menerima Amiruddin.
Namun demikian, perjalanan menuju rumah tangga mereka tidak begitu mulus, keadaan Indonesia yang masih dikendalikan oleh pemerintah Jepang dan disisi lain suasana perang yang belum juga hilang dari bumi Indonesia ini. Dari suasana tersebut, Amir pun mengajak Astiah berkunjung ke rumah sahabatnya Harjoyo dan mereka saling bertukar pikiran mengenai unsur-unsur barat yang masih ada di Indonesia saat itu. Keduanya memiliki nilai nasionalisme yang sudah tidak diragukan lagi kecintaannya terhadap tanah air, hal itu dibuktikan dengan penggalan bait yang menyatakan bahwa mereka lebih baik mati membela tanah air daripada tidak sama sekali. Di dalam tubuh Amir juga mengalir jiwa sang ayah. Sehingga, mereka sama-sama memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, bahkan ayahnya rela mengorbankan keluarga untuk membela tanah air dan gugur sebagai pejuang.
ADVERTISEMENT
Amir juga ingin meneruskan perjuangan mendiang ayahnya untuk membela tanah air, karena hal tersebut merupakan impiannya sejak lama. Namun, ketika dia diterima menjadi serdadu untuk berperang mempertahankan tanah air, menjadikan Amiruddin ikut serta terseret menjadi pasukan pembela tanah air, hal tersebut membuatnya dilema karena ia memiliki keluarga dan Astiah yang tidak mungkin ditinggal begitu saja. Namun, ia telah mengantongi persetujuan dari ibunya untuk menjadi serdadu, sementara jika ia ceritakan hal tersebut kepada keluarga tunangannya, pasti tidak diperbolehkan karena ia harus meninggalkan tunangannya tersebut dan sedikit kemungkinan untuk ia pulang kembali ke rumah.
Ternyata, setelah hal itu dibicarakan dengan keluarga besarnya, maka tunangannya memutuskan untuk ikut berjuang membela tanah air tercinta, dengan Amir menjadi pejuang dan Astiah menjadi juru rawat. Dengan begitu, mereka sama-sama berjuang membela tanah air. Hal tersebut pun tidak menjadi penghalang cinta Amiruddin dan Astiah, setelah keduanya melakukan pernikahan yang cukup sederhana. Amiruddin dan Astiah berangkat ke medan perang untuk melaksanakan bakti sebagai cinta mereka terhadap tanah air Indonesia. Dimana Jepang yang masih bertahan ditanah air Indonesia yang awal kedatangannya dengan iming-iming sebagai pelindung asia, dan membawa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan serta memberikan perubahan dan keadaan yang lebih baik, tidak lain hanyalah sebuah iming-iming belaka sebagai senjata mereka memasuki tanah nusantara ini.
ADVERTISEMENT
Membaca sejarah dengan fiksi juga bisa dianalisis menggunakan lensa kritik poskolonial yang mengeksplorasi hubungan antara sastra dan sejarah, terutama dalam konteks kekuasaan kolonial dan dampaknya terhadap budaya. Kritik poskolonial menganalisis bagaimana karya sastra dari masyarakat yang pernah dijajah menanggapi dan merespon sejarah penjajahan, baik dalam hal perlawanan maupun penyerapan unsur-unsur kolonial.
Novel ini mengangkat tema nasionalisme dan perjuangan cinta tanah air di tengah-tengah dominasi kolonial Belanda di Indonesia. Menggunakan pendekatan Barry, novel ini dapat dilihat sebagai representasi sastra yang tidak hanya menceritakan kisah individu atau kelompok, tetapi juga memproyeksikan narasi sejarah kolonial dan dampaknya terhadap kesadaran nasional bangsa Indonesia.
Melalui perspektif poskolonial, kita dapat menganalisis bagaimana Nur Sutan Iskandar menggambarkan perlawanan terhadap penjajah dalam pembentukan identitas nasional dan cinta tanah air. Ini mencerminkan salah satu ciri kritik poskolonial yang disebutkan Barry: pengarang dari dunia bekas koloni sering kali menulis untuk menegaskan identitas mereka sendiri, sebagai respons terhadap penindasan kolonial. Dengan demikian, karya sastra seperti Cinta Tanah Air berfungsi sebagai sarana untuk menantang narasi kolonial dan menyuarakan kemandirian budaya serta politik.
