Harga BBM, Meme, dan Kemungkinan Alternatif

Muh Akbar
An ordinary person who studying sociology, education, and political science.
Konten dari Pengguna
9 September 2022 16:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: unsplash.com/Luca Bravo dan El- Risitas.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: unsplash.com/Luca Bravo dan El- Risitas.
ADVERTISEMENT
Jagat linimasa media sosial ramai dengan meme yang beredar. Muatannya beragam, tapi punya isu yang kurang lebih seragam. Mulai dari meme satir bertuliskan "Semua harga naik, yang turun cuma hujan" sampai sebuah foto antrean di stasiun bahan bakar dengan takarir "Potret SPBU saat ini".
ADVERTISEMENT
Bahkan penulis mendapati sebuah postingan berisi tangkapan layar suatu berita, judulnya begini "Presiden Jamin Tak Ada Kenaikan Harga BBM Subsidi Hingga Akhir Tahun". Untuk yang terakhir itu, mungkin semacam singgungan.
Keseluruhan candaan dalam bentuk meme ataupun shitposting yang hari-hari ini ramai bukanlah tanpa sebab. Asal usulnya akan dengan mudah dilacak bagi para peselancar internet. Ia merekah dengan subur sesuai konteks yang ada. Yap tepat! Kenaikan harga BBM menjadi pemicu seluruh candaan yang beredar itu.

Kronologi Singkat

Pada 3 September kemarin, melalui beberapa corong publikasi resmi, pemerintah menyampaikan konferensi pers terkait pengalihan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak). Bersama dengan menteri terkait, Presiden menuturkan alasan-alasan mengapa mereka mesti mengalihkan–seturut itu menaikkan harga–subsidi pada BBM.
ADVERTISEMENT
Berikut alasannya: Pertama, anggaran subsidi pada tahun 2022 telah naik 3 kali lipat dari yang sebelumnya Rp. 152,2 Triliun menjadi Rp. 502, 4 Triliun dan trennya akan terus meningkat. Kedua, sekitar 70% penikmat hasil subsidi merupakan kelas sosial yang tergolong mampu, yang disoroti kemudian mereka yang memiliki mobil pribadi. Singkat kata selama ini salah sasaran. Selain itu, dalam konferensi tersebut menyoroti konteks geopolitik global dan kedinamisan ekonomi internasional turut menjadi faktor.
Untuk meredam kontroversi kenaikan Harga BBM, pemerintah juga memberitahukan pengalihan dana subsidi dilakukan agar lebih mengena di rakyat dan tidak salah sasaran. Dana subsidi tersebut kemudian dikonversi ke dalam Bantuan Langsung Tunai.

Menanti Imbas

Dengan naiknya harga bahan bakar minyak bersubsidi (Pertalite, Solar dan Pertamax) secara langsung maupun tidak maka hal tersebut akan berdampak pada hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat Indonesia yang kebanyakan ditopang oleh bahan bakar minyak sebagai sesuatu yang inheren dengan arus gerak masyarakat modern melalui aneka ragam transportasi.
ADVERTISEMENT
Pasca-resmi diberlakukan pada tanggal 3 September pukul 14:30 WIB. Sontak beberapa asosiasi yang hidup dan matinya dipertaruhkan dalam moda transportasi mulai menaikkan tarif mereka, seperti halnya korporat penyedia layanan transportasi dan distributor barang antar wilayah, diperkirakan terdapat kenaikan tarif yang terjadi pada ongkos kirim (ongkir) belanja, lalu ojek dan taksi daring turut naik.
Imbasnya juga diperkirakan akan meluas ke sektor pangan dengan signifikansi harga bergantung pada rantai distribusi. Begitu juga dengan nelayan, angkutan umum, buruh pabrik, buruh startup, mamak-mamak, mahasiswa, anak sekolahan, dan seluruh elemen masyarakat.

Pertanyaan dan Alternatif Lainnya

Dengan dampak yang merentang ke segala arah, penulis mencoba memberikan pertanyaan dan tawaran alternatif yang kiranya menjadi opsi menilik kenaikan harga BBM.
Sejumlah pertanyaan esensial kita mesti suratkan ke pemerintah hari ini. Berangkat dari kebijakan yang diambil, apakah pengalihan dana subsidi BBM ke Bantuan Langsung Tunai pada kelompok tertentu akan menyelesaikan masalah yang ada? Yakni menuntaskan isu kemiskinan dan menaikkan kesejahteraan masyarakat?
ADVERTISEMENT
Dan, bagaimana evaluasi pemerintah terhadap praktik Bantuan Langsung Tunai yang bahkan memiliki risiko salah sasaran yang sama besarnya dengan BBM bersubsidi? Pikiran masyarakat masih tajam mengingat perilaku bejat salah satu menteri yang pernah korupsi dana bantuan!
Lalu, bagaimana dengan korporat di luar monopoli pertamina yang enggan menyamaratakan harga sesuai anjuran pemerintah, apakah mereka “diimbau” untuk ikut atau dilepas saja sesuai dengan keinginan mereka?
Pada saat yang bersamaan, alternatif mesti segera dihadirkan. Entah itu berbentuk transformasi kebijakan berbasis keberpihakan pada rakyat ataupun peralihan revolusioner pada bentuk konsumsi energi.
Dengan hadirnya kelumit semacam ini, kesadaran akan pentingnya energi potensial pengganti minyak segera mengemuka, menjadi pembuka jalan bagi bersinarnya energi potensial yang beberapa tahun belakangan kerap menjadi perbincangan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, sudah saatnya bahan bakar berbasis migas dengan efek polutan tidak ramah lingkungan bergeser dan diganti ke energi terbarukan seperti sinar matahari, panas bumi, arus air, dan tenaga udara, yang, telah disarankan oleh ekspertis, diperkuat melalui riset dan kajian, lalu beberapa penerapannya telah dicoba secara perlahan.
Meski realisasi secara total belum bisa dipastikan. Namun, Hal Ini bisa ditanggapi secara radikal apabila kita memahami ancaman krisis iklim, bahaya pencemaran lingkungan, dan yang paling penting adalah demi biaya bahan bakar lebih murah.
Ya, terdengar optimis memang. Akan tetapi, terlalu banyak rintangan. Utamanya dari oligopoli energi yang tengah menggurita dan kuatnya bukan main. "Mengganggu" mereka yang telah mapan mengeruk beragam keuntungan sama saja dengan mengusik singa yang lagi menyantap limpahan daging di tengah hutan yang kaya akan sumber makanan.
ADVERTISEMENT
Belum lagi perihal keinginan politik. Tidak dengan saut-saut satu dua orang saja, melainkan ada semacam keinginan politik berskala massal yang menembus berbagai lapisan sosial, dan yang utama, ini mesti diinisiasi oleh mereka para pemegang kuasa.
Berat memang. Tapi usaha perlu disegerakan. Paling tidak ini perlu disuarakan, minimal di Internet, dalam bentuk meme.