Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
JFW ke-12: Pelajaran dari Talenta dan Budaya Populer Mancanegara
31 Oktober 2019 12:48 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak awal berdirinya, Jakarta Fashion Week (JFW) dimaksudkan sebagai ajang unjuk-gigi talenta mode lokal. Seiring berjalannya waktu, hubungan dengan talenta mancanegara mulai dijalin, baik berupa pagelaran di JFW maupun di pekan mode asing, dengan tujuan berbagi dan belajar.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, beberapa talenta Asia menggelar karya mereka di JFW ke-12.
Mewakili Rakuten Fashion Week Tokyo, Rieka Inoue dan Enharmonic Tavern, menawarkan koleksi yang cukup dekat dengan selera estetika pasar urban Indonesia.
Rieka Inoue merancang sebuah koleksi dengan siluet klasik, gaya feminin, dan warna-warna cerah yang terinspirasi dari suasana hati Rieka, terutama dalam penjelajahan rutinnya di negara-negara Asia Tenggara.
Detail menarik di punggung banyak menghiasi busananya, dan beberapa sentuhan kriya Jepang disematkan di kepala tanpa terjerumus terlalu etnik. Masih bertumbuhnya pasar konsumsi dan demografi muda Indonesia adalah alasan utama Rieka mencoba memperkenalkan karyanya melalui JFW.
Walau secara estetika karyanya berpotensi cepat menemukan penggemar, namun ceruk pasar riil mungkin tidak mudah diraih mengingat selembar busananya berkisar antara ¥ 35.000 - ¥ 52.000, atau sekitar Rp 4.500.000 - Rp 6.700.000.
Takefumi Maruoka, desainer di balik Enharmonic Tavern, mengaku tertarik merambah ke JFW karena terkesan pada talenta mode Indonesia yang pernah ia saksikan di Tokyo Fashion Week.
ADVERTISEMENT
Dalam waktu singkatnya menyiapkan pagelaran di JFW ke-12 ini, ia menaruh hormat pada antusiasme kalangan mode Indonesia, termasuk desainer dan kru penyelenggaraan. Dari sisi desain, Enharmonic Tavern seirama dengan tren streetwear yang merajalela di Indonesia 1-2 tahun terakhir ini, dan punya peluang untuk menemukan pasar lokal.
Dari sisi eksekusi, sesuai standar ready-to-wear Jepang yang berkualitas tinggi. Tantangannya sama dengan Rieka Inoue di atas, harga yang tinggi setelah dirupiahkan dari Yen.
Mengulang kesuksesannya tahun lalu di JFW ke-11 , Korea Creative Content Agency (KOCCA) kembali menghadirkan beberapa desainer muda Korea Selatan. Tahun ini KOCCA mengusung brand SETSETSET dan Seokwoon Yoon.
SETSETSET dari desainer Jang Yoon Kyung menghadirkan koleksi bervisual bunga yang terinspirasi tradisi upacara bunga Jangwon, sebuah prosesi pemberian mahkota bunga kepada lulusan terbaik ujian kenegaraan di Korea Selatan. Desainnya feminin dengan warna-warna cerah; mulus mengawinkan tradisi Korea, termasuk warna bendera Korea Selatan, dengan gaya berbusana metropolitan dunia.
ADVERTISEMENT
Setia pada DNA sebagai brand uniseks, desain dan styling panggung Seokwoon Yoon memang mengaburkan batas gender, selangkah lebih jauh dari brand-brand uniseks Indonesia yang jarang terang-terangan mengaplikasikan tata rias wanita pada wajah model pria.
Desainnya mudah dipakai dan jelas menyasar batas bawah Gen Y (milenial) dan Gen Z tanpa terlalu sibuk berusaha nampak edgy. Tak heran bahwa berbagai koleksinya pernah dipakai bintang K-Pop, budaya populer Korea Selatan yang sukses mendunia.
