Malu Hati Pada Tasini

Lyra Puspa
President Vanaya Coaching Institute. Kandidat PhD Applied Neuroscience in Psychology Canterbury University, UK.
Konten dari Pengguna
11 Juni 2017 12:40 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lyra Puspa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Roger, inovator Tasini (Foto: Making Oceans Plastic Free)
Apa jadinya jika idealisme, sains, penelitian, ekonomi, lingkungan, kelautan, kreativitas, dan kewirausahaan berpadu menjadi satu? Sebuah karya nyata inovasi, bernama: TASINI.
ADVERTISEMENT
Indonesia memproduksi 10 juta sampah tas plastik setiap hari. Sungai dan laut kita sudah begitu tercemarnya dengan sampah plastik, sehingga Indonesia membukukan "prestasi" sebagai negara urutan ke-2 di dunia yang lautnya mengandung polusi sampah plastik terparah.
Apakah kita tahu fakta ini? Belum tentu. Peduli pun mungkin tidak.
Tapi, ada yang masih peduli laut Indonesia. Dan sayangnya bukan warga dan bangsa kita. Roger Spranz namanya. Mahasiswa PhD di Leibniz Center for Tropical Marine Research, adalah pendiri organisasi Marine Ocean Plastic Free (MOPF). Pria berkebangsaan Jerman ini, bersama tiga orang koleganya (satu orang Jerman dan dua orang Indonesia) menciptakan inovasi Tasini.
Tasini lahir 8 Juni 2017 lalu sebagai solusi atas polusi sampah plastik. Bentuknya adalah tas kain yang dapat dilipat berbentuk gantungan kunci imut dan lucu berwujud aneka fauna samudera. Roger dan tim MOPF menyebut inovasi Tasini ini sebagai: "The Key to Break the Plastic Bag Habit".
ADVERTISEMENT
Melihat video Tasini banyak yang kagum dan terpana. Tapi saya justru malu luar biasa.
Malu pertama, Roger sang inovator bukan bangsa dan warga Indonesia. Polusi sampah adalah masalah bangsa kita, tapi justru orang asing yang lebih peduli pada masalah kita. Kita sibuk berkoar-koar mengeluh tentang banjir dan kebersihan, tetapi kita sendiri yang justru paling rajin membuang sampah plastik setiap hari. Alhamdulillah masih ada dr. Gamal Albinsaid yang peduli menciptakan inovasi Klinik Sampah, menuntaskan masalah kesehatan sekaligus sampah. Tapi mayoritas kita? Mungkin tidak terlalu berpikir ke arah sana. Lalu, antara kita dan Roger, siapa yang lebih Pancasila sebenarnya?
Malu kedua, sebagai inovasi, ketajamannya luar biasa. Tas belanja reusable sudah banyak tersedia, tetapi Tasini berbeda. Lebih dari sekadar solusi biasa, Tasini langsung masuk ke akarnya, yakni bahwa kita belum begitu peduli pada lingkungan sehingga sering lupa membawa tas reusable yang ada. Menjadi luar biasa karena Tasini dilandasi riset etnografis dengan pemahaman mendalam terhadap pola kerja otak manusia.
ADVERTISEMENT
Tasini mengubah kebiasaan dengan masuk pada sebuah kebiasaan lain yang telah ada, memecah Habit Loop seperti diangkat Charles Duhigg dalam buku "The Power of Habit". Kebiasaan baru membawa tas belanja sendiri dicoba diciptakan, dengan menempelkannya pada kebiasaan kaum wanita menyukai aksesoris gantungan kunci yang lucu-lucu. Menyasar pada wanita dari tampilan desainnya, karena 75% pembelanja utama Indonesia adalah ibu rumah tangga. Ilmu perilaku, neurosains sosial, ilmu lingkungan, dan psikologi pemasaran pun menyatu. Hei Roger, dasar literatur apa saja yang Anda jadikan rujukan sebenarnya?
Malu ketiga, Tasini membuktikan bahwa hasil sintesa pemikiran seorang ilmuwan dapat menjadi sebuah bakti untuk kemaslahatan masyarakat. Memang begitulah seharusnya ilmu bermanfaat. Ada solusi yang langsung bisa dirasakan. Ada makna di balik sekedar gelar doktor dan jurnal ilmiah. Ilmuwan tidak hanya bersembunyi di menara gading, sibuk berbangga menjadi yang paling ahli di bidangnya. Lalu lupa, bahwa jutaan masyarakat di luar sana membutuhkan sumbangsih karya nyata.
ADVERTISEMENT
Akhirnya malu keempat, kecerdasan inovasi Tasini justru karena berbentuk produk, lengkap dengan potensi brand yang luar biasa. Bukan sebuah kampanye lingkungan biasa, potensi komersialnya memungkinkan Tasini menjadi Body Shop berikutnya. Benih socialpreneurship sangat nyata, karena jika masif kelak bisa menghidupi ribuan pebisnis mikro dan tenaga kerja. Apalagi sudah dikawinkan dengan metode crowdfunding di dunia maya. Tinggal siapkah Roger dan tim MOPF mengemas Tasini menjadi brand global terkemuka?
Di tengah miris meninggalnya para artis (semoga damai menyertai mereka), atau berita tragis korban teroris, atau heboh background Facebook aneka rupa yang happening di mana-mana, Tasini mungkin hanya sebuah peristiwa yang lewat begitu saja. Apalagi isu lingkungan mungkin kurang seksi untuk menjadi buah bibir di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kalau polusi dan lingkungan belum terlalu menarik hati kita, mari bicara ekonomi, startup, dan kewirausahaan. Bangsa ini bangsa pembelanja (lengkap dengan sampah plastiknya) dan bangsa pedagang. Akui saja. Belum banyak yang betul-betul berwirusaha. Lengkap dengan inovasi dan brand asli Indonesia. Apalagi didukung riset ilmiah di belakangnya. Tasini saja bisa, mengapa tidak mungkin hadir inovasi lainnya?
Tasini bukan saja menampar kalangan ilmiah, dengan hadir sebagai solusi masalah sekaligus produk massal komersial. Tasini juga mencubit keras kalangan wirausaha dan UKM kita, yang banyak belum bertransformasi dari trader menjadi enterpreneur. Dan Tasini juga seharusnya membuat kita semua warga Indonesia berkaca, betapa dahsyat nafsu belanja kita hingga Tasini perlu ada.
Jadi, sekali lagi. Antara Roger dan kita, siapa yang sesungguhnya lebih Pancasila?
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah President Coach Vanaya Coaching Institute dan kandidat PhD Applied Neuroscience in Psychology pada Canterbury University, UK.