Jalan Terjal Periyar Sang Revolusioner Emansipasi dan Pendidikan di India

Luthfi Ridzki Fakhrian
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
4 Juni 2022 12:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Luthfi Ridzki Fakhrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mural B. R Ambedkar (Merah) dan Periyar EV Ramasamy (Biru) di India Selatan, Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Mural B. R Ambedkar (Merah) dan Periyar EV Ramasamy (Biru) di India Selatan, Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Sistem kasta bukanlah sesuatu hal baru di India, kepercayaan akan sistem kasta telah lama ada menjadi tradisi yang dipertahankan selama ribuan tahun.
ADVERTISEMENT
Dalam teori sejarah sosial, kemunculan sistem kasta dimulai sejak kedatangan orang Arya di India sekitar tahun 1500 SM. Mereka menaklukkan daerah-daerah di India utara dan pada saat yang bersamaan juga mendorong penduduk lokal yaitu orang Dravida ke selatan atau menuju hutan dan pegunungan di India utara.
Sejak masa pergerakan kemerdekaan India berbagai cara telah dilakukan berbagai tokoh untuk menghentikan diskriminasi kasta di India.

Humanis Penentang Eksploitasi Kaum Dalit dan Perempuan

Salah satu tokoh yang berjuang untuk menghentikan diskriminasi kasta adalah Erode Venkatappa Ramasamy atau lebih dikenal dengan gelar ”Periyar” EV Ramasamy yang lahir pada 17 September 1879 di kota Erode, Tamil Nadu, India Selatan. dari seorang Ayah pemilik usaha kecil yang bernama Venkata Naicker.
ADVERTISEMENT
Periyar sendiri bukanlah seorang intelektual dari studi pendidikan tinggi, yang hebat dalam mendalilkan dan melafalkan teori seperti teori tentang langit dan bumi misalnya, melainkan dia adalah seorang pekerja lapangan aktif yang membawa pesannya kepada orang-orang, dan menyampaikannya dalam bahasa yang dipahami oleh jutaan buta huruf, dan melalui metode yang cocok untuk mereka. Kekerasan yang tampak dari beberapa tekniknya di mata para elite harus dilihat dengan latar belakang kepeduliannya terhadap masyarakat tertindas.
Ketidaksukaan Periyar terhadap kaum Brahmana dan orang Arya muncul ditahun 1904 saat dia menginjak usia 25 tahun. Saat itu Periyar mengunjungi Varanasi (Kashi), di mana dia diusir di Dharamshala oleh seorang pedagang Dravida hanya karena memakan makanan yang disediakan untuk para Brahmana di sana. Karena sangat kelaparan, dengan terpaksa Periyar memakan sisa makanan yang dibuang di luar kuil. Anjing liar yang ada di sana juga berbagi makanan dengannya. Peristiwa ini pada akhirnya meninggalkan kebencian abadi mendalam terhadap sistem kasta dibenaknya.
ADVERTISEMENT
Dia juga merasa sangat rasa jijik terhadap Varanasi, sebuah kota yang dianggap suci tetapi mendukung sistem diskriminasi dalam kasta. Dari kejadian di Varanasi juga dia menyadari bagaimana ternyata orang Arya diperlakukan berbeda dari orang Dravida. Hal ini membuat Periyar menjadi kritikus yang sangat berani dan cenderung keras terhadap para Brahmana, yang percaya bahwa mereka lebih unggul.
Sejak saat itu dia memutuskan untuk protes dan berjuang sepanjang hidupnya melawan kesombongan kasta khususnya di India Selatan. Howard Zinn dalam Buku Ketidakpatuhan dan Demokrasi (2020:144) menyebut bahwa (Protes) memberi kita jaminan untuk menjaga kebebasan individu, ini adalah salah satu cara yang aman yang akan membuat seluruh masyarakat dapat memastikan bahwa ia tidak terperosok ke dalam penyalahgunaan kekuasaan yang menyeramkan.
ADVERTISEMENT
Periyar berjuang untuk membentuk masyarakat yang menjamin kesetaraan nyata dan tidak dapat dicabut haknya bagi semua orang, baik laki-laki dan perempuan, penyebaran melek huruf universal, pemberantasan sistem kasta (khas negara India), diskriminasi dalam bentuk apapun, kepercayaan takhayul.

