Di Balik Batik Antik: Para Pengumpul dan Penutur

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
17 Desember 2019 13:00 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak ditahbiskannya teknik membatik dengan canting oleh UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi pada 2 Oktober 2009, perhatian pada batik dari anak bangsa makin meluas. Batik mulai dipandang sebagai sesuatu yang bisa dinikmati oleh pelbagai suku bangsa Nusantara, dan literatur mengenai batik makin berkembang. Beberapa tahun terakhir ini kolektor batik pun kian terlihat di permukaan, dan tak segan membagi pengetahuannya. Mari kita tengok beberapa di antaranya.
ADVERTISEMENT
Hartono Sumarsono
Berkecimpung di bisnis batik sejak awal 1970-an, pengusaha besar ini berada di balik suksesnya merek Kencana Ungu yang mudah ditemui di banyak kota-kota Indonesia dan pameran-pameran batik terkemuka. Pada dekade 1980-an, saat minat domestik terhadap batik menyurut, Hartono justru mulai mengoleksi batik antik karena melihat derasnya arus batik antik dibeli orang asing untuk dibawa ke luar negeri.
Dalam perjalanannya memburu batik lama dan langka, Hartono sekaligus mengumpulkan informasi tentang batik yang sering tersimpan dalam ingatan pembatik atau terilustrasikan dalam helai kain. Bahkan setelah minat domestik terhadap batik membaik, dan kolektor lain bermunculan, Hartono tidak surut. Konon saat ini koleksi batik lama Hartono Sumarsono telah mencapai 5.000 helai, walau beliau cenderung enggan mengonfirmasinya.
Salah satu koleksi batik antik Hartono Sumarsono. Dok: Lynda Ibrahim
Namun Hartono Sumarsono tidak enggan membagi pengetahuannya. Dibantu tim penulis yang terdiri dari Helen Ishwara, L. R. Supriyanto Yahya dan Xenia Moeis, dan fotografer kawakan Arbain Rambey, koleksi Hartono dikelompokkan dan diulas dalam 5 buku yang berbeda. Dimulai dengan penerbitan Batik Pesisir Pusaka Indonesia pada tahun 2011 yang disambut hangat komunitas batik, koleksi luar biasa Hartono kembali dituangkan dalam Benang Raja: Menyimpul Keelokan Batik Pesisir (2013), Batik Garut (2016), Batik Betawi (2018), dan Batik Sudagaran Surakarta (2019). Kecenderungan selera Hartono tergambarkan dari isi buku yang terpusat pada batik pesisir Jawa.
Koleksi batik antik Hartono Sumarsono. Dok: Lynda Ibrahim
Seiring kembalinya minat domestik pada batik, Hartono melihat kesempatan emas untuk menawarkan reproduksi batik antik dari koleksi pribadinya, yang kemudian diusung oleh merek Citra Lawas. Pada Hari Batik 2017, Citra Lawas berpameran di salah satu pusat perbelanjaan utama Jakarta, di mana Hartono juga diundang untuk berbicara seputar batik antik.
Koleksi batik antik koleksi Hartono Sumarsono. Dok: Lynda Ibrahim
Demi rangkaian perayaan Hari Batik 2019, hanya sehari setelah demonstrasi yang berakhir ricuh di Jakarta, Hartono Sumarsono hadir di Museum Tekstil untuk menggelar sekumpulan batik antik terpilih sambil menuturkan pengetahuannya di hadapan pencinta batik asing dan lokal. Selang beberapa minggu kemudian, beliau membukakan pintu galeri pribadinya di Jakarta Barat untuk komunitas batik yang ingin melihat lebih dekat koleksi keramik dan batik berharga yang ditata dalam galeri terpisah, termasuk segenap batik teramat langka yang sejenisnya hanya terketahui dimiliki oleh Museum Tropen di Belanda.
Kumpulan buku mengenai koleksi batik Hartono Sumarsono. Dok: Lynda Ibrahim
Galeri pribadi Hartono Sumarsono mungkin memang hanya bisa dipirsa kalangan terbatas, namun kelima buku yang berisi koleksinya bisa dibeli bebas di toko-toko buku dan kadang di gerai-gerai Kencana Ungu. Dituturkan dalam teks memadai dan fotografi memikat, kelima buku koleksi Hartono Sumarsono bisa membantu membangun pengetahuan dasar budaya, setidaknya untuk jenis batik pesisiran Jawa dan para pembatik termashurnya, yang mayoritas Tionghoa, sejak era kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
Kartini Muljadi
Nama beliau dikenal luas sebagai salah satu pengacara wanita tersenior dan terhandal Indonesia, yang biro hukumnya sampai saat ini menjadi salah satu pilihan utama perusahaan-perusahaan terbesar Indonesia termasuk yang terafiliasi asing. Di sisi lain wanita berusia 89 tahun yang masih tajam memberikan pandangan hukumnya ini ternyata ada sosok pencinta wastra tradisional yang ingin generasi muda Indonesia lebih mengenal kekayaan bangsanya.
