Konten dari Pengguna

Pesan Moral dalam Awal dan Mira: Cinta, Kesenjangan Sosial, dan Dampak Perang

Luthfiyah Sulistio
Pelajar, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Uin Syarif Hidayullah Jakarta
11 Juli 2024 16:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Luthfiyah Sulistio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Awal dan Mira" karya Utuy Tatang Sontani adalah sebuah drama menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia pada era 1950-an, masa setelah perang kemerdekaan. Drama ini tidak hanya mengangkat kisah cinta yang penuh liku antara dua tokoh utamanya, Awal dan Mira, tetapi juga mengkritik kerasnya realitas kehidupan, kesenjangan sosial dan dampak perang yang terjadi pada masa itu. Utuy menyoroti bagaimana perang meninggalkan bekas yang mendalam pada individu dan masyarakat. Tema cinta dalam drama ini tidak hanya sekadar romansa antara dua tokoh utama, tetapi juga menjadi medium untuk mengkritik stratifikasi sosial dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Cerita ini menggambarkan bagaimana karakter-karakter dalam drama menghadapi tantangan hidup yang berat, memperjuangkan cinta di tengah keterasingan sosial, dan berusaha untuk menyatukan dua dunia yang berbeda. Drama ini mengangkat realitas kehidupan orang-orang biasa yang harus berjuang keras setelah perang, menghadapi kesulitan fisik dan emosional, serta ketidakadilan yang mereka alami.
Kisah dimulai dengan Mira, seorang gadis cantik pemilik kedai kopi yang menjadi pusat perhatian banyak laki-laki. Mira memiliki prinsip kuat dan cenderung mengabaikan perhatian dari laki-laki, termasuk dari Awal, seorang pemuda bangsawan yang sangat mencintainya. Meskipun Awal melakukan berbagai upaya untuk menarik perhatian Mira, Mira tetap menjaga jarak.
Latar belakang Mira sebagai korban perang yang cacat fisik baru terungkap di akhir cerita. Awal akhirnya memahami alasan di balik sikap Mira yang selalu menolak ajakannya untuk berjalan-jalan atau berbincang di luar kedai. Mira selalu bepergian dengan bertongkat kayu karena kakinya buntung akibat perang. Hal ini menghancurkan harapan Awal akan kesempurnaan Mira, tetapi juga memperdalam pemahamannya tentang kesulitan yang Mira hadapi.
ADVERTISEMENT
Utuy Tatang Sontani, seorang sastrawan terkemuka yang karyanya selalu dipenuhi dengan realisme sosial, berhasil menyajikan sebuah cerita yang menyentuh tentang perjuangan cinta yang terhalang oleh perbedaan kelas sosial dan dampak kejamnya perang. Melalui tokoh Awal, seorang pemuda bangsawan yang gigih memperjuangkan cintanya, dan Mira, seorang gadis pemilik kedai kopi yang cacat fisik akibat perang, drama ini menyoroti berbagai isu sosial yang relevan dan menyentuh hati pembacanya.
Kutipan:
"Kan di jaman sekarang ini banyak paduka tuan yang di jaman peperangan pada bersembunyi takut mati, tiba-tiba sekarang muncul dengan kedudukannya yang hebat-hebat, saking hebatnya merasa perlu mempunyai bini dua tiga" (AWAL & MIRA, halaman 17).
Kutipan ini menunjukkan kritik Utuy terhadap mereka yang mengambil keuntungan dari situasi perang tanpa mengalami penderitaan yang sama seperti orang lain.
ADVERTISEMENT
Pesan Moral:
Drama "Awal dan Mira" menyampaikan beberapa pesan moral yang kuat:
1. Keberanian dan Keteguhan Hati:
Melalui tokoh Awal, Utuy menyampaikan bahwa untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan, kita harus memiliki semangat yang tinggi dan pantang menyerah.
Kutipan:
"Saya tidak mengharapkan yang bukan-bukan dari Mira. Harapan saya dari Mira adalah harapan laki-laki sewajarnya yang menginginkan supaya perempuan itu jadi kawan hidup laki-laki." (AWAL & MIRA, halaman 7)
2. Selektivitas dan Kecerdasan dalam Memilih Pasangan:
Melalui tokoh Mira, Utuy mengajarkan para wanita untuk selektif dan cerdas dalam memilih pasangan, tidak terpengaruh oleh status sosial atau tekanan eksternal.
3. Kritik Sosial:
Drama ini mengkritik ketidakadilan sosial dan stratifikasi yang terjadi di masyarakat, serta dampak negatif dari perang terhadap kehidupan individu.
ADVERTISEMENT
Kutipan:
"Omong kosong semuanya juga! Omongan badut. Hh, berjuang berdampingan- tanah air yang indah dan molek! Enak saja bicara. Dia sendiri tidak akan tahu apa yang dikatakannya. Asal saja berbunyi." (AWAL & MIRA, halaman 6)
4. Penerimaan dan Penghargaan terhadap Perbedaan:
Drama ini juga mengajarkan pentingnya menerima dan menghargai perbedaan, baik itu perbedaan fisik, sosial, maupun emosional.
Kutipan:
"inilah kenyataanku. Kakiku buntung. Buntung karena peperangan. Tetapi lantaran inilah, Mas, lantaran ke atas aku cantik dan ke bawah aku cacat, selama ini aku bagimu merupakan teka-teki." (AWAL & MIRA, halaman 54).
"Awal dan Mira" adalah sebuah karya yang kaya akan tema sosial dan kemanusiaan, dengan alur cerita yang menggugah dan penuh dengan pesan moral. Utuy Tatang Sontani melalui drama ini tidak hanya menceritakan kisah cinta yang romantis tetapi juga menyajikan kritik terhadap ketidakadilan sosial dan dampak perang. Karya ini mengajarkan pentingnya keberanian, keteguhan hati, dan penerimaan terhadap perbedaan, menjadikannya relevan dan menginspirasi bagi pembacanya.
ADVERTISEMENT
Karya ini juga mendapat penghargaan dari B.M.K.N sebagai naskah drama terbaik pada tahun 1952, yang menunjukkan betapa signifikan dan berpengaruhnya cerita ini dalam sastra Indonesia. Dengan latar belakang kehidupan masyarakat yang berjuang untuk pulih dari luka-luka perang, "Awal dan Mira" tidak hanya menyajikan cerita cinta yang memikat, tetapi juga menyoroti pentingnya keberanian, keteguhan hati, dan harapan di tengah tantangan hidup yang berat.
Profile Penulis:
Utuy Tatang, yang lahir di Cianjur pada 1 Mei 1920 dan meninggal pada 17 September 1979, adalah seorang sastrawan terkenal dari angkatan 45. Dia adalah seorang dramawan hebat di Indonesia yang terkait dengan PKI, tetapi hanya enam bulan setelah peristiwa G30S meletus. Pada usia 15 tahun, Utuy pertama kali mengirimkan esai ke surat kabar Bandung Sinar Pasoendan. Esai itu ditulisnya untuk menarik perhatian gadis yang ia sukai, yang juga tetangganya. Utuy menggunakan nama samaran Sontani dalam esainya, terinspirasi dari kisah Digulis, seorang pelapor yang diasingkan ke Digul, yang ia baca dalam buku yang diberikan oleh paman si gadis. Nama ini kemudian menjadi bagian dari namanya, sehingga dikenal sebagai Utuy Tatang Sontani.
ADVERTISEMENT