Penenun di Indonesia: Terhambat Bisnisnya, Terbelit Nasibnya karena Corona

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
Konten dari Pengguna
29 Mei 2020 9:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penyebaran global virus SARS CoV-2 tidak saja menelan lebih dari 350.000 nyawa sedunia per akhir Mei, namun juga telah menggulung ribuan usaha besertanya. Makin jauh jenis usaha dari kebutuhan primer seperti makanan dan alat kesehatan, makin lah ditinggalkan. Indonesia, yang perekonomiannya banyak digerakkan sektor informal dan pekerja lepas, sejak Maret diwarnai kisah pilu bertumbangannya usaha kecil dan menengah (UKM) terutama di sektor kreatif.
ADVERTISEMENT
Bisnis tenun tradisional adalah contoh korban sempurna. Umumnya diproduksi pekerja informal, dijual melalui UKM, dan dianggap kebutuhan sekunder atau bahkan tersier. Memang beberapa tahun terakhir ini wastra Nusantara sempat melambung di antara kelas konsumen baru yang mulai menghargai warisan budaya, namun belanja tenun pupus seiring pandemi.
Lamerenan, Sekar Kawung dan Toraja Melo adalah 3 UKM tenun yang sedang berjuang mempertahankan usaha.
Lemerenan didirikan oleh Hiyashinta Klise, ibu muda yang dibesarkan di Jakarta, setelah jatuh cinta pada kampung halaman ayahnya di Kepulauan Tanimbar, Maluku, yang baru ia kunjungi setelah dewasa. Membagikan kisahnya dalam Simposium Tenun Ikat Dunia di Jakarta tahun lalu, Hiyashinta merasa terpanggil untuk mempromosikan kekayaan wastra Tanimbar yang belum terlalu dikenal di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penenun tradisional Kepulauan Tanimbar, Maluku. Dokumentasi: Yayasan Lamerenan.
Tenun ikat Lamerenan. Dokumentasi: Yayasan Lamerenan.
Ada sekitar 10 penenun yang bekerja-sama dengan Lamerenan dalam skema bagi-hasil atau komisi penjualan, tergantung dari Lamerenan menyediakan benang tenun atau tidak. Pesanan untuk tahun ini sebenarnya sudah mulai dikerjakan saat pandemi merebak.
“Kami hanya sempat ikut sebuah pameran kecil di bulan Februari, itu pun lakunya tidak banyak,” tutur Hiyashinta. “Tadinya berharap pada acara besar di bulan April, yang lalu dibatalkan. Karena semua tutup sekarang, penenun sulit untuk kirim tenunan ke Jakarta atau menjual sendiri di Tanimbar.”
Mengenai volume penurunan penjualan, Hiyashinta agak berhati-hati menjawab, “Mungkin baru bisa dibandingkan di akhir tahun nanti.” Ia lalu menambahkan, “Namun karena pameran ditiadakan, sedangkan pameran amat membantu kami, sudah terlihat penjualan akan menurun.”
ADVERTISEMENT
Chandra Kirana Prijosusilo dari Sekar Kawung tidak berbasa-basi. "Tak ada penjualan tenun," ia menghela nafas dalam.
Didirikan awalnya untuk memberikan pendampingan dan pengembangan kapasitas pada komunitas pedesaan dalam menuju kehidupan ekonomi berkesinambungan (sustainable economic living), Sekar Kawung kemudian membuka unit bisnis untuk menunjukkan pada komunitas binaan bahwa ketrampilan baru mereka memiliki nilai jual. Saat ini Sekar Kawung membina sekitar 100 penenun di Sumba, Lombok dan Klaten, yang kisah suksesnya dibagikan melalui ajang seperti Simposium Tenun Ikat Dunia dan karyanya ditawarkan dalam berbagai bazaar terkurasi seperti The Local Market.
Tadinya, Sekar Kawung punya rencana besar untuk 2020. Bekerjasama dengan peneliti dan seniman tekstil Putri Savu, Sekar Kawung meluncurkan sebuah koleksi pakaian jadi berbahankan tenun dan batik eco-print.
Busana siap pakai Sekar Kawung x Putri Savu.Dokumentasi: Yayasan Sekar Kawung
“Sambutan konsumen baik, namun semua terhenti oleh pandemi. Mitra kami pun harus kembali ke kota asalnya,” kisah Chandra. Berita buruk lain menanti. “Ada bank asing yang tadinya sudah setuju mendanai program pembinaan dengan penenun Tuban, tapi sekarang ditunda.”
