Prof Mundardjito: Arkeolog Termasyhur Indonesia

Luthfi Ridzki Fakhrian
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
30 Mei 2022 19:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Luthfi Ridzki Fakhrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Situs Arkeologi Borobudur, Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Situs Arkeologi Borobudur, Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hampir satu tahun tepatnya sejak 2 Juli 2021, Dunia Arkeologi Indonesia ditinggalkan oleh Prof Mundardjito yang kerap disapa Pak Otti, sumbangsih dan kontribusi yang besar dalam mengangkat Arkeologi Indonesia membuatnya dijuluki sebagai Bapak Arkeologi Indonesia. Melansir dari Tokoh.Id, dalam perjalanannya Prof Mundardjito (Pak Otti) telah menghabiskan ¾ hidupnya untuk terjun langsung di dunia Arkeologi.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang nama beliau mungkin terdengar samar di telinga, namun perjuangan, karya, kontribusi dan warisannya patut dicatat dalam tinta emas dalam dunia Arkeologi Indonesia dan Sejarah bangsa Indonesia.

Masa Muda

Lahir di Bogor, 8 November 1936, Prof Mundardjito (Pak Otti) adalah satu dari 6 bersaudara, sekaligus putra dari seorang doktor kepala di Kebun Raya Bogor yaitu Bapak Soedardjo.
Mundardjito muda memulai pendidikannya sejak masa kanak-kanak, ia bersekolah di Sekolah Belanda-Cina yang berada di daerah Gang Batu yaitu Hollandsche Chineesche School. Ia menamatkan pendidikan dasarnya di SDN Bogor pada tahun 1949, Pak Otti meneruskan pendidikannya di SMPN Bogor pada tahun 1949-1952, selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya di SMA di Kota Bogor dan lulus pada 1955. Dalam pendidikan selanjutnya ia memutuskan untuk masuk ke Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra (sekarang FIB) Universitas Indonesia, dari sinilah ia mulai tertarik dalam dunia Arkeologi.
ADVERTISEMENT
Melansir dari Tokoh.Id, Mundardjito ternyata juga gemar mendaki gunung dan bersahabat dekat dengan Soe Hok Gie. Bahkan tidak banyak diketahui, bahwa Mundardjito ternyata atas permintaan Soe Hok Gie menjadi orang yang berjasa dalam memberikan nama dari “Mapala” pada kelompok mahasiswa pencinta alam dari Universitas Indonesia yang didirikan oleh Soe Hok Gie. Kata itu, selain sebagai akronim dari “Mahasiswa Pencinta Alam”, “Mapala” juga memiliki arti “Berbuah” dalam bahasa Sanskerta, bahasa yang saat itu dikuasai oleh Mundardjito selain bahasa Jawa kuno.
Selain itu seperti anak muda lainnya Mundardjito juga sempat memiliki ketertarikan lainnya dalam dunia hiburan yaitu musik, namun pada akhirnya ia meninggalkan musik dan mulai fokus mengejar studi arkeologi dan menjadi akademisi. Setelah lulus pada 1963 dan menjadi sarjana, ia dipercaya menjadi asisten dosen di Jurusan Arkeologi UI.
ADVERTISEMENT

