Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
JFW 2021: Jalan Panjang Mode demi Tak Merusak Dunia
4 Desember 2020 17:33 WIB
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salahsatu isu besar yang digaungkan di seluruh dunia sejak pergantian milenium adalah dampak dari perusakan alam oleh manusia, baik melalui tindakan pribadi atau aktivitas industri. Industri mode dunia tak luput dari sorotan, terutama untuk kategori fast-fashion yang baru muncul pada periode ini.
ADVERTISEMENT
Karena siklus koleksi barunya hanya berkisar antara 3-6 minggu, jauh lebih cepat dari siklus klasik 2 musim sebelumnya, fast fashion juga lebih cepat menguras sumberdaya seperti listrik dan air.
Dan karena model bisnisnya mengandalkan volume tinggi, fast fashion cenderung menekan biaya melalui kondisi kerja seadanya, proses produksi termasuk pengolahan limbah seenaknya, dan upah pekerja serendah-rendahnya.
Dijual murah, fast fashion kian memupuk kebiasaan konsumtif membeli baju yang hanya dipakai 2-3 kali sebelum disingkirkan, terlalu banyak untuk diserap industri baju bekas atau pengolah kain perca sehingga akhirnya menggunung sebagai limbah. Di awal menguras, di akhir menyampah.
Fakta-fakta ini sudah cukup lama dijabarkan oleh ahli lingkungan dan pengamat mode, termasuk oleh jurnalis Lucy Siegle dalam buku To Die For: Is Fashion Wearing Out the World? pada tahun 2011 dan Elizabeth Cline dalam buku Overdressed: The Shockingly High Cost of Cheap Fashion setahun kemudian.
ADVERTISEMENT
Dunia baru tersentak setelah Rana Plaza di Bangladesh runtuh pada tahun 2013, melukai sekitar 2500 dan menewaskan lebih 1000 pekerja garmen yang bekerja dalam gedung reyot itu untuk memenuhi pesanan merk-merk fast fashion terkenal dari Eropa dan Amerika Serikat.
Dua tahun kemudian, bekerjasama dengan sineas Andrew Morgan, Lucy Siegle lebih jauh mengangkat isu serius ini melalui film dokumenter The True Cost. Dunia makin gempar.
Di sisi lain, ada argumen setara gigihnya bahwa keberadaan pakaian murah nan modis adalah bentuk demokratisasi agar semua orang bisa punya akses untuk tampil gaya. Di banyak negara dengan penduduk kelas menengah, misalnya Indonesia, perusakan alam atau ketaklayakan kondisi kerja sering kalah prioritas ketimbang ketersediaan pakaian murah. Dengan menjamurnya media sosial sampai di pedesaan, kian meningkat keinginan untuk berpose dalam pakaian yang dianggap menarik atau baru.
ADVERTISEMENT
Dalam Jakarta Fashion Week (JFW) ke-8 pada penghujung 2015, wacana sustainability fashion secara resmi didengungkan dengan diputarnya The True Cost dan dihadirkannya Lucy Siegle pada forum diskusi. Tahun berikutnya, salahsatu perwakilan dari merk fast fashion Eropa ganti dihadirkan untuk dialog terbuka. Tema sustainability fashion, mode berkelanjutan yang meminimalisir dampak negatif bisnisnya pada dunia, menjadi menu tetap di JFW sejak itu—diangkat dari satu pagelaran ke pagelaran lain oleh desainer dan sponsor berbeda.
Tahun ini, sejak pandemi memaksa warga dunia untuk merenungi hubungan manusia dengan alam, genderang kesinambungan dalam industri mode global makin kencang ditabuhkan.
Sesungguhnya klaim sustainability fashion bukan perkara mudah, karena artinya penjaminan bahwa dari hulu bahan-baku, proses produksi, sampai hilir promosi, sebuah brand menekan serendah mungkin dampak negatif usahanya pada dunia. Bagi mode Indonesia yang masih belum berskala industri dan harus mengandalkan ekspor bahan baku sesederhana benang, kancing dan ritsluiting jenis tertentu yang jarang diketahui asal-muasalnya, pun masih bergantung pada moda transportasi kompleks yang boros energi, makin susah untuk memancang klaim ini.
