Menelusuri Mode dari Marie Antoinette sampai Maison Worth

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
14 Juli 2020 15:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menelusuri Mode dari Marie Antoinette sampai Maison Worth
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
"Marie Antoinette? Hmm."
Jarang nama itu tersebut tanpa memancing reaksi mulai dari tertarik malu-malu sampai benci menjadi-jadi. Siapa sesungguhnya sosok kontroversial ini, dan bagaimana pasalnya dengan mode? Apa pula itu Maison Worth?
ADVERTISEMENT
Marie Antoinette
Lahir pada pertengahan abad ke-18 di Vienna dengan gelar Archduchess, Maria Antonia Josepha Johanna adalah putri Kaisar Francis I dengan permaisuri Maria Theresa, kepala monarki Habsburg. Perseteruan lama orangtuanya dengan kerajaan Perancis akhirnya diakhiri demi melawan Prusia dan Inggris Raya. Sesuai norma saat itu, persekutuan ini diikat melalui pernikahan. Pada tahun 1770, Maria Antonia yang berusia 15 tahun dinikahkan dengan remaja yang hanya setahun lebih tua; Louis Auguste, cucu lelaki tertua Raja Louis XV dari Perancis. Nama Maria Antonia diganti menjadi versi Perancis, Marie Antoinette. 4 tahun kemudian suaminya naik tahta sebagai Raja Louis XVI.
Layaknya wanita bangsawan saat itu, pendidikan masa-kecil Marie Antoinette dipenuhi dengan berbagai jenis seni, dan kesenangan pada seni ini yang mendapat keleluasaan saat suaminya berkuasa. Ratu Marie Antoinette dikenal gemar membeli karya seni dan membiayai musisi. Saat drama komedi Le Mariage de Figaro karya Pierre Beaumarchais yang berisi kritik halus terhadap kepemimpinan Raja Louis XVI dilarang tampil, Marie Antoinette menyelenggarakan pementasan pribadi dan membela sang penulis sampai Raja menyerah dan mengizinkan karya itu naik panggung lagi. Drama tersebut lalu menjadi sedemikian populernya di Eropa sampai dua tahun kemudian Wolfgang Amadeus Mozart, komposer jenius yang dikenal Marie Antoinette sejak masa kecilnya di Austria, mengadaptasinya sebagai opera di Vienna. Opera ini adalah salahsatu gubahan Mozart terpopuler sampai sekarang, sering ditampilkan potongannya pada produksi kelas wahid Hollywood seperti Shawshank Redemption dan The King's Speech.
ADVERTISEMENT
Bagaimana di sisi mode? Selama berabad-abad semua perempuan mampu menjahit pakaian sendiri, dan tiap kerajaan Eropa pada Abad Pertengahan memiliki pakem busana yang umumnya disetir ratu setempat. Penggemar tontonan televisi atau film tentang dinasti Tudor pasti ingat bahwa Catherine of Aragon, putri monarki Spanyol yang bersuamikan Raja Henry VIII dari Inggris, selalu memakai gaun hitam berbordir putih dan tutup kepala menjuntai khas Spanyol yang berbeda dengan busana perempuan Inggris pada awal abad ke-16. Setengah abad kemudian putri Henry VIII dari Anne Boleyn naik tahta menjadi Ratu Elizabeth I dan lalu, antara lain, mempopulerkan kerah putih berlipat tegak.
