Konten dari Pengguna

Tenun yang 'Mengikat' Sejarah dan Budaya Dunia

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
29 Agustus 2019 11:37 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tenun. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tenun. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Sebelum revolusi industri, manusia terkondisikan mandiri dalam menghasilkan sandang, pangan, dan papan. Dulu keterampilan memintal benang, menenun kain, dan menjahit pakaian, luas dimiliki pelbagai anggota masyarakat; menjadikan tekstil, termasuk tenun ikat, sebagai buah tangan dari budaya dan zaman.
ADVERTISEMENT
Tenun ikat umum diidentifikasi dari proses pengikatan benang dalam pola tertentu sebelum diwarnai untuk menghasilkan motif tenunan yang diinginkan kemudian. Dijumpai dari Afrika sampai Amerika Latin, tenun ikat tradisional juga tersebar nyaris merata di Indonesia selain Jawa dan Madura. Walau tak ada rekam sejarah yang menunjukkan siapa penemu teknik tenun ikat ratusan tahun lalu, ditengarai perusahaan dagang Belanda yang mempopulerkan sebutan "ikat" saat menjual tekstil tradisional ini ke pasar Eropa pada era kolonialisme dulu.
Diprakarsai oleh World Craft Council Asia Pacific Region (WCCAPR) dan didukung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) beserta komunitas wastra Nusantara, World Ikat Textiles Symposium (WITS) 2019 diselenggarakan bulan ini di Indonesia. Selain seminar dua hari dengan berbagai isu bisnis dan sosial yang menggelitik, WITS juga menggelar pameran mancanegara bertajuk "Ikat: Ties That Bind" di Museum Tekstil Jakarta berdasar kurasi tim WCCAPR. Pembukaan berlangsung meriah dengan kehadiran seniman ikat dan kolektor wastra mancanegara.
Tenun Ikat Sumba. Foto: Dok: Lynda Ibrahim
Mulai dari motif kuda dari Sumba, kain pemakaman dari Timor, corak geometris dari Donggala dan Pantai Gading, poncho, dan patchwork dari Amerika Latin, syal tebal berjumbai dari Prancis, sampai kimono bermotif bundar bak polkadot dari Jepang tertata di ruang pameran utama Museum Tekstil. Geringsing dari Bali, kain yang secara tradisi dipercaya sebagai penangkal penyakit dan secara teknis adalah satu-satunya tenun tradisional Indonesia dengan teknik ikat ganda, juga bisa diamati. Benang dan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) pun dipamerkan.
ADVERTISEMENT
Selain tenunnya sama-sama menjadi pengantar narasi dan aspirasi, penenunnya dari berbagai bangsa ternyata juga menghadapi persoalan serupa, seperti penurunan filosofi dan kemampuan menenun kepada generasi berikutnya.
Tenun ATBM adalah warisan dari jaman yang lebih rileks dan masyarakat yang relatif terbatasi geografi, beda jauh dengan kehidupan masa kini yang dipacu mobilitas dan konektivitas tinggi. Walau penenun Ice Tede Dara menceritakan tradisi menenun secara matrilineal yang masih kuat di Savu dan di Sikka, anak perempuan masih diwajibkan menenun kain untuk ulang tahun ke-50 ibunya, jauh lebih banyak suku bangsa Indonesia yang tinggal memakai tenun saat upacara adat.
Akibatnya, generasi muda tidak melihat kehidupan sebagai penenun memadai untuk masa mendatang. Perusahaan seperti Torajamelo dan Palantaloom relatif berhasil menumbuhkan kembali tradisi menenun di Toraja dan Bukittinggi dengan kreasi dan inovasi, namun inisiatif sejenis belum menyentuh seluruh komunitas penenun Nusantara, di sini jelas ada masalah supply.
ADVERTISEMENT
Poncho Tenun Ikat Argentina. Foto: Dok: Lynda Ibrahim
Tenun Ikat Pantai Gading. Foto: Dok: Lynda Ibrahim
Tenun Ikat Palembang. Foto: Dok: Lynda Ibrahim
Sisi demand pun menyimpan tantangannya tersendiri. Saat ini pasar cenderung menuntut pakaian atau aksesoris yang mudah dirawat, konsisten kualitasnya, dan serasi untuk kehidupan urban yang dinamis. Sebagai produk kriya tangan, tenun ikat bisa bervariasi motif dan warnanya dari satu helai ke helai lainnya, membuat tenun tidak ideal sebagai bahan baku untuk produksi massal. Ada juga persoalan tentang motif tradisional yang melambangkan arti tertentu, kadang doa, dan “kesahihan” motif-motif baru yang tradisional.
Meechai Taesujariya, penenun dan desainer dari Thailand, sengaja menciptakan motif-motif kontemporer untuk kain dan busana dari kain ikat, tanpa melupakan arti motif-motif tradisional. Seniman ikat India, Gunjan Jain, berargumen bahwa lebih baik ikat dibebaskan bermotif baru demi menarik generasi muda ketimbang dikekang dengan corak usang yang akhirnya cuma menjadi relik sejarah di museum.
ADVERTISEMENT
Namun, sudah siapkah para penenun tradisional Indonesia menyikapi tuntutan zaman tentang gaya, saat, contohnya, pada komunitas ikat-songket limar di Sumatera Selatan perdebatan masih semendasar apakah keterampilan menenun boleh diajarkan ke seseorang yang bukan anggota keluarga?
Tenun Ikat Kepulauan Tanimbar. Foto: Dok: Lynda Ibrahim
Berbagai persoalan memang menghadang keberlangsungan produk kriya tradisional seperti tenun ikat. Namun, bukan berarti sudah pupus semua harapan. Hiyashinta Klise, anak kelahiran Jakarta yang jatuh-hati pada kekayaan Kepulauan Tanimbar saat menjenguk kampung ayahnya, sekarang aktif menggali dan mempromosikan tenun Tanimbar bersama Lamerenan Foundation. Terlepas banyak masalah yang menerpa yayasannya, Maria Yovita Bastian berteguh membina belasan kelompok penenun wanita di Timor Barat agar karya-karya mereka dibeli karena kualitas dan bukan belas-kasihan.
Dari bincang pagi di hari terakhir WITS, diketahui pria Sumba mulai membantu wanita dalam usaha tenun ikat tradisional setelah menyadari potensi pendapatannya, sebuah terobosan di masyarakat yang begitu patriarki seperti Sumba. Well, bila menilik kisah penenun Arturo Estrada, tenun ikat rebozo di Meksiko memang umum dikerjakan oleh pria.
Penenun Pria, Arturo Estrada, Meksiko. Foto: Dok: Lynda Ibrahim
ADVERTISEMENT
Pameran "Ties That Bind" berlangsung sampai dengan 5 September 2019 di Museum Tekstil Jakarta.