Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
JFW 2021: Penanda Zaman dan Serona Harapan
3 Desember 2020 14:50 WIB
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepuluh bulan sejak kasus pertama COVID-19 resmi diumumkan Pemerintah Indonesia, beragam perubahan terjadi. Sekolah dan pekerjaan beralih ke dalam rumah, olahraga, dan wisata terbatasi menjadi di alam terbuka sekitar kota. Pola pengeluaran berubah, PHK berjatuhan. Setelah mengalami pengerutan (kontraksi) ekonomi berturut-turut pada kuartal kedua dan ketiga lalu, Indonesia resmi mengalami resesi—terakhir kalinya pada 1998.
ADVERTISEMENT
Bisnis ekonomi kreatif termasuk mode terimbas sejak awal pandemi karena sifat konsumsinya yang sekunder dan bahkan tersier bagi banyak orang. Terasa betul bagi dunia mode Indonesia yang dibalik gemerlapnya belum masuk kategori industri, dimotori usaha berskala kecil dan menengah, dan diawaki banyak tenaga-kerja lepasan.
Beberapa desainer cukup sigap menyelamatkan arus kas dengan memproduksi masker kain, pakaian rumah bergaya, atau bahkan busana pesta berskala privat—namun tidak sedikit juga yang terpaksa lebih jauh merombak bisnis demi bertahan.
Ketidakpastian soal vaksin sebenarnya menyulitkan talenta kreatif untuk menawarkan produk mode untuk tahun depan, namun beberapa agenda tahunan seperti Trend Show 2021 dari Ikatan Perancang Mode Indonesia dan Jakarta Fashion Week 2021 tetap digelar secara daring minggu-minggu ini.
ADVERTISEMENT
Apa yang ditawarkan dalam Jakarta Fashion Week (JFW), yang menginjak usia ke-13 tahun ini? Cukup banyak talenta mode yang menyikapi realita perubahan gaya hidup karena pandemi dengan menawarkan loungewear, pakaian nyaman untuk di rumah namun masih representatif untuk rapat kerja via layar digital. Siluetnya longgar, materinya relatif ringan, dan pemakaiannya tidak rumit. Menarik juga dicatat bahwa saat dipagelarkan tata-rias dan tata-rambut dari para model cukup sederhana, penanda zaman yang jauh dari gemebyar.
Etu dan Hattaco, dua merk modest wear yang sering menampilkan siluet androgynous terstruktur dalam warna-warna tegas, kali ini menawarkan pakaian yang lebih rileks dalam warna lembut, walau masih selaras dengan DNA brand masing-masing. Selain merujuk pada gaya kubisme pengotak warna pelukis Piet Mondrian untuk memaparkan logo pada busananya, Etu juga menggunakan bunga lili untuk melambangkan kebangkitan kehidupan baru pasca pandemi.
3Mongkis, brand muda yang harus menutup tokonya karena pandemi walau baru sebulan dibuka, sigap beralih ke pasar ritel daring dan meluncurkan koleksi bersiluet sederhana dalam warna teduh. Beberapa setelan terlihat sekilas seperti piyama, dengan sedikit detail pembeda. Penggemar piyama sejati akan menemukannya pada koleksi SARE Studio, merk pakaian tidur yang diluncurkan pada tahun 2015 dan cepat meraih popularitas melalui media sosial dan partisipasi pada forum ritel terkurasi seperti Brightspot Market.
ADVERTISEMENT
Sikap tanggap sasmita pada episode baru zaman juga terlihat dalam pagelaran LaSalle College Indonesia. Mengaplikasikan tenun Bentenan dari Sulawesi Utara dalam teknik cetak tekstil, Vionika Priskila sukses menghindarkan koleksinya terlihat kaku dan berat. Menggembirakan melihat tenun Bentenan mulai dilirik oleh desainer belia dari sekolah mode, setelah dalam dua JFW terakhir wastra Sulawesi Utara dihadirkan oleh talenta lokalnya melalui swadaya Kerukunan Keluarga Kawanua.
Selain itu, ada Sherly Lovent yang juga menawarkan pakaian rileks, bermotif bunga periwinkle dalam palet warna cerah yang secara estetika menyatu indah sebagai kesatuan koleksi.
Motif gembira dan warna cerah juga disuguhkan beberapa desainer lainnya. Selain Calla the Label, Nadjani dan 3Mongkis yang memang dikenal kerap bermain dengan tekstil cetak digital dengan motif meriah, Ai Syarif 1965 dan TS the Label dari Tities Sapoetra menawarkan letupan warna dalam koleksinya—mungkin dimaksudkan sebagai serona harapan untuk tahun depan.
ADVERTISEMENT
Menyebutkan dalam konferensi pers bahwa ia percaya pada 2021 dunia sudah kembali mendekati era pra-pandemi, Tities Sapoetra mengawali pagelaran dengan grup tarian energik sebelum menghadirkan koleksi yang didasarkan pada kombinasi antara motif labirin dan tampilan produk elektronik yang menjadi sponsornya.
Kolaborasi juga dihadirkan Cotton Ink yang kembali menggandeng Abenk Alter, seniman muda Ibukota yang dikenal dengan goresan grafis dinamisnya. Imajinasi Abenk menyeruak semarak pada T-shirt, bawahan, masker sampai topi.
Nampaknya topi kain juga sebuah kesepakatan di antara banyak desainer, dengan sedikit variasi pada bentuk. Selain bucket hat seperti yang ditampilkan merk-merk lain, Nadjani, yang melebarkan sayap ke kategori konvensional pada 2017 setelah 6 tahun berkutat di modest wear, dan di tengah pandemi sukses berkolaborasi dengan desainer grafis Ayang Cempaka, juga menawarkan topi berpinggir lebar—tipe topi yang selain efektif menahan sinar matahari juga kerap dipilih untuk mendandani hijab.
Tak ada yang tahu persis bagaimana dinamika pandemi akan mempengaruhi gaya hidup di Indonesia tahun depan. Negara-negara seperti China, Korea, Prancis, dan Jerman sedang berjuang menghadapi gelombang kedua dan ketiga pandemi.
ADVERTISEMENT
Sedang sampai Desember ini Indonesia belum kunjung menyelesaikan gelombang pertamanya. Namun paling tidak dari sudut mode, sekelompok talenta pada JFW ke-13 ini berupaya menawarkan koleksi-koleksi penanda kelok zaman dan pemulas serona harapan.