Bicara budaya populer, film sering menjadi wahana persebaran globalnya, dengan Hollywood di Amerika Serikat dan Bollywood di India sebagai contoh terbaik. Film teranyar Disney, 'Maleficent: Mistress of Evil', kelanjutan dari film sebelumnya tentang tokoh yang sama, berkolaborasi dengan seniman dan desainer mode Indonesia untuk menghasilkan karya (commissioned work) berdasar film ini.
ADVERTISEMENT
Andreas Odang, Imelda Kartini dan Albert Yanuar dipilih untuk mewakili 3 tokoh sentral di dalam film. Ketiga desainer merombak karya mereka sebelumnya untuk mewujudkan koleksi baru terinspirasi film ini. Bagi Aurora yang sekarang sudah menjadi ratu di kerajaannya dan bertunangan dengan Pangeran Phillip dari kerajaan sebelah, Albert Yanuar menghadirkan koleksi gaun malam berbordir dalam warna pastel yang mengilustrasikan kebeliaan Aurora dibanding 2 tokoh sentral lainnya.
Imelda Kartini memilih material berstruktur seperti jacquard dan mahkota berkilau untuk menggambarkan status dan ketegasan Ratu Ingrith, ibunda Pangeran Phillip, yang ternyata sejak muda menyimpan dendam pada kaum peri. Agak disayangkan bahwa para desainer hanya diizinkan bekerja berbekal trailer singkat film kedua, karena sisi dua-muka Ingrith dibuka bertahap sepanjang film kedua, kalau tidak desain Imelda Kartini mungkin lebih berkesempatan menggambarkan kompleksnya karakter Ingrith.
ADVERTISEMENT
Didapuk untuk mewujudkan karakter Maleficent, Andreas Odang melongok kembali ke koleksi adibusana 'Magnolia' yang ia gelar pada perhelatan IPMI 2016. Berfokus pada kekelaman perjalanan Maleficent, Andreas Odang memadukan ballgown serba hitam dengan aksesori yang menggambarkan kerasnya hidup dan banyaknya 'topeng' yang dipakai Maleficent selama ini. Sebuah kebetulan yang menguntungkan bagi kreasi Andreas Odang karena Maleficent di film kedua ini memang lebih banyak memakai adibusana ketimbang kostum bersifat karikatur.
Terlepas dari upaya terpuji para desainer, kritik harus dialamatkan pada siapapun yang memutuskan menunjuk muse lokal dalam pagelaran ini. Koleksi ke-3 desainer yang ditampilkan di JFW ke-12 ini jelas telah memiliki muse; Maleficent, Aurora, Ingrith. Tiada urgensi apa pun untuk mengambil muse tambahan yang hanya mengaburkan sumber inspirasi dan berpotensi menggeser perhatian.
Beberapa tahun ini dunia mode Indonesia memang terlalu mudah memakai istilah muse sampai cukup mengacaukan pengertiannya, yaitu, "Sumber inspirasi sejak awal koleksi dicipta," dan disayangkan ini terbawa pada pagelaran yang mempertemukan talenta lokal dengan wahana budaya asing.
ADVERTISEMENT
Audrey Hepburn disebut muse rumah mode Givenchy bukan hanya karena 1-2 kali mengenakan gaunnya di film atau catwalk, namun karena memang selama puluhan tahun ialah sumber inspirasi mode bagi Hubert de Givenchy. Sosialita Nan Kempner memiliki koleksi terbesar berbagai merk adibusana dunia sampai layak dipamerkan Costume Institute (Metropolitan Museum of Art) tahun 2006, namun ia hanya dikenal sebagai muse Yves Saint Laurent karena memang itulah faktanya.
Memberi kesempatan bagi orang terkenal untuk menapaki runway demi promosi atau menjaga hubungan baik bisa dipahami, namun menyematkan predikat muse pada sosok yang bukan sumber inspirasi utama penciptaan adalah edukasi mode buruk bagi publik.
Kualitas busana, kejelian eksekusi konsep, kedisiplinan menggunakan pakem mode—memang banyak hal yang bisa diambil sebagai pelajaran bersama dari pertemuan talenta mode mancanegara di JFW ke-12 tahun ini, bila dunia mode Indonesia memang serius ingin menjadi pemain kelas dunia.
ADVERTISEMENT