Konten dari Pengguna

Ketika Publik Butuh Jawaban, Pemerintah Kasih Lawakan: Di Mana Logika Ilmiah?

LUTHFI MUBAROK
Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya
21 April 2025 11:03 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari LUTHFI MUBAROK tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi dibuat menggunaan ai dan canva
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi dibuat menggunaan ai dan canva
ADVERTISEMENT
Apakah kalian familiar dengan pernyataan, “Dimasak aja kepala babinya!”? Kalimat ini diucapkan oleh Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Polri Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko ketika menjawab pertanyaan wartawan soal aksi teror terhadap redaksi Tempo, yang dikirimi kepala babi sebagai simbol ancaman terhadap kebebasan pers. Tak hanya itu, publik juga dibuat heran ketika Presiden Prabowo Subianto menanggapi mahalnya harga cabai dengan saran, “Jangan terlalu banyak makan pedas.” Kedua pernyataan ini hanyalah segelintir dari pola komunikasi nyeleneh yang muncul saat pejabat publik diwawancarai. Ketika rakyat mengangkat keresahan serius disertai data dan fakta, respons seperti ini terasa tidak solutif dan tidak menghormati akal sehat publik. Apakah pola ini sekadar spontanitas, atau justru mencerminkan cara berpikir tertentu?
ADVERTISEMENT
Dalam artikel ini, saya mengajak kalian melihat lebih dalam bagaimana komunikasi pemerintah kepada masyarakat jika ditinjau dari sudut pandang logika penyelidikan ilmiah, pendekatan yang menuntut kejelasan, bukti, dan penalaran yang masuk akal dalam merespons persoalan nyata.
Menurut George F. Kneller, logika adalah penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir yang valid dan sistematis. Sementara itu, ilmiah merujuk pada pendekatan objektif dan berbasis bukti yang dapat diverifikasi. Maka, logika penyelidikan ilmiah adalah proses berpikir terstruktur dalam mengkaji masalah dengan penalaran yang valid dan berbasis data.
Berpikir filsafat berperan penting dalam logika penyelidikan ilmiah, karena keduanya menuntut pemikiran yang tajam, bertanggung jawab, dan berlandaskan ciri seperti kritis, rasional, reflektif, sistematis, dan koheren. Sayangnya, dalam banyak kasus, komunikasi pemerintah justru menunjukkan pengingkaran terhadap ciri-ciri tersebut. Pernyataan yang tidak relevan atau menyimpang dari inti masalah menunjukkan pendekatan yang jauh dari nalar ilmiah maupun cara berpikir filosofis yang sehat.
ADVERTISEMENT
1. Rasional
Berpikir rasional berarti menggunakan logika dan akal sehat dalam menanggapi persoalan. Namun, pernyataan seperti “jangan terlalu banyak makan pedas” saat menanggapi harga cabai mahal, menunjukkan penyederhanaan masalah dan pengabaian terhadap penyebab struktural. Alih-alih memberikan penjelasan berbasis data, respons ini justru melemahkan argumen pemerintah sendiri.
2. Sistematis
Pola pikir sistematis menuntut gagasan disampaikan secara runtut dan terarah. Dalam banyak wawancara, jawaban pejabat justru melompat ke isu lain yang tidak relevan. Misalnya, ketika ditanya tentang peningkatan pengangguran pada 15 Maret 2025, seorang menteri justru menjelaskan soal pembangunan infrastruktur tanpa kaitan langsung dengan penciptaan lapangan kerja. Ini menunjukkan alur berpikir yang tidak jelas dan membingungkan.
3. Koheren
Koherensi menjaga konsistensi antara argumen, data, dan konteks. Contohnya terlihat pada pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara The Economic Insights 2025, saat menanggapi tagar “Indonesia Gelap.” Ia membandingkan situasi Indonesia dengan negara lain tanpa data pembanding yang relevan, lalu menutup dengan kalimat, “Yang gelap itu kamu, bukan Indonesia.” Respons ini tidak menjawab substansi kritik soal ketimpangan dan masa depan ekonomi, melainkan mengalihkan fokus secara emosional, tanpa kesinambungan logika dengan konteks awal.
ADVERTISEMENT
4. Reflektif
Berpikir reflektif berarti mempertimbangkan dengan matang dampak dari ucapan atau respons yang diberikan. Namun, respons spontan seperti “dimasak saja kepala babinya” saat ditanya soal ancaman terhadap jurnalis, menunjukkan ketiadaan refleksi terhadap makna simbolik dan dampak sosial dari pernyataan tersebut. Ini memperlihatkan reaksi spontan yang tidak mempertimbangkan efeknya pada publik.
5. Bertanggung Jawab
Komunikasi publik yang baik menuntut tanggung jawab etis dalam menyampaikan informasi. Ketika pernyataan sembrono atau meremehkan dikeluarkan dalam konteks yang serius, hal itu mencerminkan pengingkaran terhadap tanggung jawab sebagai pejabat publik. Alih-alih memberi kejelasan, pernyataan seperti itu memperkeruh suasana dan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Pola Sesat Pikir (Logical Fallacy)
Selain ciri-ciri di atas, pola sesat pikir juga sering ditemukan dalam respons pejabat terhadap kritik. Dalam logika, ini disebut logical fallacy—penalaran yang tampak logis, padahal cacat secara struktur. Menurut Irving M. Copi, sesat pikir adalah argumen yang terlihat sah, namun menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Contohnya terlihat saat Presiden Prabowo Subianto menanggapi kritik ilmuwan soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan kalimat, “Kalau saya kasih makan anak lapar, apa itu salah?” Kritik yang disampaikan sebenarnya menyasar pada kesiapan dan efektivitas program, namun Prabowo menyederhanakan kritik tersebut seolah-olah para ilmuwan menolak memberi makan anak-anak. Ini merupakan strawman fallacy—memutarbalikkan argumen lawan agar lebih mudah dibantah. Pernyataan tersebut juga mengandung red herring, karena mengalihkan isu dari pertanyaan substansial ke argumen moral yang tidak relevan. Selain itu, false dilemma juga tampak, karena hanya menyodorkan dua opsi ekstrem: memberi makan atau tidak sama sekali, padahal ada banyak alternatif kebijakan yang bisa dipertimbangkan.
Pola komunikasi pemerintah yang kurang logis atau menyimpang dari pokok masalah bisa terjadi karena berbagai dinamika internal dalam proses pengambilan keputusan. Meski tidak bisa disimpulkan tanpa kajian mendalam, respons-respons yang cenderung defensif atau emosional menjadi gejala yang sering terlihat.
ADVERTISEMENT
Namun begitu, pemerintah mulai menyadari pentingnya evaluasi komunikasi. Sekjen Partai Gerindra pernah menyatakan bahwa pola komunikasi Presiden Prabowo akan terus dievaluasi demi perbaikan. Dalam wawancara panjang bersama Najwa Shihab, Prabowo juga menunjukkan sikap terbuka terhadap kritik dan pentingnya mendengarkan suara publik.
Kesadaran ini merupakan langkah awal yang baik. Komunikasi publik yang logis, relevan, dan terbuka tidak hanya mencerminkan kepemimpinan yang sehat secara intelektual, tapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat. Ke depan, pelibatan ahli komunikasi dan pendekatan ilmiah menjadi langkah penting agar pernyataan-pernyataan publik tetap masuk akal dan bertanggung jawab.