Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Cara Orang Jepang Menolak, Aimai.
22 Oktober 2022 13:08 WIB
Tulisan dari Luthfia Kurniawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Dokumentasi pribadi.](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01gft5s43rtpv7bbwsb816nszr.jpg)
ADVERTISEMENT
Dalam hidup, kadang kala harus memilih satu di antara sekian banyaknya pilihan. Namun, tak jarang juga orang lain menentukan suatu pilihan atau menawarkan sesuatu sehingga kita harus mengatakan “tidak” atau menolak seseorang. Masyarakat Jepang sering kali menolak dengan halus sehingga sering menimbulkan arti lain dari yang ingin diucapkan. Keadaan ketika ucapan atau tindakan memiliki arti banyak akibat saat penyampaiannya tidak jelas, menimbulkan ambiguitas atau yang sering disebut dengan aimai . Dalam bahasa Jepang, arti dari ambiguitas adalah “aimaina”. Namun, istilah ini dapat berarti “samar-samar, tidak jelas, meragukan, patut dipertanyakan, bermakna ganda”, dan masih banyak lainnya (Oe, 1995 p. 187).
ADVERTISEMENT
Ambiguitas
Pada umumnya, orang Jepang menoleransi ambiguitas sehingga dianggap sebagai salah satu karakteristik budaya Jepang. Tak sedikit masyarakat Jepang yang menggunakan konsep aimai sehingga tercipta pola pikir bahwa penggunaan aimai digunakan untuk suatu kebajikan dan bahasa Jepang lebih menekankan pada ambiguitas daripada kebanyakan orang.
Asal-Usul Aimai
Sebagai salah satu konsep yang tertanam dalam masyarakat Jepang, aimai juga dipengaruhi oleh salah satu teori sosial determinisme geografis. Determinisme geografis merupakan salah satu teori sosial yang terbentuk karena kondisi geografis dari suatu negara. Pertama, sebagai salah satu negara kepulauan di dunia, Jepang memiliki banyak lautan yang berbahaya dan tak terduga yang memisahkan Jepang dengan negara Asia lainnya. Kemudian, banyaknya pegunungan di Jepang memberikan dampak pada masyarakat untuk tinggal secara berkomunitas karena keterbatasan lahan. Dampak positifnya adalah masyarakat saling mengenal satu sama lain dan terbentuknya keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Jepang, atau yang sering disebut dengan wa.
ADVERTISEMENT
Contoh Ambiguitas
Untuk menolak suatu tawaran, orang Jepang menggunakan ungkapan dengan makna yang berbelit, seperti chotto, demo, kangaete-okune, dan masih banyak lainnya. Jika seseorang benar-benar tidak setuju, bahkan orang lain tidak berharap agar diberitahu secara jelas bahwa ia ditolak. Contoh paling terkenal adalah ungkapan “maa-maa” ketika seseorang ditanya mengenai kabarnya. Kata tersebut masuk ke dalam aimaina kotoba atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan bahasa ambigu. Sayangnya, ungkapannya menjadi terlihat buruk karena memiliki makna dengan rentang yang sangat halus dan tergabung dalam jawaban yang samar-samar.
Kebudayaan Jepang di Mata Dunia
Tak jarang mendengar sebutan orang Jepang sebagai orang yang pemalu dan sulit untuk dipahami karena tidak mudah untuk menebak pikiran mereka. Bila tidak setuju terhadap pendapat seseorang, mereka akan menerima di awal dan mulai menunjukkan ketidaksetujuannya dengan cara yang samar dan tidak jelas. Namun, bagi masyarakat yang tinggal di negara Barat, hal ini termasuk menjadi suatu yang salah dan lebih baik untuk disampaikan secara langsung apabila tidak menyetujui suatu opini, karena kejujuran dari pendapat seseorang merupakan suatu hal yang penting dan cenderung untuk menyampaikan ide-ide dengan lebih jelas.
ADVERTISEMENT
Alhasil, aimai dapat menyebabkan kesalahpahaman, terutama dari orang-orang yang tidak berasal dari Jepang. Selain kesalahpahaman, bagi masyarakat internasional pun, ambiguitas tersebut menyebabkan perasaan tidak nyaman, seperti jengkel, karena bila orang Jepang dihadapkan pada suatu pilihan, mereka tidak bisa langsung memilih yang mana.
Daftar Pustaka
Davies, R. J., & Ikeno, O. (2011). Japanese mind: Understanding contemporary japanese culture. Tuttle Publishing.
Kenzaburō, Ō. (1995). Aimaina nihon no watashi.