Bergabung dengan Gerakan Politik

Periyar memutuskan bergabung dengan gerakan politik kemerdekaan Kongres Nasional India pada tahun 1919 setelah berhenti membantu ayahnya. Dia menjabat sebagai ketua Kongres Nasional India di Kota Erode dan dengan sepenuh hati melakukan program-program konstruktif.
Pada tahun 1921, atas perintah Mahatma Gandhi, dia memimpin agitasi untuk melarang toko toddy yang menjual kain dan pakaian asing. Karena protes ini, dia ditangkap pada November 1921 dan di penjara selama satu bulan di penjara Coimbatore. Setelah dibebaskan, ia memutuskan menebang 500 pohon kelapa di kebunnya, untuk mendukung agitasi anti-toddy Gandhi. Dia menebangnya karena pohon-pohon itu adalah sumber ekstrak toddy untuk kain dan pakaian asing.
ADVERTISEMENT
Kemunculannya dalam protes Vaikom Satyagraha (1924-1925) dan menentang diskriminasi kasta Hindu dalam masyarakat Kerala di India Selatan membuatnya semakin dihormati. Karena saat itu di Travancore, Kerala dikenal akan sistem kasta yang kaku dan menindas bahkan Swami Vivekanda seorang pendeta hindu pernah mengatakan bahwa Travancore adalah "rumah sakit jiwa".
Periyar memiliki peran vital dalam protes dan perjuangan Vaikom Satyagraha karena saat itu hampir semua pemimpin Kongres Nasional India yang ikut serta dalam agitasi gerakan protes tersebut ditangkap. Sehingga Periyar diminta untuk memimpin protes yang berlanjut selama 140 hari.
Setelah intervensi Mahatma Ghandi di Kerala maka agitasi dihentikan dan kompromi tercapai. Walaupun akhirnya dia harus ke pengadilan dan ditangkap sehingga dia menghabiskan 74 hari di penjara atas dasar “gerakan perjuangan Vaikom Satyagraha” yang bersejarah ini.
ADVERTISEMENT
Sejak bergabung dengan Kongres, Periyar telah banyak berjuang untuk mencapai hak-hak komunal untouchability atau mereka yang tak tersentuh. ujar Kandasamy terkait perjuangan periyar, dikutip dari Analisis Fuzzy dan Neutrisophic dari Pandangan EV Ramasamy tentang Untouchability (2005). Upayanya selalu gagal di Kongres karena diskriminasi dan ketidakpedulian kalangan elite Brahmana, yang menyebabkan dia meninggalkan partai pada tahun 1925 untuk menyatakan kekecewaanya.
Perjuangannya tidak berhenti disana, selanjutnya dia memulai petualangan internasionalnya dalam mencari filosofi politik ke berbagai Negara selama tahun 1929 hingga 1932 dalam perjalanannya dia berhasil merumuskan “Gerakan Harga Diri” sebagai ideologi politik menuju cita-cita konsep sosial Harga Diri.
Menurut Anita Diehl dalam Buku EV Ramaswami Naicker-Periyar: Sebuah studi tentang pengaruh kepribadian di India Selatan (1977:69), sistem komunis yang dikenalkan oleh Uni Soviet sangat menarik untuknya, sehingga sangat tepat digunakan untuk menangani penyakit sosial negara. Jadi, untuk masalah sosial dan ekonomi dia adalah seorang Marxis, walaupun dia sangat tidak menganjurkan untuk menghapuskan kepemilikan pribadi.
ADVERTISEMENT
Setelah kembali ke India, Periyar membentuk aliansi bersama tokoh kiri yaitu M. Singaravelar dan bekerja sama untuk menggabungkan cita-cita sosialis dan harga diri. Hal ini menandai tahap penting perkembangan dalam “Gerakan Harga Diri” yang selanjutnya dilanjutkan dalam memperjuangkan “Emansipasi Wanita”. Secara aktif dia menentang eksploitasi terhadap kaum Dalit, dan juga perempuan. Periyar dikenal sebagai satu dari sedikit pemimpin kemerdekaan India pada masa itu, yang memastikan bahwa perempuan bebas untuk menjadi peserta aktif dalam politik dan gerakan protes turun ke jalan.
Pada tahun 1937 perdana menteri Kepresidenan Madras, membuat pelajaran wajib untuk bahasa Hindi di berbagai sekolah negeri di India Selatan. Hal membuat Periyar sangat gelisah dan menentang dengan aksi massa usaha penggunaan bahasa Hindi yang dianggapnya sebagai bahasa orang Arya di Utara dan kaum Brahmana untuk menyusup ke dalam budaya Dravida. Dia merasa hal tersebut akan membuat orang Tamil lebih rendah dari orang Arya di Utara.
ADVERTISEMENT
Dalam protes itu banyak pemuda tamil dan wanita digaris depan gerakan karena dia. Atas dedikasinya itu jugalah gelar “Periyar” didapatkannya dari seorang wanita Dalit bernama Meenabal yang dengan bangga menganugerahkan EV Ramasamy dengan gelar "Periyar" (yang memiliki arti yang lebih tua, atau yang bijak) pada tahun 1938 di Madras — sekarang Chennai, dalam sebuah konferensi di mana dia juga berbicara tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender untuk pembebasan.
Periyar adalah kekuatan yang kuat pada masa itu yang berjuang sekuat tenaga untuk pendidikan perempuan dan kesetaraan gender. Dia bersikeras bahwa wanita harus memiliki hak untuk memilih pasangan hidup mereka dan juga untuk keluar dari pernikahan yang gagal. Di tahun 1938 Periyar bergabung dan menjadi ketua dari Partai Keadilan — selanjutnya berganti nama menjadi Dravidar Kazhagam (Asosiasi Dravida) yang fokus memperjuangkan Hak-hak orang Dravida.
ADVERTISEMENT

