Konten dari Pengguna

Tukar Bajumu, Kurangi Limbahmu

Lynda Ibrahim
A Jakarta-based business consultant who loves telling a tale.
19 Agustus 2019 16:54 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lynda Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi memilih baju. Foto: Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi memilih baju. Foto: Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir ini isu penyelamatan lingkungan sering digaungkan seiring membesarnya dampak pencemaran yang makin terasa. Industri mode secara umum pun mendapat kecaman, karena menggerus sumber daya alam selama proses produksi, dan menciptakan limbah pakaian tak terpakai di akhir mata rantainya.
ADVERTISEMENT
Segmen fast-fashion yang dipelopori dan dikuasai oleh merek-merek global seperti H&M, Zara, Topshop, dan Forever 21, paling dikecam karena mengeluarkan koleksi baru tiap 3-6 minggu, memendekkan siklus mode dari 6 bulan, yang artinya makin cepat menggerus alam dan meninggalkan limbah pakaian bekas di penampungan sampah.
Berbagai langkah perbaikan mulai dilakukan pelaku industri mode. Di hulu ada produsen seperti APR yang menawarkan serat viscose rayon yang lebih ramah lingkungan, di hilir ada label Sejauh Mata Memandang yang mulai menggunakan benang rayon ramah lingkungan bermerek-dagang Tencel, untuk koleksi Hari Bumi 2019. Pada Jakarta Fashion Week 2018 lalu, beberapa desainer mulai menerapkan azas keberlangsungan alam dalam desain, seperti Toton Januar yang mengolah denim yang sudah dipakai.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan pakaian yang sudah di tangan konsumen? Melalui buku To Die For dan film dokumenter The True Cost Jurnalis Lucy Siegle, menggambarkan bagaimana pakaian-pakaian yang hanya dipakai sejenak sebelum dibuang itu menggunung di penampungan sampah.
Dalam buku Overdressed, penulis Elizabeth Cline mengilustrasikan bagaimana jaringan luas toko preloved, badan amal, sampai pengolah kain perca di Amerika Serikat pun masih gagal mengolah pakaian-pakaian bekas, sehingga sebagian tetap berakhir menjadi limbah. Beberapa inisiatif untuk memperlama pemakaian baju pun digagas, seperti clothing swap (saling tukar baju).
Clothing swap mulai marak di Amerika Serikat pada awal dekade ini. Umumnya dilakukan secara informal antar teman, untuk saling menukar pakaian masing-masing yang sudah tidak diminati. Media daring Jezebel makin mempopulerkan clothing swap, setelah menggelar tukar baju massal di New York pada tahun 2011 yang lalu, menjadi acara tahunan. Setelah media sosial lahir, komunitas tukar baju bisa dicari di beberapa platform seperti Meetup.
ADVERTISEMENT
Clothing swap sebagai bentuk kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Foto: Dok: Lynda Ibrahim.
Dengan tujuan utama mengurangi limbah lingkungan, Zero Waste Indonesia menggagas acara Tukar Baju di Indonesia di awal tahun ini. Dimulai dengan sebuah acara kecil di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, awal Mei lalu, Tukar Baju dengan cepat menarik peminat dan mulai merambah ke lokasi yang lebih besar seperti Grand Indonesia dan lebih jauh seperti Yogyakarta. Dimotori Amanda Zahra, tim Zero Waste Indonesia dan sekelompok relawan, berdedikasi tinggi sukses menunaikan acara terbesarnya sejauh ini pada 14-18 Agustus lalu di salah satu sudut strategis Grand Indonesia.
Baju layak pakai yang bisa ditukarkan di acara Tukar Baju oleh Zero Waste Indonesia. Foto: Dok: Lynda Ibrahim.
Baju yang sudah dikurasi di acara Tukar Baju. Foto: Dok: Lynda Ibrahim.
Bagaimana caranya? Mudah. Setelah mendaftar, busana layak pakai (tanpa noda, koyak, atau bau) yang dibawa peserta akan dikurasi. Menerima pakaian pria dan wanita dewasa, Tukar Baju tidak menerima pakaian anak-anak, underwear, baju tidur, dan pakaian olahraga. Jumlah pakaian yang lolos kurasi menentukan jumlah pakaian yang peserta bisa ambil kemudian dari rak. Sejauh ini Tukar Baju membatasi maksimal 5 pakaian per peserta yang lolos kurasi, yang berarti maksimal 5 helai juga yang tiap peserta bisa ambil.
Antrian para pengunjung yang antusias mengikuti acara Tukar Baju di Grand Indonesia. Foto: Dok: Lynda Ibrahim.
Seberapa sukses acara Tukar Baju di Grand Indonesia ini? Mari melihat statistika yang dikumpulkan panitia. Dari hampir 300 peserta dan 500 helai pakaian yang ditukarkan di hari pertama, Tukar Baju mencatat 1.300-an peserta dan hampir 3.000 busana yang ditukarkan di hari terakhir. Artinya, dalam empat hari jumlah peserta berlipat empat dan besaran penukarannya pun meningkat. Mayoritas peserta terlihat berusia 20-an, sama dengan mayoritas relawannya yang kukuh menjaga kelancaran acara saat peserta membludak mengular.
ADVERTISEMENT
Banyak faktor yang mendukung. Uniknya acara ini untuk Jakarta/Indonesia, lokasi yang strategis, durasi penyelenggaraan singkat, dan ketiadaan biaya baru (pakaian yang ditukarkan toh sudah dibeli dan menjadi sunk cost). Apakah semua peserta ikut karena kepedulian lingkungan? Agak naif untuk menyimpulkan demikian, karena sangat mungkin hal tersebut menjadi faktor terakhir, dan absennya biaya barulah yang menjadi pemicu utama.
Sah kah itu? Sah saja, karena keputusan konsumsi adalah salah satu keputusan paling privat, dan banyak kesadaran sosial yang harus dibangun dari insentif ekonomi dahulu. Yang terpenting, gerakan riil pengusung pesan sosial sudah diluncurkan dan berhasil menarik partisipasi publik, berikutnya akan lebih mudah untuk mengedukasi. Di Amerika Serikat pun clothing swap awalnya populer sebagai bentuk thrifting (belanja berhemat), sebelum dilakukan demi pelestarian lingkungan.
ADVERTISEMENT
Tukar Baju berikutnya akan digelar di Bandung pada 24 Agustus 2019, dan informasi lebih lanjut bisa didapatkan dari akun Instagram @tukarbaju_. Baju lama rasa baru sambil mengurangi limbahmu, siapa yang tak mau?
*Penulis terlibat sebagai relawan dalam acara ini