Sumbangsih Besar bagi Arkeologi Indonesia

Pada tahun 1964 Mundardjito menjadi dosen tetap di Universitas Indonesia. Selanjutnya ditahun 1969 ia juga berhasil mendapatkan beasiswa pendidikan di University of Athens untuk mengambil studi tentang Metodologi Arkeologi.
Pendidikannya di University of Athens inilah yang menjadi awal kontribusi besarnya terhadap dunia Arkeologi Indonesia sehingga ia diberi gelar sebagai Bapak Metode Arkeologi di Indonesia, setelah menyelesaikan studinya di University of Athens dan pulang ke Indonesia pada 1971, ia mendirikan sebuah mata kuliah baru yaitu Metode Arkeologi.
Berkat sumbangsih dan dedikasinya Mundardjito dipercaya menjadi Ketua Prodi Arkeologi Universitas Indonesia pada tahun 1970-1972, ia juga diangkat menjadi Guru Besar Arkeologi di Universitas Indonesia hingga pensiun ditahun 2001.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1978-1979, Mundardjito kembali mendapatkan beasiswa untuk mempelajari Teori Arkeologi di Pennsylvania University, pada tahun 1993 ia kembali memberikan sumbangsih bagi dunia Arkeologi Indonesia dengan mendirikan cabang ilmu baru yaitu Arkeologi Ekologi dan Keruangan. Mundardjito berhasil meraih gelar doktor tanpa melalui jenjang S2. Dan berhasil lulus dengan predikat tinggi yaitu cum laude.
Dalam disertasinya yang berjudul “Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Buddha di Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi Ruang Skala Makro”, ia dengan tegas menyatakan bahwa candi didirikan di sebuah lokasi bukan hanya karena pertimbangan keagamaan, melainkan juga menitikberatkan pada pertimbangan ekologis, seperti jarak dari sungai, kemiringan tanah kesuburan tanah, dan kedalaman sumber air tanah.
Pada tahun 1994 ia juga berhasil mendapatkan penghargaan Satyalencana 30 tahun yang diberikan langsung oleh Presiden Soeharto atas ketekunan, kontribusi, kinerja dan prestasinya dalam dunia Arkeologi.
ADVERTISEMENT
Ia diangkat menjadi Guru Besar Madya Tetap pada tahun 1995 dan memberikan pidato pada saat pengukuhannya dengan judul “Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya”, dilansir dari Historia, Prof Mundardjito (Pak Otti) saat itu menyatakan dengan tegas tentang peran masyarakat dan publik yang ikut andil dalam pelestarian situs serta kawasan arkeologi.
Melansir dari IAAI. ID, Mundardjito (Pak Otti) menjadi 1 dari 10 ahli arkeologi lainnya yang mendirikan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) sebagai wadah bagi para sarjana dan ahli arkeologi untuk bekerja sama dalam membangun Arkeologi di Indonesia. Ia berhasil memberikan kontribusi pertemuan IAAI ditahun 1997 dengan tersusunnya kode etik arkeologi yang disusun bersama para ahli arkeologi lainnya.
Ia juga mendapatkan gelar bangsawan yaitu Kanjeng Raden Haryo pada tahun 2010 dari Paku Buwono XIII di keraton Surakarta, pada tahun 2013 ia bersama empat kerabatnya juga mendapatkan penghargaan Maestro Seni Tradisi yang diberikan langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Pada 2014 Prof Mundardjito (Pak Otti) mendapatkan penghargaan Achmad Bakrie Award XIII kategori pemikir sosial, karena dianggap menjadi garda terdepan dalam memajukan, memperkokoh dan memasyarakatkan arkeologi di Indonesia. Tidak berhenti disitu ia juga dianggap telah menjadikan arkeologi menjadi salah satu sarana dalam menghidupkan kebudayaan Indonesia, di samping memperbaharui metodologi penelitian arkeologi.
Hingga usia senjanya yang menginjak 80-an, Prof Mundardjito tetap aktif memperjuangkan pelestarian purbakala baik dalam struktur perundang-undangan, ahli cagar budaya, bahkan meninjau langsung di lapangan bersama para murid-muridnya.
Meskipun kini Prof Mundardjito sudah tiada, namun jasa dan pemikiran-pemikiran cemerlangnya dalam bidang arkeologi tak akan pernah lekang oleh waktu. Nama Prof Mundardjito selalu dikenang sebagai Bapak Arkeologi Indonesia karena berkatnya arkeologi tidak hanya dipandang sebagai ilmu yang mempelajari sejarah raja di masa lalu, melainkan lebih dari itu sehingga arkeologi menjadi lebih terpandang karena adanya metodologi, teori, dan pengetahuan arkeologi lapangan.
ADVERTISEMENT