Konten dari Pengguna
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck: Cinta Pupus Karena Dinding Tebal Adat
5 November 2025 12:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
Kiriman Pengguna
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck: Cinta Pupus Karena Dinding Tebal Adat
Pergulatan dua hati yang saling mencinta namun tak mampu bersatu karena dinding tebal arus tradisi adat.Lutfi Ashyari
Tulisan dari Lutfi Ashyari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan sebuah kisah cinta yang penuh haru, getir, dan pengorbanan yang menggugah hati pembacanya. Novel ini mengisahkan perjalanan cinta Zainudin, seorang pemuda berdarah campuran Minang dan Bugis, yang harus berhadapan dengan kerasnya adat dan ketidakadilan sosial di tanah kelahiran ayahnya, Padang. Zainuddin jatuh cinta kepada Hayati, seorang gadis Minangkabau yang anggun dan lembut, namun hubungan mereka tidak direstui karena Zainuddin dianggap bukan "orang asli Minang" dan tidak pantas bagi Hayati. Meskipun cinta mereka begitu tulus, Hayati akhirnya dinikahkan dengan Aziz, pria pilihan keluarganya yang kaya dan terpandang, namun jauh dari sosok yang bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Kehancuran rumah tangga Hayati dan Aziz membawa penderitaan yang mendalam bagi Hayati, sementara Zainuddin, meski terluka, berusaha bangkit dan membuktikan dirinya melalui tulisan dan kerja keras hingga ia menjadi seorang penulis ternama di Surabaya. Takdir mempertemukan mereka kembali saat Hayati jatuh miskin dan ditinggal mati oleh suaminya, lalu memohon pengampunan dan perlindungan dari Zainuddin. Namun Zainuddin, yang hatinya masih menyimpan luka lama, menolak Hayati dengan dingin, walaupun cintanya belum pernah padam.
Dalam salah satu momen paling menyayat hati dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, terjadi sebuah dialog yang begitu menggugah antara Zainudin dan Hayati, ketika mereka akhirnya bertemu kembali setelah sekian lama berpisah dan setelah kehidupan membawa luka yang dalam pada keduanya;
ADVERTISEMENT
Hayati: "Saya akan berkata berterus terang kepadamu. Saya akan jujur kepadamu. Akan saya panggil kembali namamu sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan, Zainudin. Saya sudi mengambil cobaan yang menimpa diriku. Asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku."
Zainudin: "Maaf, Kau regas segenap pucuk pengharapanku. Kau patahkan, kau minta maaf."
Hayati: "Kenapa kau jawab aku sekejam itu, Zainudin?"
Zainudin: "Demikianlah perempuan. Dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri kepada orang lain padahal begitu besarnya. Lupakah kau siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau yang berjanji ketika saya diusir ninik mamakmu karena saya asalnya tidak tentu. Orang hina dina tidak tulen Minangkabau.
Ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanganku, berapa pun lamanya. Tetapi kemudian kau berpaling ke yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa, beradat, berlembaga, berketurunan. Kau kawin dengan dia. Kau sendiri yang bilang padaku bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain tetapi pilihan hati kau sendiri.
ADVERTISEMENT
Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati. Dua bulan lamanya saya tergeletak di tempat tidur. Kau jenguk saya dalam sakitku menunjukkan bahwa tangan kau telah berinang, bahwa kau telah jadi kepunyaan orang lain. Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati? Saya kirimkan surat-surat meratap, menghinakan diri, memohon dikasihani.
Tiba-tiba kau balas saja surat itu dengan suatu balasan yang tak tersudu di itik, tak termakan di ayam. Kau katakan bahwa kau miskin, saya pun miskin. Hidup tidak akan beruntung kalau tidak ada uang. Karena itu kau pilih kehidupan yang lebih senang, mentereng, cukup uang, berenang di dalam emas, bersayap uang kertas. Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati? Siapakah yang telah menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan tetapi akhirnya terbuang jauh ke tanah Jawa ini. Hilang kampung dan halamannya. Sehingga dia menjadi seorang anak komedi yang tertawa di muka umum tetapi menangis di belakang layar.