ADVERTISEMENT
Dalam analisis poskolonial, sejarah penjajahan menjadi latar penting yang memberikan konteks bagi pembentukan cerita, karakter, dan tema utama dalam karya sastra. Sehingga, Cinta Tanah Air bisa dipandang tidak hanya sebagai novel fiksi, tetapi juga sebagai dokumen sejarah yang mengekspresikan perjuangan melawan penjajahan dan upaya membangun identitas nasional pasca-kolonial, yang selaras dengan pendekatan yang dipaparkan oleh Barry dalam bukunya.
Melalui karakter-karakternya, Nur Sutan Iskandar juga menggambarkan perlawanan terhadap ketidakadilan, kesadaran akan pentingnya pendidikan, dan komitmen untuk mengangkat martabat bangsa. Novel ini juga mengangkat tema pengorbanan demi kepentingan nasional dan kecintaan pada tanah air sebagai motivasi kuat dalam melawan penjajah. Cinta Tanah Air mengajak pembacanya untuk merefleksikan pentingnya rasa cinta kepada bangsa dan negara dalam upaya mencapai kemerdekaan dan kebebasan.
ADVERTISEMENT
Novel ini juga harus dibaca oleh semua orang karena novel ini membahas mengenai jiwa nasionalisme yang harus ditumbuhkan kembali karena sudah mulai punah termakan zaman modern seperti sekarang ini. Menariknya, di dalam novel ini disertai gambar-gambar dan banyak sekali bait-bait yang menyuarakan bahwa seseorang harus menanamkan nilai nasionalisme di dalam dirinya. Karena, jika bukan kita lalu siapa lagi. Dan jika bukan sekarang, maka kapan lagi.
Novel ini juga disuguhkan dengan bahasa yang sangat mudah dipahami oleh siapa saja yang membacanya dan akhir dari cerita ini juga sangat sulit ditebak karena berbeda dengan cerita lainnya yang membahas mengenai perjuangan.
Novel ini juga memberikan pelajaran bahwa kita harus mencintai dan melindungi tanah air tercinta ini. Karena, jika lengah sedikit maka nilai-nilai barat yang bertentangan dengan pedoman negara kita akan mudah masuk dan memengaruhi budaya kita. Selain itu, kita juga harus berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dipilih.
ADVERTISEMENT
Novel Cinta Tanah Air ini juga memberikan sisi pandang positif bagi pembaca untuk menumbuhkan cinta terhadap tanah air dan menjadikan pembaca terpengaruh untuk menjadi sosok yang digambarkan seperti dalam novel.
Namun, novel ini menjadi salah satu media propaganda karena mengandung unsur yang tidak sesuai dengan realitanya. Didalam novel ini, di gambarkan kedudukan Jepang sebagai pembawa perubahan bagi rakyat Indonesia dan partisipasi Jepang kepada rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia yang masih minim dalam pendidikan hanya menerima dari setiap kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang, meski ada beberapa yang menentang. Sehingga, penerbitan sebuah tulisan pada masa itu harus mengandung unsur kepentingan Jepang, dan sebaliknya, tulisan yang bernuansa menolak dan adanya kritik yang sedikit melenceng dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah Jepang pastinya akan disingkirkan. Jika kita kembali menelaah kembali novel ini, isi dari novel ini banyak menyinggung kedudukan Jepang di Indonesia, partisipasi rakyat Indonesia terhadap Jepang, mungkin salah satu penyebabnya ialah karna novel ini salah satu karya sastra propaganda pada masa itu yang memuat isi tulisan yang berpihak kepada kepentingan pemerintahan Jepang.
ADVERTISEMENT
Selamat terbawa ke dalam cerita dengan pergulatan di antara cinta dan patriotisme. Jangan lewatkan kesempatan untuk mengetahui apakah Cinta Tanah Air layak masuk dalam daftar bacaan wajib Anda!