Konten dari Pengguna

Kebenaran Tidak Dapat Diukur oleh Jumlah Suara Terbanyak

Lyta Virna Tarigan
Pelajar, berkuliah di universitas Pamulang
29 Desember 2024 14:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lyta Virna Tarigan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto: Zyanya Citlalli On Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
foto: Zyanya Citlalli On Unsplash
ADVERTISEMENT
Di zaman informasi yang begitu cepat berkembang, sering kali kita merasa bahwa kebenaran bisa diukur dari seberapa banyak orang yang setuju dengan suatu hal. Pemahaman ini banyak muncul, terutama dalam konteks demokrasi, media sosial, dan perdebatan publik. Namun, apakah kebenaran benar-benar bisa ditentukan oleh jumlah suara terbanyak? Jawabannya tentu tidak. Kebenaran bukanlah sesuatu yang dapat dihitung dengan angka atau dipengaruhi oleh opini mayoritas, melainkan berdasarkan bukti yang kuat, logika yang jelas, dan nilai-nilai moral yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Demokrasi dan Kebenaran: Tidak Selalu Sejalan
Demokrasi memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk berpendapat dan memilih. Namun, kebebasan ini tidak berarti bahwa kebenaran selalu sesuai dengan apa yang dianggap benar oleh mayoritas. Sejarah menunjukkan bahwa banyak keputusan yang populer di suatu masa ternyata terbukti keliru dan bahkan berbahaya. Contoh paling jelas adalah praktik perbudakan yang pernah diterima di banyak negara. Pada waktu itu, mayoritas masyarakat mungkin setuju dengan keberadaannya, tetapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa perbudakan adalah suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Dalam konteks ini, demokrasi memberi ruang bagi berbagai pandangan untuk muncul, tetapi tidak menjamin bahwa pandangan mayoritas selalu mencerminkan kebenaran. Banyak isu memerlukan pemahaman yang lebih mendalam, analisis yang lebih kritis, serta bukti-bukti yang valid, yang tidak selalu tercermin dalam suara terbanyak.
ADVERTISEMENT
Kebenaran Tidak Bergantung pada Konsensus
Kebenaran sering kali tidak dapat diukur dengan seberapa banyak orang yang setuju dengan suatu pandangan. Banyak hal yang benar justru sulit diterima oleh banyak orang pada awalnya. Dalam dunia ilmu pengetahuan, misalnya, banyak penemuan besar yang awalnya ditolak oleh mayoritas ilmuwan, hanya untuk akhirnya diterima sebagai kebenaran ilmiah setelah melalui pengujian dan bukti yang lebih banyak.
Salah satu contoh klasik adalah teori heliosentris yang diajukan oleh Copernicus pada abad ke-16. Teori ini bertentangan dengan pandangan geosentris yang berlaku pada waktu itu, di mana dianggap bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Walaupun teori heliosentris awalnya ditentang oleh banyak orang, akhirnya teori tersebut diterima setelah melalui banyak bukti ilmiah yang mendukungnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebenaran sering kali berada di luar apa yang diyakini oleh mayoritas. Oleh karena itu, kita perlu mendekati kebenaran dengan cara yang lebih rasional dan berbasis bukti, bukan hanya berdasarkan popularitas atau pendapat banyak orang.
Kebenaran dalam Perspektif Moral dan Etika
Selain dalam konteks ilmu pengetahuan, kebenaran juga sering kali ditemukan dalam ranah etika dan moral, yang kadang-kadang bertentangan dengan pandangan mayoritas. Di banyak situasi, kebenaran yang bersifat moral dan etis tidak selalu disetujui oleh mayoritas masyarakat pada waktu tertentu. Sebagai contoh, gerakan hak sipil yang menuntut kesetaraan rasial di Amerika Serikat awalnya ditentang oleh banyak orang. Namun, seiring waktu, gerakan ini terbukti membawa dampak positif yang sangat besar, bukan hanya bagi warga kulit hitam, tetapi bagi seluruh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kebenaran dalam hal ini lebih berfokus pada prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia yang tidak selalu sesuai dengan opini mayoritas pada saat itu. Sejarah sering kali mengajarkan kita bahwa banyak perubahan moral yang besar justru dimulai dari sebuah keyakinan yang bertentangan dengan apa yang diyakini banyak orang, namun terbukti benar setelah proses panjang dan perjuangan.
Pengaruh Media Sosial terhadap Persepsi Kebenaran
Di era digital saat ini, media sosial telah mempengaruhi cara kita memandang kebenaran. Di platform-platform ini, sering kali apa yang dianggap benar adalah apa yang paling banyak dibicarakan atau paling banyak disukai. Algoritma media sosial cenderung mempromosikan konten yang mendapat perhatian terbanyak, yang sering kali tidak berhubungan dengan kebenaran, tetapi dengan popularitas atau viralitas.
ADVERTISEMENT
Fenomena echo chambers, di mana kita hanya mendengar opini yang sejalan dengan pandangan kita sendiri, semakin memperburuk situasi ini. Dalam dunia seperti ini, banyak orang merasa bahwa kebenaran itu hanya apa yang dibicarakan oleh banyak orang atau yang mendapatkan banyak "likes" dan komentar. Namun, ini tidak selalu mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dalam mengonsumsi informasi di media sosial dan selalu berusaha memverifikasi kebenaran dengan sumber yang lebih tepercaya. Kebenaran tidak bisa diukur hanya dengan seberapa banyak orang yang setuju atau berkomentar, tetapi dengan seberapa valid dan kuat dasar argumen serta bukti yang ada di baliknya.