ADVERTISEMENT
Tidak Hayati, saya tidak kejam. Saya hanya menuruti katamu. Bukankah kau yang meminta dalam suratmu supaya cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja, diganti dengan persahabatan yang kekal. Permintaan itulah yang saya pegang teguh sekarang. Kau bukan kecintaanku, bukan tunanganku, bukan istriku, tetapi janda dari orang lain. Maka itu, secara seorang sahabat, bahkan secara seorang saudara, saya akan kembali teguh memegang janjiku dalam persahabatan itu. Sebagaimana teguhku dahulunya memegang cintaku.
Itulah sebabnya dengan segenap ridho hati ini kau kubawa tinggal di rumahku untuk menunggu kedatangan suamimu. Tetapi kemudian bukan dirinya yang kembali pulang, tetapi surat cerai dan kabar yang mengerikan. Maka itu sebagai seorang sahabat pula kau akan kulepas pulang ke kampungmu, ke tanah asalmu, tanah Minangkabau yang kaya raya, yang beradat, berlembaga, yang tak lapuk di hujan, tak lekang di panas. Ongkos pulangmu akan saya beri demikian pun uang yang kau perlukan. Dan kalau saya masih hidup, sebelum kau mendapat suami lagi, Insya Allah, kehidupanmu selama di kampung akan saya bantu."
ADVERTISEMENT
Hayati: "Zainudin, itukah keputusan yang kau berikan kepadaku?, bukankah kau telah termasyhur di mana-mana?, seorang yang berhati mulia. Tidak, saya tidak akan pulang. Saya akan tetap di sini bersamamu. Biar saya kau hinakan, biar saya kau pandang sebagai babu yang hina. Saya tak butuh uang berapa pun banyaknya, saya butuh dekat dengan kau, Zainudin. Saya butuh dekat dengan kau."
Zainudin: "Tidak. Pantang pisang berbuah dua kali. Pantang pemuda makan sisa. Kau mesti pulang kembali ke Padang. Biarkan saya dalam keadaan begini. Jangan mau ditumpang hidup saya. Orang tidak tentu asal, negeri Minangkabau beradat. Besok hari Senin ada kapal berangkat dari Surabaya menuju Tanjung Priok terus ke Padang. Kapal Van Der Wick. Kau menumpanglah dengan kapal itu pulang ke kampungmu."
ADVERTISEMENT
Dialog ini menggambarkan pertarungan batin antara cinta dan kekecewaan, antara harapan yang pupus dan perasaan yang tak pernah benar-benar mati. Tak ada jeritan, tak ada kemarahan yang meledak, hanya kalimat-kalimat lirih yang mengandung ratusan luka yang tersembunyi. Dalam sekejap, pembaca dibawa ke dalam pergulatan dua hati yang saling mencinta namun tak mampu bersatu karena dinding tebal adat dan keputusan yang telah terlambat. Dialog itu pun menjadi penanda bahwa cinta sejati tak selalu bisa bersatu di dunia, dan kadang hanya bisa dikenang dalam diam dan air mata.
Akhir cerita menjadi sangat mengharukan ketika Hayati meninggal dunia dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya dengan kapal Van Der Wijck, yang tragisnya tenggelam dalam pelayaran. Kematian Hayati mengguncang Zainudin hingga akhirnya ia menyadari bahwa amarah dan dendamnya telah menutup pintu kebahagiaan terakhir yang mungkin masih bisa mereka miliki. Penyesalan itu datang terlambat, dan Zainudin hanya bisa menangisi cinta yang telah hilang bersama tenggelamnya kapal dan gadis yang paling dicintainya.
ADVERTISEMENT
Kisah ini tidak hanya menggambarkan cinta yang tak sampai, tetapi juga menyuarakan kritik tajam terhadap ketimpangan sosial, kekakuan adat, dan bagaimana cinta bisa hancur oleh tekanan lingkungan. Tragedi cinta Zainudin dan Hayati menjadi simbol luka yang dalam, yang terus membekas dan dikenang dalam sejarah sastra Indonesia.