Ilustrasi busana Ratu Elizabeth I dari Inggris oleh Christoffel van Sichem 1 (1601). Koleksi National Gallery of Art, Washington DC. Sumber: Buku How To Read a Dress (Lydia Edwards, 2017). Attachments area
Perempuan bangsawan atau pengusaha kaya, walau tetap berketerampilan dasar menjahit, kerap mengupah penjahit profesional (dressmaker) yang secara berkala datang membawakan pilihan kain. Rose Bertin, dressmaker yang saat itu sudah punya balai kerja di Paris, akhirnya menjadi penjahit pribadi Marie Antoinette.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dinukilkan oleh Didier Grumbach dalam bukunya, Histoires de la Mode, Marie Antoinette aktif menentukan sendiri seleranya secara detil-- kerap menggunakan seni, gaya busana asing atau imajinasi sebagai referensi. Ia juga tak segan mengimpor tekstil dan aksesoris eksotis. Wanita bangsawan memang terbiasa menjadikan ratu sebagai rujukan, namun kepiawaian Marie Antoinette dalam mematut diri melalui busana dan tata-rias rambut dengan cepat menjadikannya satu-satunya panutan mode di Perancis. Kabar dan gambar ratu Perancis yang penuh gaya menyebar melalui para utusan kerajaan, sampai para dressmaker Paris dicari oleh kalangan elit London, Venice, Vienna, St. Petersburg, dan bahkan Konstantinopel (nama lama Istanbul) yang ingin mengikuti gaya Marie Antoinette. Lahirlah simbol Perancis sebagai kiblat mode Barat-- mengungguli Spanyol, Italia, dan Inggris yang tadinya punya garis mode tersendiri.
ADVERTISEMENT
Robe a la francaise (1755-1760), koleksi The Museum at Fashion Institute of Technology (MFIT), New York.Sumber: Buku Fashion Designers A-Z (MFIT, 2016).
Lukisan Marie Antoinette, karya Elisabeth Vigee Le Brun (1783). Koleksi National Gallery of Art, Washington DC.Sumber: Buku How to Read a Dress (Lydia Edwards, 2017).
Namun, perilaku konsumtif terang-terangan Marie Antoinette ini menambah pilu rakyat Perancis yang saat itu dilanda kemerosotan ekonomi. Salahsatu mitos terkuat mengenai Marie Antoinette adalah cetusan arogan "Let them eat cake!" ("Biar mereka makan bolu saja!") saat diberitahu bahwa rakyat kesulitan mendapatkan roti-- walau studi sejarah modern menunjukkan ungkapan tersebut sudah ditulis oleh Jean-Jacques Rousseau pada 1765, 5 tahun sebelum Marie Antoinette menginjakkan kaki di Perancis. Namun ungkapan tersebut sukses memotret ketidakpedulian kaum elit pada rakyat kecil, sehingga kemarahan rakyat Perancis akhirnya meledak. Benteng Bastille diserbu rakyat pada 14 Juli 1789, lalu bergulirlah Revolusi Perancis selama sepuluh tahun ke depan. Dekade ini tercatat sebagai penentu bentuk dan dasar ideologi negara Perancis modern, serta melahirkan banyak tokoh penting seperti Napoleon Bonaparte yang lalu menjadi Kaisar Perancis pada tahun 1804. Marie Antoinette sendiri menemui ajalnya di pisau guillotine pada tahun 1793.
ADVERTISEMENT
Marie Antoinette boleh almarhumah, posisi Perancis sebagai pusat mode tidak lantas goyah.
Maison Worth
52 tahun setelah wafatnya Marie Antoinette, seorang pria Inggris bernama Charles Frederick Worth pindah ke Paris. Mengawali karir sebagai wiraniaga pada perusahaan tekstil Gagelin, Worth mencoba mendesainkan beberapa gaun untuk istrinya yang sesama wiraniaga. Tak dinyana, desainnya sering menang penghargaan dalam pameran tekstil. Sayangnya pemilik Gagelin menolak berekspansi ke pakaian jadi, sehingga Worth memberanikan diri membuka usaha sendiri.
Banyak buku yang menuliskan sumbangsih Charles Frederick Worth dalam mengkonsepkan ide pakaian jadi, namun barangkali jurnalis Robin Givhan yang paling asyik mengurainya dalam buku sejarah mode The Battle of Versailles.