Dravida Nadu, Kemerdekaan India, dan Penghargaan

Periyar sempat mengadakan konferensi dan berhasil merilis peta Dravida Nadu, dia berkeinginan bahwa solusi Inggris tidak hanya 2 Negara yaitu Pakistan (Muslim) dan India (Hindu) tetapi juga Negara Dravida bersatu di Selatan. Konsep Dravida Nadu sebagai Negara terpisah mendapat simpati dari sahabatnya yang juga meninggalkan Kongres Nasional India yaitu Ali Jinnah dari Liga Muslim dan B. R Ambedkar yang menjadi pemimpin gerakan Buddhis Dalit, namun gagal mendapatkan dukungan dari orang Dravida lain selain Tamil seperti Malayali, dan Telugu karena kekhawatiran akan dominasi Tamil, atas dasar itu menurut S. Saraswathi dalam Menuju Harga Diri (2004) akhirnya konsep Dravida Nadu sebagai sebuah negara merdeka tidak berhasil mendapatkan restu dan persetujuan Inggris.
ADVERTISEMENT
Pasca kemerdekaan India pada 1947, walaupun gagal mendapatkan simpati akan konsep Negara Dravida Nadu, namun nyatanya Gerakan anti-Bahasa Hindi yang dimulai oleh Periyar tetap mendapat perhatian dari orang Dravida lain selain Tamil sehingga gerakan ini terus membesar ke luar Tamil Nadu dan menyatukan perlawanan menentang penggunaan bahasa Hindi di Negara Bagian India Selatan lainnya seperti Kerala, Andhra Pradesh, Karnataka.
Meskipun dia memiliki perbedaan mendasar dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan Mahatma Gandhi, Periyar sangat sedih ketika mengetahui bahwa Ghandi menjadi korban peluru seorang fundamentalis agama Hindutva. Dia bahkan menyarankan pada kesempatan itu bahwa India harus diganti namanya menjadi Gandhi Nadu.
Atas dedikasi perjuangan dan pemikirannya MANDRAM UNESCO memberikan Penghargaan kepada Periyar, lewat Menteri Pendidikan Federal, Triguna Sen di Chennai pada 27 Juni 1970, menyerahkannya kepadanya. Kutipan itu memuji Periyar sebagai "Nabi Zaman Baru, Socrates Asia Tenggara, Bapak Gerakan Reformasi Sosial, dan musuh utama kebodohan, takhayul, adat-istiadat yang tidak berarti, dan sopan santun”.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan terakhirnya di Thiagaraya Nagar, Chennai pada 19 Desember 1973, Periyar mendeklarasikan seruan aksi untuk mencapai kesetaraan sosial dan cara hidup yang bermartabat. Pada 24 Desember 1973, Periyar EV Ramasamy meninggal dalam damai pada usia 94 tahun.
Pemerintah Nasional India memberikan kutipan dalam stempel peringatan yang dikeluarkan oleh mereka pasca meninggalnya Periyar untuk menandai 100 tahun Periyar. “Secara khusus, Ramasami mengkhotbahkan pernikahan antar kasta dan pernikahan kembali para janda. Adalah keyakinannya yang teguh bahwa ortodoksi, takhayul, diskriminasi sosial, dan banyak kejahatan lain yang bertahan dalam masyarakat harus disingkirkan. Dia mengobarkan pertempuran tanpa henti melawan ini sampai akhir hayatnya.” Akan menarik bagi kita semua untuk mengetahui bahwa mungkin ini adalah pertama kalinya dalam sejarah dunia seorang Ateis dihormati dan jasanya di apresiasi oleh Pemerintah suatu Negara”.
ADVERTISEMENT