ADVERTISEMENT
Layak untuk diangkat bahwa ada kesadaran pada beberapa desainer muda berbakat Indonesia untuk tidak terburu-buru memakai klaim sustainability fashion. Dalam diskusi daring bersama Textilelab Amsterdam dan Erasmus Huis pada hari ketiga JFW tahun ini, desainer Auguste Soesastro menunjukkan dimensi permasalahan dengan contoh bahwa material yang diolah secara berkesinambungan pun tidak akan menjadi produk mode berkelanjutan bila diproduksi dalam volume besar-besaran. Menurut Auguste kita seharusnya lebih jauh bertanya tentang asal bahan baku dan proses produksi. “Masalahnya, orang Indonesia tidak banyak bertanya (kritis),” keluh Auguste.
Monique Soeriaatmadja, desainer Alexalexa dan Soe Jakarta, bersikap realistis dengan menyebutkan inisiatif-inisiatif yang diambilnya tanpa mendapuk bisnisnya sebagai mode berkelanjutan. Seiring dengan menurunnya permintaan pasar setelah pandemi, Monique memutuskan menggunakan simpanan material yang ada selain membeli stok penenun Yogya dan Pekalongan. Seperti diketahui, penenun tradisional terhantam penurunan permintaan pasar dan kesulitan logistik akibat ditutupnya titik transportasi barang karena karantina pandemi.
ADVERTISEMENT
Menanggapi fenomena mobilitas terbatas sekitar rumah, Monique merujuk kembali kepada material lama Alexalexa seperti mesh dan dry-fit dalam membuat koleksi Soe Jakarta yang lebih memudahkan gerak dan beragam fungsi. “Aku sendiri setelah kerja seharian di rumah sering ke luar sebentar untuk olahraga jalan-kaki, lalu kembali bekerja lagi, jadi enak kalau bajunya bisa fleksibel,” tutur Monique.
Pemanfaatan sisa material lama, simpanan kain yang tidak terpakai (deadstock), dan bahkan limbah pakaian ditemui di beberapa koleksi lain dalam JFW ke-13 ini.
Mengambil inspirasi dari sulitnya mendapatkan bahan pakaian pada dekade 1940-an karena Perang Dunia II, Chyntia Odelia dari LaSalle College Indonesia menampilkan koleksi busana bergaris-pinggang alamiah dalam palet warna tanah yang, menurut rilis medianya, diproduksi dari sisa kain. Menggembirakan, mengingat sang perancang masih muda dan baru mengawali karirnya.
Lebih jauh lagi, tema mode berkelanjutan dicanangkan sebagai garis merah Dewi Fashion Knights (DFK), pagelaran pemungkas yang dianggap sebagai mahkota kebanggaan perhelatan JFW setiap tahunnya. Gaia, dewi pemangku Bumi dalam mitologi Yunani Kuno, adalah tema yang diselempangkan pada DFK yang tahun ini digawangi oleh Toton, Lulu Lutfi Labibi dan Sejauh Mata Memandang, tiga nama besar yang telah diundang untuk menggelar karyanya di DFK pada tahun-tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Palet warna yang dipilih Lulu Lutfi Labibi adalah jukstaposisi hitam dan putih, dengan petikan-petikan puisi Joko Pinurbo terselip di antara helai-helai busananya. Secara umum siluetnya masih setia pada teknik lilit dan drapery, walau busananya terlihat lebih ringan melayang. Seperti dilansir melalui akun Instagramnya, untuk material yang digunakan dalam koleksi DFK ini Lulu Lutfi Labibi bekerjasama dengan Saparo, sebuah merk berbasis di Semarang yang mengkhususkan diri dalam pengelolaan limbah menjadi produk mode dan seni.
Dihantarkan melalui video artistik dan koreografi runway semi-teatrik yang menjadi ciri khas Lulu beberapa tahun terakhir, koleksi yang dinamai ‘Sandang Hening Cipta” ini menyiratkan hasil dari perenungan sunyi tahun ini.
Selain material sisa produksi dan deadstock, Sejauh Mata Memandang (SMM) juga bekerja dengan limbah tekstil untuk koleksi yang dipagelarkan dalam DFK, berkolaborasi dengan Pable. Didominasi warna putih dengan motif garis dan geometris disertai sentuhan renda dan bordir, koleksi ini walau terasa menjauh dari kibaran motif meriah dan warna tegas yang disuguhkan SMM beberapa tahun terakhir, meluruh pada pagelaran perdananya sekitar 7 tahun lalu yang didominasi warna dasar putih dan teknik lilit sederhana.