Penguasa Perancis saat itu adalah keponakan Napoleon Bonaparte, Charles-Louis Napoleon Bonaparte, yang secara teknis presiden pertama Republik Perancis Kedua sebelum menahbiskan diri sebagai Kaisar Napoleon III dari Kekaisaran Perancis Kedua. Istrinya, Eugenie de Montijo, adalah bangsawan Spanyol yang dididik di Paris. Setelah terpikat pada desain Worth yang dikenakan istri dutabesar Austria, Ratu Eugenie memanggil Worth ke istana.
ADVERTISEMENT
Alih-alih membawa buku sketsa dan contoh kain, Worth memberanikan diri membawa gaun jadi. Ratu tersinggung karena merasa dilangkahi dan baru saja menyuruh Worth pulang saat Kaisar datang. Worth dengan sigap memberitahu Kaisar bahwa brokat pada gaun itu berasal dari Lyon, yang saat itu memihak Republik, sehingga akan bijak secara politis bila Ratu sudi mengenakannya. Bukan saja gaun brokat itu akhirnya dibeli Ratu Eugenie, Worth pun diangkat sebagai desainer resmi kerajaan.
Ya, desainer, bukan dressmaker, karena Worth adalah orang pertama yang secara berkala menciptakan segenap desain dan menggelarnya pada model berjalan di butik, sebelum memproduksi sesuai diskusi dengan klien. Yang ditawarkan Worth bukan sebatas ketrampilan menjahit, tapi ide desain-- mengembangkan fungsi penjahit menjadi seniman busana. Worth juga menyematkan label nama pada kreasinya, langkah pembentukan merk yang belum dilakukan dressmaker masa itu. Tempat usahanya bukan sebatas balai kerja namun menjadi wahana gaul wanita kalangan atas, bibit konsep butik yang kita kenal sekarang. Tentunya bagi klien sepenting Ratu Eugenie ada desain dan kunjungan khusus, namun klien lain dihadapkan pada sistem baru di mana Worth yang memegang kendali estetika.
ADVERTISEMENT
Maison Worth didirikan di Paris pada tahun 1858, dengan cepat menarik pelanggan bukan saja dari kalangan bangsawan Eropa tapi juga seniman panggung terkenal dan istri tuan-tuan tanah kaya di Amerika Serikat. Pelanggannya mulai dari yang membeli puluhan gaun tiap musim sampai yang memesan beberapa helai untuk direplikasi penjahit pribadi dengan seijin Worth. Bahkan setelah Kaisar Napoleon III dimakzulkan pada tahun 1870 dan bersama Eugenie mengasingkan diri, bisnis Worth terus berkembang dengan klien-klien baru. Maison Worth juga kemudian berkolaborasi dengan produsen parfum.
Gaun malam Lady Curzon, istri Viceroy of India, karya Maison Worth (1902-03). Koleksi Fashion Museum, Bath, Inggris.Dokumentasi: Buku How to Read a Dress (Lydia Edwards, 2017).
Setelan gaun malam karya Maison Worth (1883), koleksi The Museum at Fashion Institute of Technology (MFIT), New York. Sumber: Buku Fashion Designers A-Z (MFIT, 2016).
Sempat memiliki cabang di beberapa kota termasuk London dan mempekerjakan lebih dari 1000 pegawai pada penghujung abad ke-19, Maison Worth bertahan di tangan keluarga sampai generasi ke-4 pada pertengahan 1950-an, melampaui resesi global dan dua perang dunia. Setelah berganti pemilik beberapa kali dan vakum sejak 1980-an, Maison Worth sempat dihidupkan kembali pada 1999 dan menelurkan serangkaian koleksi busana antara 2010-2013. Yang bertahan sampai sekarang hanya bisnis parfumnya.
ADVERTISEMENT
Bisnis boleh naik-turun, tapi tidak dipungkiri bahwa model bisnis Worth membidani kategori busana yang menjadi kekayaan Perancis sampai sekarang; haute couture.
