Ketika Gratifikasi Menguak Nelangsa Buruh Akademik

Muh Akbar
An ordinary person who studying sociology, education, and political science.
Konten dari Pengguna
24 Mei 2023 18:36 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Mentah: Miguel Henriques/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Mentah: Miguel Henriques/Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah terbitnya aturan PermenPANRB No 1 tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional, para buruh akademik—yang dibungkus melalui istilah keren bernama dosen—dengan cekatan melakukan protes melalui berbagai saluran. Alasannya aturan tersebut dianggap menghambat karier mereka sembari menambah beban administrasi yang selama ini sudah seabrek-ribet.
ADVERTISEMENT
Tidak berselang lama, komunitas cerdik-cendekia seperti ALMI (Asosiasi Ilmuwan Muda Indonesia) dan KIKA (Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik) turut serta melayangkan kecaman, penolakan, dan makian ilmiah atas apa yang menimpa salah satu profesi ini.
Beberapa kalangan dosen juga terlihat menuangkan keluh kesah bermuatan kritik di media sosial, tidak sedikit yang meramaikannya di berbagai media cetak dan daring. Gelombang penolakan terus bermunculan, hingga pada waktu tertentu turut memicu terbongkarnya tabir borok dan nelangsa dari profesi yang satu ini.
Seperti bom waktu, segala yang getir dan pahit dari profesi yang dianggap sejahtera dan bermartabat ini akan mengemuka di kemudian hari. Dan, aturan permenpan kemarin adalah pemicu dari bom waktu itu. Ledakannya dahsyat. Cukup membuat saya dan mungkin beberapa kalangan sadar, menjadi dosen itu nyatanya tidak worth it-worth it amat.
ADVERTISEMENT

Beban Dosen di Mata Kami (Mahasiswa)

Ketika aturan itu muncul, saya teringat sebuah meme yang begitu template rasanya dan mungkin para dosen amat gemar menggunakannya sebagai personifikasi atas profesi mereka. Curiga saya, meme ini dibikin sama dosen yang nyambi admin shitpost/meme. Meme itu mungkin keluar ketika ada momen tertentu macam penerbitan aturan kemarin.
Meme yang saya maksud kurang lebih memperlihatkan Doctor Strange yang sedang melakukan ritual sesembahan pembuka gerbang dengan jumlah bayangan tangan seperti sang buddha. Ada banyak. Dan, di setiap masing-masing tangan itu terdapat tulisan yang sepertinya merujuk pada beragam jenis pekerjaan ala dosen di Indonesia.
Beberapa di antaranya cukup familiar, seperti penelitian, pengabdian, atau pengajaran. Terlihat normal (namun berat pakai banget). Cuman, semakin dibaca lagi, kok kerja-kerja itu serasa asing.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja, masa dosen jadi “panitia”. Memangnya para dosen ini sedang meromantisasi dirinya sewaktu mahasiswakah? Yang setiap ada acara ulang tahun himpunan atau BEM, nama mereka mengemuka di barisan surat tugas kepanitiaan. Tidak cocok.
Kalau mau main panitia-kepanitiaan, mending bapak dan ibu dosen jadi panitia Idul Adha, lebih bermanfaat dan berfaedah. Bapak dan ibu dosen juga kan, tidak mesti galdan (galang dana) seperti kami-kami ini.
Ada lagi frasa “admin ini itu”. Tampak kerjanya mengurus perkara administrasi yang langsung berhadapan dengan pengguna layanan. Untung kalau urusannya beredar di seputar lazimnya administrasi, bagaimana kalau jadi admin medsos?
Tidak mungkin kan ada yang beginian? Lagian jadi admin medsos itu menguras banyak tenaga, lihat saja itu admin @binofficial_ri yang cuman balas komentar harus nguras otak dan tenaga buat mikir cara delivery dengan baik.
ADVERTISEMENT
Jikalau ada dosen yang jadi admin medsos, itu sebenarnya tidak cocok, sebab otaknya sudah banyak terkuras untuk perkara lain. Bukan untuk mewujudkan tri dharma perguruan tinggi tapi, bukan itu sobat. Melainkan otak mereka terkuras untuk menghemat uang dan cari sambilan sana-sini.
Yah, fenomena dosen kere bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Hal ini terekam jelas dari salah satu riset multipihak yang dapat disimak melalui kanal The Conversation.id, dengan judul: Berapa Gaji Dosen? Berikut Hasil Survei Nasional Pertama yang Memetakan Kesejahteraan Akademisi di Indonesia (2023).
Mereka mencoba mensurvei sekitar 1.200 dosen aktif di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan pertanyaan seputar gaji, pengeluaran rutin, dan imajinasi mereka tentang upah layak. Hasilnya cukup mengagetkan.
ADVERTISEMENT
Sekitar 42.9 persen dari mereka yang ternyata memiliki pendapatan di bawah angka Rp 3 juta. Sebuah angka yang dapat memuluskan langkah seseorang untuk mendapatkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) dan pendapatan seperti itu rupanya setara dengan rata-rata upah minimum provinsi di Indonesia.
Perpaduan yang begitu khas dari nelangsa ini mungkin menjadi asal muasal mereka terlihat seakan memakan gaji buta, kerap tidak masuk mengajar di kelas atau kualitas proses pembelajaran yang disajikan memiliki kualitas di bawah standar.
Hal ini juga yang menyadarkan saya sewaktu belajar dengan metode tiga pertemuan ceramah dosen, sisanya presentasi kelompok, diawasi dosen atau tidak itu urusan kesekian. Terlihat gak berkualitas dan low effort, cuman melalui praktik itulah yang bisa dilakukan para dosen untuk melakukan kerja-kerja ekstra mereka, yang kerap membelenggu dan pusingnya minta ampun. Kasihan.
ADVERTISEMENT

