Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Penyebab Korupsi Merajalela Perspektif Ilmu Komunikasi
26 Februari 2025 19:14 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Luthfy Rijalul Fikri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Korupsi telah menjadi masalah kronis di indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantasnya, mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga reformasi hukum dan birokrasi. Namun, korupsi masih marak di berbagai sektor. Dari perspektif komunikasi, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan praktik ini terus berlangsung.
ADVERTISEMENT
Normalisasi Korupsi dalam Budaya Komunikasi
Budaya komunikasi yang menormalisasi korupsi merupakan salah satu faktor yang mendukung suburnya korupsi serta menganggap praktik ini sebagai hal biasa dan lumrah. Konsep spiral of silence dari Elisabeth Noelle-Neumann menjelaskan bagaimana individu cenderung diam terhadap sesuatu yang dianggap sudah menjadi norma sosial.
Dalam konteks indonesia, budaya "uang pelicin" atau "salam tempel" telah dianggap sebagai bagian dari sistem yang sulit dihindari. Akibatnya, masyarakat cenderung menerima praktik ini tanpa perlawanan signifikan, lebih dari itu, hal tersebut dianggap wajar dan biasa dilakukan. Sebagai contoh, kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang melibatkan pejabat tinggi pemerintah menunjukkan bagaimana korupsi terjadi secara sistematis dan terstruktur. Ketika skandal ini terungkap, komunikasi publik yang dilakukan oleh pelaku korupsi sering kali bersifat defensif dan penuh dengan pembenaran, yang akhirnya semakin melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku, "tumpul ke atas tajam ke bawah".
ADVERTISEMENT
Pola komunikasi elit politik dan peran media dalam membingkai isu korupsi juga turut memengaruhi persepsi masyarakat. Menurut teori Agenda Setting dari McCombs dan Shaw, media memiliki kekuatan untuk menentukan isu mana yang dianggap penting oleh publik. Dalam beberapa kasus, media cenderung lebih menyoroti aspek sensasional dari kasus korupsi ketimbang akar permasalahannya serta bagaimana ujung dari kasus tersebut yang membuktikan bahwa semua orang diperlakukan sama di depan hukum.
Banyak sekali kasus korupsi di sektor infrastruktur hanya diberitakan dalam bentuk laporan investigasi sesaat, tanpa ada tindak lanjut yang serius. Akibatnya, masyarakat menjadi terbiasa dengan pola komunikasi yang menampilkan korupsi sebagai sekadar berita, bukan kejahatan yang harus diberantas dengan serius hingga tuntas.
ADVERTISEMENT
Komunikasi Politik Tidak Transparan
Komunikasi yang dilakukan oleh para pejabat publik juga menjadi salah satu penyebab korupsi tetap subur. Dalam banyak kasus, transparansi dalam pengelolaan anggaran publik masih sangat minim. Teori komunikasi transparan dari Bowen menekankan bahwa keterbukaan informasi adalah kunci dalam membangun kepercayaan publik. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa banyak kebijakan dan penggunaan anggaran yang disembunyikan dari publik hingga akhirnya terungkap sebagai skandal korupsi. Misalnya, kasus korupsi pengadaan alat kesehatan yang terjadi di berbagai daerah, menunjukkan bagaimana kurangnya transparansi dalam proses pengadaan, sehingga dapat membuka celah bagi praktik korupsi. Komunikasi yang tidak terbuka antara pemerintah, swasta, dan masyarakat menciptakan ruang gelap yang sulit untuk diawasi.
Masyarakat Apatis Terhadap Komunikasi Antikorupsi
Komunikasi antikorupsi yang dilakukan pemerintah dan lembaga terkait, seringkali tidak efektif karena tidak menyentuh kesadaran kritis masyarakat. Teori Difusi Inovasi dari Everett Rogers menjelaskan, bahwa sebuah gagasan baru (dalam hal ini, budaya antikorupsi) membutuhkan strategi komunikasi yang tepat agar dapat diterima dan diterapkan oleh masyarakat luas. Namun, banyak kampanye antikorupsi yang hanya bersifat seremonial dan slogan semata tanpa adanya komunikasi dua arah yang melibatkan masyarakat secara aktif. Akibatnya, masyarakat cenderung bersikap apatis dan merasa tidak memiliki peran dalam pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Dari perspektif komunikasi, korupsi di indonesia tetap merajalela karena budaya komunikasi yang permisif, framing media yang kurang tajam, komunikasi politik yang tidak transparan, dan strategi komunikasi antikorupsi yang kurang efektif serta aplikatif. Untuk mengatasinya, diperlukan perubahan dalam cara berkomunikasi di berbagai tingkatan, mulai dari transparansi informasi, keterlibatan masyarakat dalam dialog publik, hingga reformasi cara media dalam menyajikan isu korupsi. Terlebih, hal yang sangat penting adalah penyelesaian kasus korupsi tersebut, apakah mampu mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap keadilan hukum di negeri ini, atau sebaliknya.
Jika komunikasi dan penerapan hukum di indonesia diperbaiki, maka harapan untuk menciptakan negara yang bersih dari korupsi akan lebih mudah terwujud. [lrf]