Batik Nusantara koleksi Kartini Muljadi. Dok: Lynda Ibrahim
Menggandeng pakar wastra Neneng Iskandar dan Lucky Wijayanti untuk menelaah berbagai koleksi wastranya yang dikumpulkan dengan sabar selama puluhan tahun, Kartini Muljadi kemudian memutuskan untuk memperkenalkan koleksi batiknya dalam buku bertajuk Batik Indonesia: Sepilihan Koleksi Batik Kartini Muljadi. Diluncurkan pada tahun 2017 di Hotel Grand Mahakam Jakarta bersamaan dengan pameran beberapa batik antik terbaiknya saat itu, buku ini mengelompokkan batik koleksi Kartini berdasarkan guratan motifnya. Dituturkan dalam tulisan oleh Sonya Sondakh dan dalam fotografi oleh Adityayoga, buku ini juga dapat melengkapi pengetahuan dasar batik.
Batik Indonesia: Sepilihan Koleksi Batik Kartini Muljadi. Dok: Lynda Ibrahim
Pada saat peluncurannya Kartini Muljadi sempat menyebutkan rencana untuk membagikan bukunya ke beberapa perpustakaan universitas demi menjangkau demografi yang memang beliau tuju sejak awal. Bagi peminat batik yang berminat, buku ini bisa didapatkan di beberapa toko buku terkemuka Indonesia.
ADVERTISEMENT
Fayrina Kadaroesman
Mengoleksi batik secara serius sejak dasawarsa terakhir, Fayrina Kadaroesman awalnya mengumpulkan berbagai jenis batik dari Garut sampai Madura. Setelah kian jatuh cinta kekayaan motif dan keceriaan warna batik Tiga Warna, Fayrina akhirnya memutuskan untuk berkonsentrasi pada jenis batik ini saja.
Batik koleksi Fayrina Kadaroesman. Dok: Lynda Ibrahim
Bagi yang belum paham, pada zaman dahulu, saat pewarna batik masih amat dipengaruhi alam sekitar, batik Tiga Negeri dibentuk dari tiga warna berbeda yang datang dari tiga kota terpisah; merah (Lasem), biru/hijau (Pekalongan), cokelat "sogan" (Solo/Yogya).
Dari sekitar seribuan helai batik antik milik Fayrina saat ini, sekitar dua pertiganya adalah jenis Tiga Negeri, mulai dari tahun 1890-an sampai dengan dekade 1990-an. Mulai luas dikenal komunitas pencinta batik sejak mengikutsertakan beberapa koleksinya dalam pameran Batik 3 Negeri Solo: Sebuah Legenda di Hotel Dharmawangsa Jakarta tahun lalu (tercatat sebagai "Fay Adhiwiyogo" dalam katalog pameran), tahun ini Fayrina menggelar kembali koleksi terpilihnya di salah satu apartemen baru di Jakarta Selatan. Dalam acara sehari tersebut pengunjung memanjakan mata melalui belasan batik Tiga Negeri antik sambil menimba ilmu melalui tuturan Dave Tjoa, pencinta batik yang sekarang menekuni edukasi batik.
Salah satu koleksi Fayrina Kadaroesman. Dok: Lynda Ibrahim
Batik Tiga Negeri antik koleksi Fayrina Kadaroesman. Dok: Lynda Ibrahim
Sama seperti Hartono Sumarsono dan Kartini Muljadi, Fayrina Kadaroesman menandai dan mengkhawatirkan rendahnya minat generasi muda dan remaja terhadap batik, terlepas bahwa kekayaan bangsa ini telah mendapatkan pengakuan internasional seperti Daftar Warisan Dunia yang diseleksi ketat oleh UNESCO. Selain menggelar koleksinya untuk umum, Fayrina mengaku berminat menuangkannya dalam buku bila berkesempatan menemukan penulis dan penyandang dana. Demi pengayaan pengetahuan pencinta batik Indonesia, semoga keinginan ini lekas terwujud.
ADVERTISEMENT
Ilmu wastra tradisional Indonesia, dari batik sampai tenun dan jumputan, turun-temurun diturunkan melalui tradisi lisan, mengakibatkan sulitnya generasi muda untuk mengakrabinya. Kemauan para kolektor wastra untuk memamerkan dan membukukan narasi koleksinya perlu diapresiasi dalam konteks membangun kepustakaan wastra, sebuah langkah penting mendasar dalam jalan panjang dan berliku merawat harta budaya bangsa kita.