Haute Couture
Sering ditemui di tulisan mode atau kebudayaan, apa arti sebenarnya haute couture? Secara harafiah, artinya dalam bahasa Inggris adalah high-sewing atau high-dressmaking, yang mungkin paling dekat diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai proses membuat busana yang adiluhung. Dalam konteks mode, terutama di Perancis, istilah haute couture mengacu pada proses mendesain dan membuat busana khusus untuk seorang klien, dikerjakan oleh tangan dan diproduksi di Paris oleh tenagakerja setempat. Terminologi ini dilindungi secara hukum di Perancis dan diseleksi ketat penyematannya oleh komisi khusus Chambre Syndicale de la Couture Parisienne, yang pendiriannya di Paris pada tahun 1868 dimotori oleh Charles Frederick Worth di atas. Setelah disemat status pun, kelaikannya ditinjau secara berkala. Bisa dicek pada situs komisi rumah mode mana saja yang saat ini boleh mengkategorikan karyanya sebagai haute couture. Desainernya, baik yang bekerja untuk rumah mode pribadinya atau pihak lain, umum disebut couturier.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1930 komisi khusus ini mendirikan sekolah, L'ecole de la Chambre Syndicale de la Couture, dengan tujuan menyiapkan desainer muda berbakat untuk berkiprah pada rumah mode haute couture yang ada. Auguste Soesastro dari Indonesia termasuk dalam kelompok desainer muda yang pernah menimba ilmu di sekolah bergengsi ini.
Gbr 6Desain Auguste Soesastro. Pameran tunggal Architecture of Cloth di Dia.Lo.Gue Jakarta, September 2016.Dokumentasi: Lynda Ibrahim
Praktek bisnis haute couture belum banyak berubah sampai sekarang. Tiap klien ditangani oleh seorang vendeuse (wiraniaga) yang wajib paham selera klien dan tahu gaya-hidupnya untuk bisa merekomendasikan desain terbaik. Setelah klien menyetujui desain, prototipe dibuat dalam kain sederhana dan dicobakan ke klien sampai benar. Setelah itu gaun dibuat dalam kain yang sesungguhnya dan dicobakan lagi ke klien sampai pas sempurna sebelum sentuhan terakhir ditambahkan. Setelah semua rampung, klien akan mencoba kembali. Proses panjang sejak desain sampai minimal 3 kali pengepasan ini digambarkan dengan amat baik dalam pameran Balenciaga: Shaping Fashion di Museum Victoria & Albert di London antara 2017-2018, dan film Phantom Thread yang menghasilkan nominasi Pemeran Utama Pria pada Oscars 2019 untuk Daniel Day-Lewis. Di Indonesia, klien-klien setia Biyan Wanaatmadja pasti akrab dengan sistem serupa.
ADVERTISEMENT
Kiri: Gaun malam desain Cristobal Balenciaga dengan bordir karya Maison Lesage (1960).Pameran Balenciaga: Shaping Fashion di Museum Victoria & Albert, London (2017).Dokumentasi: Lynda IbrahimKanan: Gaun malam desain Cristobal Balenciaga milik Ny. Stavros Niarchos (1962).Pameran Balenciaga: Shaping Fashion di Museum Victoria & Albert, London (2017).Dokumentasi: Lynda Ibrahim
Nama-nama besar yang pernah atau masih terdaftar sebagai pelaku haute couture antara lain adalah Chanel, Dior, Schiaparelli dan Balenciaga. Bahkan beberapa didikan Christian Dior dan Cristobal Balenciaga seperti Yves Saint Laurent dan Hubert de Givenchy kemudian sukses menjadi couturier saat mendirikan rumah modenya sendiri. Tidak hanya terbatas pada talenta Eropa, komisi khusus Perancis juga saat ini menyertakan status anggota asing pada Versace dan Azzedine Alaia, serta anggota tamu untuk Guo Pei, Ulyana Sergeenko (desainer favorit Shekha Moza, ibu suri Qatar) dan Rahul Mishra (pemenang Woolmark Prize 2014 yang hadir di Jakarta Fashion Week pada tahun berikutnya).