ADVERTISEMENT
Disajikan dalam video berkualitas yang dikerjakan berdasar konsep kuat dengan pengarahan mata kamera yang jeli, pesan mode berkelanjutan SMM terkemas cukup rapat karena bukan saja lokasi rekamannya di fasilitas pengerjaan tekstil dengan berbagai dinamika dan limbah, tapi juga program penyerta yang diumumkan melalui akun media sosialnya. “Untuk setiap pembelian busana kami, Rp 30.000 akan diserahkan kepada Forum Konservasi Leuser. Itulah biaya per pohon dari ditanam sampai dirawat selama dua tahun,” jelas Chitra Subyakto, motor kreatif di balik SMM. Forum Konservasi Leuser adalah organisasi nirlaba yang berkomitmen pada ekosistem yang meliputi Taman Nasional Gunung Leuser di Provinsi Aceh.
Meluangkan waktu cukup lama untuk wawancara virtual tentang berbagai aspek bisnis mode, desainer Toton Januar secara terbuka menjelaskan hambatan yang dihadapi merk Toton selama pandemi. Bukan saja penjualan domestik menurun, order ekspor dari trade show Paris di awal tahun pun direvisi atau dibatalkan samasekali, padahal ekspor adalah porsi terbesar penjualan selama ini.
ADVERTISEMENT
Secara total, penjualan Toton turun setengahnya tahun ini, dan melihat bagaimana virus masih berkecamuk di seluruh dunia sedangkan vaksin tidak mungkin segera tersedia bagi semua orang, Toton Januar bersiap dengan kemungkinan besar kondisi bisnis 2021 belum kembali seperti masa pra-pandemi—sebuah sikap realistis hasil kalkulasi berbagai fakta yang ada, bukan sekadar optimisme penenang rasa.
Suatu hal yang menguntungkan Toton adalah bahan bakunya sepenuhnya domestik, sehingga koleksi bisa dikerjakan tanpa ketergantungan pada kelancaran arus impor. Sudah memulai pemakaian sisa kain dan limbah sejak 2 tahun lalu, pada tahun ini Toton pun mengkaryakan material yang telah tersedia. “Konsep sustainability lebih efisien kalau bisa mengolah dari bahan yang ada di sekitar,” ungkap Toton. Bila menilik perjalanan jurnalis Dana Thomas menelusuri berbagai inisiatif mode berkelanjutan terbaru di Eropa dan Amerika Serikat, seperti yang dituangkan dalam buku Fashionopolis yang terbit tahun lalu, hampir semua mengandalkan pengadaan bahan-baku, kadang sampai ke serat benang, dari pasar dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Kembali ke Toton; mafhum pada keterbatasan mobilitas dan kebutuhan berbagai aktivitas dari rumah selama pandemi, Toton menelurkan koleksi yang lebih rileks dan non-formal, baik dari siluet maupun material, tanpa meninggalkan DNA merk. Kerah yang bisa dilepaskan (detachable collar) adalah salahsatu trik yang dipakai untuk menghasilkan atasan yang nyaman dipakai di rumah namun bisa disulap menjadi cukup resmi untuk rapat virtual.
12 setelan ditampilkan pada DFK dengan sepenuhnya menggunakan fasilitas runway JFW 2021, namun keseluruhan koleksi yang berjumlah 16 setelan akan diluncurkan melalui video mode yang direkam di salahsatu museum terbesar di Jakarta.
Pandemi mungkin melandai tahun depan di Indonesia, mungkin juga tidak. Beberapa talenta mode dalam JFW 2021 telah menanggapi fenomena wabah global ini dengan menawarkan koleksi yang lebih berkesinambungan dalam jalan panjang nan terjal untuk tak merusak dunia, namun terpulang kepada pasar untuk menerimanya.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang lebih besar adalah, apakah setelah pandemi usai umat manusia akan bertahan dengan sikap baru yang lebih menjaga keseimbangan Bumi, atau semua aktivitas perusak akan kembali seperti pra-pandemi.
Kembali ke webinar JFW 2021 yang disebut di awal, Yolande Melsert dari Erasmus Huis menyebutkan bahwa, paling tidak di Belanda, kesadaran akan konsumsi yang tidak merusak dunia telah ditanamkan sejak anak-anak baik melalui percakapan sederhana dengan orang tua tentang pilihan pakaian maupun pembahasan konsep kesinambungan melalui pendidikan formal.
Apakah Indonesia sudah mulai mau, atau mampu, meninggalkan cara berpikir bahwa pakaian harus murah agar selalu bisa berganti baru, terutama demi kebutuhan status? Semua pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh waktu.
ADVERTISEMENT