Konten dari Pengguna

Kacamata Wahabi dan Salafi dalam Perpolitikan

Luthfi Zain (Fifi)
Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta
22 April 2025 12:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Luthfi Zain (Fifi) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Milik Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto Milik Pribadi
ADVERTISEMENT
Meneguhkan Adanya Islam
Perjalanan Islam yang sangat panjang menyentuh masa telah menggoreskan banyak sejarah dan tempat di penjuru dunia. Berbagai perkembangan dan kemunduran telah dirasakan. Tentu saja pengalaman telah memberikan banyak pelajaran untuk menjadi evaluasi di setiap masanya. Bahkan kesesuaian yang sangat kita harapkan bisa tepat pelaksanaan dan pemahamannya menjadi solusi terbaik ketika menghadapi suatu masalah keagaaman, khususnya dalam agama Islam sendiri.
ADVERTISEMENT
Panjangnya perjalanan kehidupan menetapnya agama Islam dengan berbagai perkembangannya telah melahirkan banyak perspektif dan cara pandang yang sangat beragam. Meskipun demikian, hal seperti ini masih sulit diterima bagi masyarakat Indonesia yang cenderung ‘kolot’ dan tidak membuka fikiran secara luas, sehingga menjadikan hal-hal baru yang ada menjadi sesuatu yang tabu dan sulit diterima. Akan tetapi hal ini juga menjadi penting dalam hal filterisasi ajaran agama untuk menjaga keotentikan beragama Islam sendiri. Salahsatunya adalah kehadiran ‘Wahabisme’ yang ajarannya sangat luas dan meluas dan terus berinovasi hingga saat ini. Tidak dipungkiri keinginan umat Islam untuk ‘kembali ke fitrah’ yang biasa disebut dengan ajaran Rasulullah Saw secara purification itu menjadi sebuah kerinduan dengan pelaksanaan yang tidak jauh berbeda bahkan ingin mengikuti secara persis apa yang sudah Rasulullah Saw ajarkan pada masa dahulu. Tentu saja hal ini bukan pendapat yang salah jika ada orang yang ingin memegang kehendak keagamaan yang dikatakan ‘dengan cara murni’.
ADVERTISEMENT
Hadirnya Salafi dalam Islam
Teologi Salafi adalah aliran atau pendekatan dalam Islam yang berfokus pada pemahaman ajaran agama berdasarkan apa yang diyakini sebagai ajaran yang paling murni dan autentik, yang diterapkan oleh generasi pertama umat Islam, yakni para sahabat Nabi Muhammad SAW, tabi'in (pengikut sahabat), dan tabi'ut tabi'in (pengikut tabi'in). Aliran ini disebut "Salafi" yang berasal dari kata "Salaf" yang berarti "pendahulu" atau "generasi awal. Secara pergerakan aliran teologinya Salafi memiliki jangkauan lebih luas yang membawahi aliran-aliran pemurnian yang ada, kelompok-kelompok yang ada, serta pemikiran-pemikiran ekstrem maupun tengah yang memiliki konsep utama yang sama dengan teologi
Wahabi, Salafi dan Peran Perpolitikan
Gerakan salafi adalah pewaris dakwah teologi puritan dari gerakan Wahabi yang muncul pada abad ke delapan belas di Jazirah Arab. Sebagai gerakan dakwah pewaris tradisi wahhabiyah, gerakan dakwah salafi dikenal sebagai sebuah gerakan dakwah dengan ideologi teologi puritan radikal. Ajakan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi merupakan agenda utama dari dakwah puritan ini. Selain dikenal sebagai kumpulan muslim puritan radikal, gerakan salafi juga dikenal sebagai gerakan dakwah anti hizbiyyah, gerakan yang tidak melibatkan diri dalam wilayah politik praktis (Wiktorowicz, 2001; 2004). Jika dibandingkan dengan Salafi tentu berbeda dengan Wahabi dalam hal hizbiyyah. Beberapa kelompok atau yang terinisiasi oleh kalangan masyarakat bagian dari Wahabi justru menjadikan hizb sebagai salahsatu metode pendekatan yang sangat aktif yang berusaha untuk kembali menegakkan kebenaran seperti yang diajarkan Rasulullah Saw yang mengajarkan Islam menyentuh pada berbagai aspek kehidupan. Tentu saja hal ini menjadi landasan kuat dari Wahabi sendiri untuk turut serta pada hizb itu sendiri agar bisa menegakkan kekhilafahan kembali sebagaimana yang sudah diajarkan.
ADVERTISEMENT
Tidak ada secara khusus klasifikasi golongan mana saja yang berafiliasi pada kelompok aliran wahabi ini, hanya saja para peneliti melihat kemiripan gerakan yang diusung berlandasan pada pemaknaan agama secara puritan dan menginginkan kemurnian atas kerinduan pada sistem kepemimpinan yang ada pada zaman Rasulullah Saw. Hal ini juga meninjau kembali kepada kepemimpinan di Indonesia yang masih perlu banyak perbaikan sana-sini, salahsatunya adalah korupsi dan ketidakadilan hukum antara pejabat dan masyarakat pada umumnya. Adapun alasan Salafi justru tidak ‘ikut-ikutan’ dalam hal perpolitikan yakni menurut mereka politik adalah hal yang kotor, bagaimanapun disana ladang kecurangan dan ketidakadilan. Mereka sekuler antara politik dengan agama dan tidak setuju akan peran agama dalam perpolitikan. Sedangkan Wahabi berpandangan politik bisa menjadi sarana berkembangnya agama, bukan agama menjadi jalan berkembangnya politik. Tentu saja dua hal ini sangat berbanding terbalik. Akan tetapi juga tidak dipungkiri ada beberapa oknum yang menjadikan agama sebagai alat perpolitikan, hal ini juga tidak salah akan tetapi pandangan masyarakat serta realisasi juga harus sesuai dengan apa yang sudah diusung. Keduanya seharusnya memang tidak terpisahkan. Agama menjadi pembatas diri dalam melakukan hal-hal buruk dalam perpolitikan, serta politik menjadi jalan untuk menebarkan kebaikan atau dakwah agama itu sendiri dalam berbagai aspek; ekonomi, sosial, pendidikan, dll.
ADVERTISEMENT
Wahabi merupakan ajaran utama yang mempengaruhi sistem hukum dan kehidupan sosial di Arab Saudi. Banyak kebijakan negara, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam (syari’ah), didasarkan pada pemahaman Wahabi. Arab Saudi mengadopsi hukum syariah yang ketat dan menegakkan prinsip-prinsip ajaran Wahabi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti peribadatan, ibadah, pendidikan, dan regulasi sosial. Meskipun Wahabi masih dominan, dalam beberapa tahun terakhir, ada tanda-tanda perubahan dalam kebijakan sosial dan ekonomi di Arab Saudi, terutama dengan penerapan visi Vision 2030 yang dipimpin oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS). Sebagai bagian dari reformasi tersebut, ada upaya untuk membuka negara Saudi lebih kepada dunia luar, termasuk dalam aspek budaya dan hiburan. Namun, kebijakan ini tidak berarti penutupan atau penghapusan Wahabi, melainkan lebih kepada pembukaan ruang bagi variasi budaya dan sosial. Jika melihat kembali pada poros dunia hari ini, Wahabi tidak ditutup di Arab Saudi, melainkan tetap menjadi ideologi dominan dalam pemerintahan dan kehidupan sosial. Meskipun ada upaya reformasi sosial dan ekonomi yang lebih terbuka, ajaran Wahabi tetap menjadi fondasi hukum dan religius negara ini.
ADVERTISEMENT