Konten dari Pengguna

Politik Identitas dan Pelanggaran HAM terhadap Etnis Rohingya di Myanmar

M Agung
An undergraduate student majoring international relations at Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Interested in diplomacy and foreign policy.
9 Juni 2022 17:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Agung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tindakan dikriminatif yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar terhadap Etnis Rohingya telah menjadi pusat perhatian dunia internasional. Krisis kemanusiaan yang dialami oleh Etnis Rohingya di Myanmar merupakan bukti dari tindak pelanggaran serta kekerasan terhadap Hak Asasi Manusia yang disebabkan oleh perbedaan atas politik identitas. Secara fundamental, HAM merupakan hak dasar pemberian Tuhan yang melekat pada setiap manusia sejak dia dilahirkan yang harus dihormati dan dijaga oleh sesama manusia tanpa mengenal latar belakang ras, suku, agama, warna kulit, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Tindakan diskriminatif terhadap Etnis Rohingya merupakan bukti nyata dari kekerasan terhadap kemanusiaan di mana hak mereka sebagai manusia telah hilang dan direbut. Mereka kehilangan hak-hak dasar mereka sebagai seorang manusia, seperti kehilangan tempat tinggal, pendidikan, kesejahteraan, kebebasan beragama, hak persamaan kedudukan di mata hukum, dan yang paling parah adalah mereka kehilangan hak atas hidup dan penghidupan mereka. Krisis kemanusiaan di Myanmar ini merupakan satu dari banyak contoh kasus lainnya yang menggambarkan tindakan represif aparat bersenjata yakni militer terhadap penduduk sipil yang didukung dengan tajamnya politik identitas antara penduduk mayoritas dengan penduduk minoritas.
Etnis Rohingya merupakan kelompok penduduk minoritas yang bermukim di Provinsi Arakan tepatnya di wilayah Barat Laut Myanmar. Dikatakan sebagai etnis minoritas karena kelompok etnis ini memiliki jumlah penduduk yang relatif sedikit serta sebagian besar penduduknya memeluk Agama Islam yang juga merupakan agama minoritas di Myanmar.
ADVERTISEMENT
Meskipun merupakan kelompok minoritas, ternyata mereka memiliki andil dan peran yang cukup besar terhadap Pemerintahan Jenderal Aung San pada masa-masa awal kemerdekaan. Namun semuanya berubah ketika pada tahun 1962 terjadi kudeta yang dilakukan oleh Ne Win untuk merebut posisi kepemimpinan dan kekuasaan di Myanmar.
Sejak saat itulah rezim otoriter yang kuat mulai berkuasa di Myanmar. Krisis kemanusiaan yang dialami oleh Etnis Rohingya tidak hanya disebabkan oleh sentimen etnis atau agama saja, namun lebih jauh dari itu, terdapat kepentingan politik dan ekonomi para penguasa di Pemerintahan Myanmar saat itu. Etnis Rohingnya mendapatkan perlakukan yang berbeda dibandingkan dengan etnis lain yang bermukim di Myanmar. Pemerintah Myanmar tidak mengakui status kewarganegaraan Etnis Rohingya, hal ini membuat mereka harus menghadapi kekejaman yang tidak manusiawi (Amritsjar, 2014). Hal ini didasari pada anggapan yang meluas di masyarakat Myanmar bahwasanya Etnis Rohingya merupakan imigran gelap yang datang dari Bangladesh sehingga dianggap bukan bagian dari masyarakat Myanmar.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Etnis Rohingnya juga dianggap menambah persaingan ekonomi oleh Etnis Burma yang merupakan etnis mayoritas di Myanmar, sehingga perginya Etnis Rohingya akan memudahkan perekonomian mereka karena tidak ada pesaing lagi. Pada saat Myanmar dijalankan oleh rezim militer, terdapat perlakuan diskriminatif terhadap Etnis Rohingya yang berskala besar hingga tahun 2000’an. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penggusuran dan penyitaan tanah pemukiman Etnis Rohingya oleh Pemerintah Myanmar untuk didirikan pemukiman baru bagi warga mayoritas di sana.
Selanjutnya pada tahun 2012 terdapat pembakaran besar-besaran terhadap rumah-rumah penduduk Etnis Rohingya yang membuat situasi semakin memanas. Berdasarkan analisis citra satelit yang dilaporkan oleh Human Rights Watch, menegaskan bahwa militer Myanmar dengan sengaja telah melakukan pembakaran di wilayah Rakhine. Tercatat pada Agustus 2017 terdapat sekitar 128.000 rumah penduduk Etnis Rohingya yang dibakar atau dihancurkan oleh militer Myanmar (Bakali, 2017).
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2017, terjadi upaya pembersihan etnis atau ethnic cleansing yang dilakukan oleh militer Myanmar dengan melakukan pengusiran paksa terhadap Etnis Rohingya. Konflik ini menyebabkan terjadinya gelombang pengungsi yang jumlahnya cukup besar serta isu-isu kemanusiaan lainnya yang mengundang reaksi dari dunia internasional dan juga PBB (Hartati, 2013). Menurut laporan UNHCR, pada rentang waktu antara Agustus 2017 hingga Agustus 2018 terdapat sekitar 723.000 Etnis Rohingya yang pergi meninggalkan Myanmar (O’Brien, 2020). Oleh karena itu, PBB atau Perserikatan Bangsa-Bangsa serta ASEAN ikut serta dalam proses penyelesaian krisis kemanusian yang terjadi di Myanmar.
PBB menyatakan bahwa tindakan represif yang dilakukan oleh militer Myanmar merupakan tindakan pembersihan etnis yang melanggar asas dan nilai kemanusiaan. Para peneliti memprediksikan bahwasanya pada beberapa minggu sebelum tanggal 25 Agustus 2017 terdapat 24.000 Etnis Rohingya yang dibunuh oleh pihak militer Myanmar, 36.000 jiwa yang tewas dibakar, 116.000 jiwa yang mengalami kekerasan fisik, dan 18.000 perempuan dan anak kecil yang mengalami kekerasan seksual (Bakali, 2020). Akhirnya, PBB mengeluarkan resolusi pada Desember 2017 untuk menangani masalah krisis kemanusiaan di Myanmar ini dengan mendesak Pemerintah Myanmar untuk menghentikan hasutan atau seruan kebencian terhadap Etnis Rohingya.
Sumber: dokumentasi pribadi penulis
Tindakan diskriminatif serta represif yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar tentunya merupakan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan yang mempertemukan aparat berjenjata yakni militer atau polisi dengan penduduk sipil yang tidak bersenjata yaitu Etnis Rohingya. Hal ini juga ditambah dengan adanya sentimen politik identitas yang tumbuh dan meluas cukup kuat di kalangan masyarakat Myanmar.
ADVERTISEMENT
Referensi
AMRITSJAR, S. P. (2014). Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Tindakan Pelanggaran Ham Pemerintah Myanmar Atas Etnis Rohingya (Doctoral dissertation).
Bakali, N., & Wasty, S. (2020). Identity, social mobility, and trauma: post-conflict educational realities for survivors of the Rohingya genocide. Religions, 11(5), 241.
Hartati, A. Y. (2013). Studi Eksistensi Etnis Rohingya di Tengah Tekanan Pemerintah Myanmar. Jurnal Hubungan Internasional, 2(1), 7-17.
O’Brien, M., & Hoffstaedter, G. (2020). “There We Are Nothing, Here We Are Nothing!”—The Enduring Effects of the Rohingya Genocide. Social Sciences, 9(11), 209.