Konten dari Pengguna

Kain Basurek dan Jejak Islam pada Batik Nusantara

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
23 Mei 2020 14:08 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengrajin Batik Foto: ANtara/Didik Suhartono
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengrajin Batik Foto: ANtara/Didik Suhartono
ADVERTISEMENT
Salah satu penggalan sejarah Islam di Nusantara yang diajarkan dalam kurikulum sekolah adalah bahwa Wali Songo, sembilan aulia penyebar Islam terutama di Jawa, memakai budaya setempat sebagai wahana penyebar. Gamelan dan wayang selalu disebut, tapi pemakaian medium batik jarang dikupas.
ADVERTISEMENT
Pencinta wastra dan sejarah Indonesia sekarang beruntung karena sekelompok penggiat wastra yang dimotori Dwita Herman mulai serius mengedukasi, baik melalui pameran dan penerbitan buku.
Tulisan di bawah ini bersumber terutama dari pameran “Inspirasi Islam pada Batik” pada November 2019 di Jakarta, dan buku “Inspirasi Islam pada Batik” karya Benny Gratha yang diterbitkan pada Februari 2020.

Kain Basurek

Kain Basurek adalah nama yang biasanya pertama muncul saat jejak Islam pada batik diperbincangkan. Berasal dari pelafalan kata “bersurat” dalam beberapa dialek di Sumatera, kain Basurek adalah batik bermotifkan kaligrafi Arab, baik tersurat atau tersirat. Kadang terinspirasi ayat-ayat Qur’an, asmaul husna (nama-nama Allah) atau tokoh sejarah Islam. Kadang juga berupa rangkaian aksara Arab tanpa arti yang membentuk ragam hias.
ADVERTISEMENT
Torehan aksara yang juga dipakai dalam Qur’an ini membuat kain Basurek hanya boleh digunakan untuk menutupi benda-benda sakral seperti pusaka dan kitab suci (di beberapa daerah kadang juga dipakai untuk menutupi keranda). Kalaupun dikenakan, hanya boleh di bagian tubuh atas, seperti kepala.
Walau banyak digunakan di Sumatera, pada awalnya sekitar akhir abad ke-19 kain Basurek masih umum didatangkan dari sentra batik di pantai utara Jawa. Akulturasi budaya Tionghoa kental mewarnai motif batik pesisir utara Jawa, sebagaimana kepemilikan usaha pembatikannya, namun keharmonisan masyarakat Nusantara saat itu tidak mempermasalahkan hal-hal seperti ini.
Selendang batik Cirebon. Motif kubah dan bunga berkaligrafi nama Nabi Muhammad.Koleksi Dwita Herman. Sumber: Pameran “Inspirasi Islam pada Batik” (Jakarta, November 2019).
Destar batik Cirebon. Motif pedang Zulfikar dan megamendung menyerupai lidah api. Koleksi Fay Adhiwiyogo.Sumber: Buku “Inspirasi Islam pada Batik“ (Benny Gratha, Februari 2020).
Kain panjang batik Cirebon, pesanan Baginda Halim dari Betawi (1880). Koleksi Hartono Sumarsono.Sumber: Buku “Batik Pesisir Pusaka Indonesia” (Hartono Sumarsono, Mei 2011)

Motif Geometris

Bentuk geometris amat disenangi dalam ragam hias visual Islam. Pertama, substitusi bagus bentuk figuratif yang dihindari dalam Islam demi mencegah pemujaan (idolatry) selain kepada Ilahi. Kedua, pola berkesinambungannya mencerminkan sifat Allah SWT yang tiada berawal dan berakhir.
ADVERTISEMENT
Motif geometris merajai wastra tulis, wastra cap dan tenun ikat ganda (patola) dari Gujarat, India, sebagaimana batik Jambi. Motif yang sama populer disebut ceplok di Jawa— kaum wanita peranakan Arab di Kauman, Surakarta dikenal sebagai salah satu pembuat dan pemakai setianya.
Diinspirasi oleh teknik patola, pembatik peranakan Arab di Pekalongan mengikat empat ujung canting untuk menciptakan batik Jlamprang, batik bermotif titik-titik bak tenun dalam warna cerah.
Selendang batik Jambi buatan Cirebon (1950-an). Motif ceplok bintang segi delapan. Koleksi Agus Purwanto.Sumber: Buku “Inspirasi Islam pada Batik” (Benny Gratha, Februari 2020).
Kain panjang batik Pekalongan, ditemukan di lingkungan Kasunanan Surakarta. Motif patola bertumpal. Koleksi Dwita Herman.Sumber: Buku “Inspirasi Islam pada Batik” (Benny Gratha, Februari 2020).

Motif Hewan yang Disamarkan

ADVERTISEMENT
Terpulang lagi pada prinsip Islam untuk menghindari pemujaan, bentuk fauna pun sering disamarkan dalam batik bernapaskan Islam. Kadang sebagian tubuh hewan diganti motif flora, kadang keseluruhan hewan disimbolkan oleh salah satu anatomi saja.
Sarung batik Batang, komunitas Rifa’iyah. Motif bulu ekor ayam jantan.Koleksi Irwan Julianto.Sumber: Buku “Inspirasi Islam pada Batik” (Benny Gratha, Februari 2020).

Motif Cuplikan Sejarah Islam

Motif yang juga disukai adalah yang mengambil sejarah Islam sebagai inspirasi.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh dalam pembahasan Kain Basurek di atas menunjukkan motif Zulfikar, pedang bermata-dua yang dihadiahkan Nabi Muhammad untuk Sayiddina Ali.
Batik di bawah ini menunjukkan peristiwa Isra’ Mi’raj, dibatik oleh Widianti Widjaja (Oey Kim Lian), cucu pembatik legendaris Oey Soe Tjoen dari Pekalongan.
Kain panjang batik Pekalongan, karya Widianti Widjaja (Oey Kim Lian). Motif Isra’ Mi’raj. Koleksi Dwita Herman.Sumber: Buku “Inspirasi Islam pada Batik” (Benny Gratha, Februari 2020).
Mengingat Islam telah berabad-abad berada di Indonesia (beberapa teori menyebutkan sejak abad ke-13), amat mungkin bahwa jejaknya dalam batik lebih luas lagi. Penerapannya juga ternyata tidak melulu tradisional— NurZahra, merk busana santun Indonesia, memakai batik bermotif geometris modern dalam siluet urban modern pada tahun-tahun awalnya.
Selendang batik NurZahra (2016-2017). Motif geometris Islam.Koleksi Lynda Ibrahim.
Semoga rangkaian pameran batik dan peluncuran buku “Inspirasi Islam pada Batik” menjadi pembuka pagar diskusi dan penggalian lebih jauh tentang persandingan damai antara Islam dengan warisan budaya Nusantara.
ADVERTISEMENT
Selamat Idul Fitri 1441 Hijriah.