Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Anak Bangsa yang Kian Bersinar di Jakarta Fashion Week ke-11
4 November 2018 19:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pekan mode sering menjadi ajang mengamati perkembangan desainer; ada yang menurun, ada yang kian berkibar, ada yang mulai mencuri perhatian. Hal yang sama terjadi pada Jakarta Fashion Week (JFW) ke-11 baru-baru ini.
Yang mulai mencuri perhatian adalah NY by Novita Yunus, brand yang dimotori oleh Novita Yunus, desainer yang sebelumnya telah sukses meluaskan brand aksesoris Batik Chic menjadi brand pakaian siap jadi. Dari harga yang berada di atas Rp 1 juta, jelas Batik Chic dan NY by Novita Yunus sama-sama menyasar kelas menengah ke atas.
ADVERTISEMENT
Kedua brand juga menggarap wastra tradisional Indonesia dengan nafas desain yang mudah dikenakan berbagai tipe wanita, namun dari koleksi bersiluet resortwear dengan teknik shibori pada hari pertama dan koleksi cocktailwear penuh bordir di hari ke-5 JFW, garis desain NY by Novita Yunus terlihat ditujukan ke demografi yang lebih dewasa. Apakah NY by Novita Yunus akan sesukses Batik Chic? Tergantung pada apakah semangat mendesain yang tergambar dari 3 (tiga) koleksi yang digelar pada JFW tahun ini bisa diterjemahkan menjadi kedisplinan logistik (produksi dan pemasaran) dan diferensiasi desain dengan Batik Chic yang lebih dahulu dikenal.
Diversifikasi bisnis juga dilakukan oleh Andreas Odang, desainer muda berbakat yang dikenal dengan gaun-gaun malam elegannya dan diundang bergabung dengan Ikatan Perancang Mode Indonesia dua tahun lalu. Seperti dirilis saat JFW, Andreas Odang digandeng oleh Luna Habit untuk merancang koleksi kapsul selama 1-2 musim mendatang.
ADVERTISEMENT
Secara bisnis, ini langkah jitu bagi keduanya. Konsumen Luna Habit bisa mengakses kreativitas kelas desainer tanpa keluar dari tingkat harga Rp 300-750 ribu rupiah, Andreas Odang sebagai brand berkesempatan memperkenalkan diri kepada publik yang jauh lebih luas, terutama karena siluet koleksinya mudah dikenakan sebagai busana day-to-night oleh wanita karir yang aktif. Bila Uniqlo bisa sukses menggandeng Marimekko di tingkat dunia, The Executive sukses bersama Isis/Sky Inc di Indonesia, maka Luna Habit dan Andreas Odang pun bisa cukup jauh berjalan.
Tanpa menambah label atau berkolaborasi dengan pihak ketiga, desainer bisa tetap berkembang pesat. Byo, label aksesoris yang digilai karena materi PVC yang dijalin unik itu, mulai merambah ke pakaian sekitar 2 tahun terakhir ini. Percobaan pertamanya di JFW saat itu kurang baik, namun setelah berinovasi lebih jauh tahun ini terlihat lebih mumpuni secara estetika dan konstruksi. Mengaku bereksperimen selama 4-5 bulan, koleksi terbaru Byo dengan inspirasi Palembang dan Riau adalah salah satu bagian terbaik dari Dewi Fashion Knights, acara pamungkas JFW ke-11.
Koleksi lain yang menggugah dari Dewi Fashion Knights tahun ini adalah SeanSheila, brand yang dimotori oleh pasangan Sean Loh dan Sheila Wijaya. Mengangkat isu limbah anorganik yang dihasilkan manusia dan nyaris mustahil diproses alam, tampilan mode yang dihadirkan sedikit mengingatkan pada grup Jadis di serial The Walking Dead dan geng penyamun Waterworld-- para manusia yang harus bertahan hidup setelah peradaban runtuh dengan mengakali berbagai sisa sampah. Sudah mulai mendapatkan pasar ekspor, SeanSheila punya kans berkarir panjang bila berhasil mempertahankan kualitas desain sambil mengoptimalkan rantai produksi mereka.
ADVERTISEMENT
Last but not least, ia yang terus berinovasi bahkan setelah nama dan bisnis melayang tinggi. Lulu Lutfi Labibi bukan desainer pertama yang mendesain busana lurik, namun bisa dikatakan ialah yang pertama kali sukses mengolah lurik dan menyajikannya sebagai benda mode berharga premium. Beberapa tahun terakhir ini sulit menghadiri pesta koktil atau gala dinner di metropolitan tanpa menemui beberapa wanita dalam balutan lurik karya Lulu, dan angka penjualannya tahun lalu yang nyaris mencapai sebelas digit rupiah adalah saksi paling nyata.
Selalu mengkurasi waktu, tema dan momen pagelarannya, Lulu memilih kembali ke JFW tahun ini untuk memperkenalkan lurik yang ditenun dengan teknik menarik-narik ujung kain untuk menghasilkan guratan kontras tersendiri, sebuah inovasi yang mungkin tidak mudah diikuti oleh pasukan penirunya yang tersebar dari bazaar di mall sampai ke portal belanja.
ADVERTISEMENT
Nyaris tak tertandingi untuk lurik, tantangan besar bagi Lulu saat ini sebenarnya adalah menggali wastra tradisional Indonesia terlupakan lainnya untuk dikembangkan dan disulap menjadi ikon mode premium yang digilai masyarakat. Mengingat basis pendidikannya sebagai seniman tekstil dari sekolah seni terbesar di Indonesia, Lulu Lutfi Labibi masih bisa jauh berkembang. Dan lompatan itu, sebagaimana lompatan ke-4 desainer lain di atas, amat layak dipantau sampai JFW berikutnya datang menjelang.