ADVERTISEMENT
Bahkan Toraja Melo, UKM berpakem social enterprise yang telah cukup dikenal, tidak kebal dari dampak Corona. “Bisnis kami turun paling tidak 50%,” Dinny Jusuf mengakui.
Bersuamikan pria Toraja, Dinny yang sempat berkarier di perbankan sebelum menerjuni aktivisme ini awalnya terketuk memajukan tenun Toraja saat melihat kalangan mudanya lebih suka merantau sebagai buruh migran ketimbang jadi penenun. Saat itu banyak motif antik dan teknik tenun rumit yang mulai mati dibawa generasi lansia. Bersama adiknya, Nina Jusuf, sepuluh tahun sudah Dinny mengembangkan Toraja Melo— dimulai dari aksesoris sebelum merambah ke kain tenun dan pakaian jadi. Keunikan tenun Toraja dan kegigihan Jusuf Bersaudari ini cepat merebut hati pecinta wastra Nusantara. Saat masih menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari E. Pangestu terlihat sering mengenakan setelan kebaya dan tenun ungu Toraja Melo dalam acara-acara resmi.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan Toraja Melo telah membuka pintu bagi Dinny dan Nina Jusuf untuk membina penenun di Mamasa, Sulawesi Barat, sebagaimana Lembata dan Adonara di Nusa Tenggara Timur. Sekitar 1000-an penenun di beberapa provinsi bergantung pada keberlangsungan usaha Toraja Melo.
Proses penenunan tradisional di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Dokumentasi: Toraja Melo.
Wanita penenun tradisional di Toraja, Sulawesi Selatan. Dokumentasi: Toraja Melo
Melewati masa karantina wilayah di Toraja, Dinny bahu-membahu dengan lembaga swadaya masyarakat seperti Oxfam dan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) dalam meluncurkan sebuah koleksi terbatas. Dalam koleksi ini Toraja Melo hanya memungut marjin senilai biaya operasi, lalu hasil tiap helai yang terjual langsung dibayarkan ke penenun. “Dan karena banyak jenis sembako yang masih harus didatangkan dari Jawa, Toraja Melo juga berusaha membelikannya untuk para penenun,” tambah Dinny.
UKM tenun lainnya juga bertarung dalam jalannya masing-masing. Lamerenan berjualan daring selain mengandalkan promosi para pelanggan setia. Sekar Kawung gesit memproduksi masker tenun cantik, bahkan sebelum Pemerintah mewajibkan pemakaian masker kain di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Masker tenun Sekar Kawung.Dokumentasi: Yayasan Sekar Kawung.
Tenun nan Elok, yang dikenal dengan tas trendi berbahan tenun, berinovasi cerdas dengan mengeluarkan pengikat hand sanitizer yang praktis digantungkan di tangan— sebuah produk yang setelah pandemi berlalu pun akan terpakai.
Hand sanitizer holder Tenun Nan Elok.Dokumentasi: Tenun Nan Elok.
Namun, semua jerih-payah ini tidak menutupi anjloknya penjualan dalam bulan-bulan menjelang Idul Fitri yang seharusnya menjadi masa paling menguntungkan untuk bisnis ini. Tidak seperti misalnya ojek aplikasi yang terlihat di jalanan dan mudah memobilisasi diri untuk menggalang bantuan, penenun umumnya adalah wanita-wanita rumahan yang menenun di antara pekerjaan domestik lainnya, terpencar di ratusan desa di berbagai penjuru Indonesia.
Menyadari hal ini, Sekar Kawung kembali ke akarnya; bersama Komunitas EMPU membagikan benih tanam dan wacana tentang ketahanan pangan. “Kami ingin memastikan bahwa walau tidak dapat uang dari menenun, mereka masih bisa makan. Semoga pandemi ini juga menyadarkan publik bahwa ketahanan pangan penting bagi semua rumah tangga,” pungkas Chandra.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Pusat dan daerah memang telah menggelontorkan berbagai bantuan sosial, namun birokrasi berbelit termasuk ketidakmutakhiran data sering mengakibatkan penyebaran bantuan tidak merata. Bulan-bulan berat bagi penenun tradisional masih jauh dari usai. Betapa ironis, bahwa para penghasil kebutuhan sekunder atau tersier seperti penenun sekarang justru sulit memenuhi kebutuhan primer mereka. Nasibnya dibelit pandemi, keberlangsungan hidupnya disanggah jejaring maya yang lebih rentan dari jalinan indah yang mereka tenunkan.