Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Menyoroti Gaya Respon Pejabat: Perspektif Komunikasi Massa
25 Februari 2025 11:55 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Luthfy Rijalul Fikri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Era komunikasi digital saat ini, pernyataan pejabat publik tidak hanya sekadar informasi, tetapi juga bagian dari strategi komunikasi yang memengaruhi opini publik. Cara pejabat merespons suatu isu dapat membentuk persepsi masyarakat terhadap pemerintah dan institusi terkait. Sayangnya, tidak semua pejabat memahami pentingnya komunikasi yang efektif, sehingga respon mereka menuai kritik dan cibiran daripada membangun kepercayaan dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit pejabat pemerintah yang ketika diminta tanggapan dan ungkapan bentuk tanggungjawabnya seolah acuh tak acuh. Tidak mencirikan keberpihakan dan membela rakyat. Contoh sederhana, salah satu menteri diminta tanggapannya tentang kenaikan harga cabai atau sembilan bahan pokok, jawaban yang dilontarkan jauh dari harapan Masyarakat. Harga cabai naik, rakyat diminta menanam cabai, harga beras naik, rakyat diimbau menanam jagung atau menggantinya dengan jagung. Bahkan untuk merealisasikan arahan “nyeleneh” itu pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bagaimana seharusnya pelayan masyarakat merespon setiap gejolak yang muncul sehingga kepercayaan masyarakat semakin kuat dan merasa terlayani?
Respons Pejabat dalam Perspektif Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan dari sumber (dalam konteks ini adalah pejabat) ke khalayak luas (masyarakat) melalui berbagai saluran media. Menurut teori Agenda-Setting yang dikemukakan oleh McCombs dan Shaw (1972), media memiliki kekuatan untuk menentukan isu mana yang dianggap penting oleh publik. Namun, pejabat sebagai komunikator juga memiliki andil dalam membentuk narasi dan arah diskusi publik melalui pernyataan mereka.
ADVERTISEMENT
Saat ini, terdapat beberapa pola respon pejabat yang menjadi sorotan, di antaranya:
Respons Normatif dan Klise
Banyak pejabat memberikan jawaban yang bersifat umum dan tidak konkret, seperti “Kami akan mengkaji lebih lanjut” atau “Ini akan menjadi bahan evaluasi.” Dalam perspektif komunikasi massa, respons semacam ini bisa dikategorikan sebagai komunikasi fatis, yakni komunikasi yang lebih bersifat menjaga hubungan sosial daripada memberikan solusi konkret (Malinowski, 1923). Akibatnya, masyarakat tidak mendapatkan kepastian, melainkan hanya jawaban diplomatis yang tidak menyelesaikan masalah. Respon seperti ini yang saat ini banyak dilakukan oleh pejabatan di Indonesia, yang pada akhirnya banyak sekali permasalahan yang tidak dapat dicarikan jalan keluarnya, terlebih dituntaskan.
Komunikasi Defensif dan Menyalahkan Pihak Lain
Dalam beberapa kasus, pejabat justru merespon dengan menyalahkan faktor eksternal atau masyarakat sendiri. Misalnya, ketika ada masalah infrastruktur, pejabat lebih sering menyalahkan cuaca ekstrem atau perilaku warga, daripada mengakui kelemahan dalam perencanaan dan penegerjaan proyek tersebut. Jika dilihat dari teori Image Repair dari Benoit (1995), yang menyebutkan bahwa pejabat sering kali menggunakan strategi pengalihan kesalahan (shifting blame) untuk menjaga citra mereka.
ADVERTISEMENT
Minim Empati dan Respons yang Tidak Sensitif
Ada pula pejabat yang mengeluarkan pernyataan yang terkesan bercanda atau tidak serius dalam menanggapi isu yang sensitif. Dari perspektif kredibilitas sumber (Hovland & Weiss, 1951), kredibilitas pejabat sebagai komunikator sangat ditentukan oleh keahlian (expertise) dan kepercayaan (trustworthiness). Jika seorang pejabat memberikan respon yang tidak sensitif, maka kredibilitasnya akan menurun dan kepercayaan publik pun berkurang.
Komunikasi Krisis yang Tidak Efektif
Dalam situasi darurat, seperti bencana alam atau krisis ekonomi, pejabat diharapkan bisa memberikan informasi yang jelas dan menenangkan masyarakat. Namun, banyak pejabat yang justru gagal menerapkan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) atau teori komunikasi krisis situasional dari Coombs (2007), yang menekankan pentingnya transparansi, tanggung jawab, dan empati dalam merespons krisis. Alih-alih menenangkan publik, komunikasi yang buruk justru memperkeruh keadaan dan menimbulkan kepanikan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Membangun Pola Komunikasi yang Efektif
Menjadi pejabat atau pelayan masyarakat, dibutuhkan komunikasi yang baik dan epektif agar diterima oleh masyarakat, beberapa prinsip dasar yang bisa diterapkan antara lain:
Pertama, menggunakan Gaya Komunikasi Transparan. Pejabat harus menghindari jawaban normatif dan lebih berani memberikan data serta langkah konkret yang akan dilakukan. Dalam Teori Transparansi Komunikasi (Rawlins, 2009), komunikasi yang terbuka dan jujur akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik. Menjadi catatan bahwa, komunikasi ini hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang jujur dan benar-benar mementingkan rakyatnya, ketimbang pribadi, kelompok atau golongannya.
Kedua, mengedepankan Empati dalam Berkomunikasi. Empati adalah kunci dalam komunikasi massa. Berdasarkan teori Empati dalam Komunikasi (Davis, 1996), pejabat yang menunjukkan empati lebih mudah mendapatkan dukungan publik. Misalnya, dengan menghindari pernyataan yang menyalahkan dan lebih banyak menunjukkan kepedulian terhadap kondisi masyarakat, kuncinya adalah pejabat tersebut benar-benar mendengar keluh kesah masyarakat dan berusaha semaksimal mungkin dapat membantu masyarakat.
ADVERTISEMENT
Mengadopsi Strategi Komunikasi Krisis yang Tepat
Dalam situasi kritis, pejabat harus mampu menyampaikan informasi yang jelas dan menenangkan, seperti yang dijelaskan dalam teori SCCT. Langkah ini mencakup pengakuan terhadap masalah, penyampaian solusi yang konkret, dan penyampaian pesan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Kesimpulan
Menjadi keharusan bagi pejabat saat ini di tengah derasnya arus informasi, lebih mementingkan bagaimana komunikasi yang baik. Respon yang normatif, defensif, atau tidak sensitif hanya akan memperburuk citra mereka di mata masyarakat. Dengan menerapkan prinsip komunikasi massa yang efektif—seperti transparansi, empati, dan strategi komunikasi krisis yang tepat—pejabat bisa membangun kepercayaan dan memastikan bahwa setiap pernyataan yang mereka keluarkan benar-benar memberikan dampak positif bagi publik. [lrf]