Jubah pendek desain Gabrielle “Coco” Chanel (1927), koleksi The Museum at Fashion Institute of Technology (MFIT), New York.Sumber: Buku Fashion Designers A-Z (MFIT, 2016).
Gaun dalam koleksi “Seribu Satu Malam” desain Guo Pei (2010).Pameran Guo Pei: Chinese Art and Couture di Asian Civilisations Museum di Singapura (2019). Dokumentasi: Lynda Ibrahim
Gaun desain Rahul Mishra (pemenang Woolmark Prize Award 2014). Jakarta Fashion Week ke-8 (2015).Dokumentasi: Lynda Ibrahim.
Kaget karena Hermes dan Louis Vuitton, yang tas mahalnya begitu digilai, tidak ada dalam daftar resmi couturier Perancis? Alasannya karena tas dan sepatu dikategorikan aksesoris, bukan busana. Bila diurut sejarahnya, maka Hermes, Vuitton, dan juga Gucci, memulai bisnis dari perangkat kulit untuk travelling dan berkuda.
ADVERTISEMENT
Mungkin karena istilah haute couture sudah kokoh dipagari di Perancis, yang umum dipakai untuk busana yang disiapkan sesuai standar haute couture namun tidak masuk daftar komisi khusus Perancis adalah couture. Secara bahasa ini sebenarnya agak konyol karena dalam bahasa Perancis artinya sekadar jahitan, tanpa keistimewaan apa-apa, tapi kenyataannya ini lah konsensus di dunia mode saat ini. Bahasa Indonesia sendiri menawarkan terjemahan yang sangat elok untuk haute couture, yaitu adibusana.
Di luar kekikukan istilah ini, salah-paham lain subur bertumbuh di Indonesia. Haute couture atau couture sering diartikan sebagai gaun malam mewah berpayet di Indonesia, bahkan di kalangan penikmat mode dan siswa baru sekolah mode. Banyak desainer yang tidak menempuh jenjang pendidikan formal mode juga terseret dalam kesalahpahaman ini dan makin mengeruhkan pengertian publik. Bila mau ditilik benar, sebenarnya pembuatan kebaya pengantin adalah salahsatu praktek lama mode di Indonesia yang paling dekat dengan definisi asli adibusana.
ADVERTISEMENT
Secara umum, percepatan mobilitas dunia dalam beberapa dekade terakhir ini menunjukkan perpindahan kebutuhan dan selera ke pakaian urban yang ringkas dan cenderung informal. Terus menaiknya standar upah pekerja juga membuat adibusana kian tak terjangkau khalayak ramai. Peserta pagelaran Paris Couture Week sendiri menurun tiap tahun. Pada saat yang sama, sebagaimana diargumentasikan dengan baik oleh Radha Chadha dan Paul Husband dalam buku bisnis The Cult of the Luxury Brand, melesatnya pertumbuhan ekonomi regional dan kentalnya status sosial dalam mayoritas kebudayaan di Asia menjadikan benua ini sebagai pasar paling berpotensi untuk adibusana saat ini. Dalam budaya pop terkini, observasi serupa dikristalkan sebagai stereotip melalui buku dan film Crazy Rich Asians.
Terlepas dari dinamika bisnis dan naik-turunnya jaman, atau bagaimana bisnis mode dunia nanti setelah Covid-19 mereda, terpatri nyata jejak Marie Antoinette dan Charles Frederick Worth dalam menanam cikal-bakal industri mode. Seorang perempuan asli Austria dan seorang pria asli Inggris Raya membuka jalan agar Perancis menjadi kiblat mode dunia-- terlestarikan sampai sekarang berkat kebijakan pemerintah Perancis, nyaris tigaperempat abad setelah usaha sang pria berganti kepemilikan dan 231 tahun setelah revolusi yang memenggal kepala si perempuan di negara baru mereka.
ADVERTISEMENT
Happy Bastille Day! Vive le France!