Gratifikasi Lah, Solusinya!

Ilustrasi dosen Pria. Foto: Shutter Stock
Melihat segala “keajaiban” atas profesi yang satu ini, saya dan mungkin hampir seluruh mahasiswa di bumi nusantara ini tentu tidak tinggal diam!
Apabila jeli melihatnya, mengamatinya dengan saksama, dan mengendusnya secara perlahan, kami para mahasiswa nyatanya telah berkontribusi terhadap nestapa lalu nelangsa yang menggerus kesejahteraan dan beban kerja dosen-dosen kami.
Kami bukan orang tanpa hati! Melihat kemungkaran dan ketidakadilan yang dialami oleh para cerdik cendekia itu. Tentu langkah yang diambil bukan dengan mengadvokasi isu-isu bersama yang sekilas mirip seperti yang kami alami sebagai mahasiswa. Bukan! itu sudah kuno dan basi.
Apalagi menyarankan mereka untuk bersama turun ke jalan membawa tuntutan itu ke dalam arus politik massa. Itu sama saja dengan durhaka, memberikan opsi yang menyusahkan dan tidak tentu juga berhasil. Sekali lagi, mereka bukan mahasiswa, mereka ini adalah dosen. Mana mungkin kita bisa samakan.
ADVERTISEMENT
Langkah yang kami tempuh ini kreatif bin ajaib. Tapi selama ini kerap dikira sebagai bagian yang buruk dari masyarakat, sering pula dituduh melanggengkan gratifikasi. Padahal kami ini hanya memberi para dosen itu hadiah yang tidak seberapa, biasa baju, bingkisan, suvenir. Kalau ada rezeki berlebih taruhlah kami belikan mereka sesuatu yang bermerek.
Langkah lain adalah memberi mereka asupan gizi seimbang bagi mereka, biasanya kami lakukan ketika sedang atau mau melakukan seminar tugas akhir. Sajiannya beragam, mulai dari kue tradisional sampai kalau bisa catering yang muat untuk mulut satu jurusan. Kadang, beberapa dosen “menyarankan” sajian lain.
Waktu di luar masa ujian juga kami kerap manfaatkan sebagai momen “menyuapi” mereka dengan berbagai panganan, yang tentunya sebisa mungkin memenuhi unsur gizi. Kami tau kok, Pak dan Bu.
ADVERTISEMENT
Di balik kerja lelah dan isi dompet yang pas-pasan, mungkin saja kalian tidak sempat untuk makan, atau yang lebih parahnya lagi, aktivitas mengkonsumsi promag dan indomie bukan saja merupakan gejala kami sebagai mahasiswa, melainkan para dosen juga terjangkiti fenomena ini. Ternyata kita senasib.
Apa yang kami upayakan hanyalah kontribusi kecil tiada banding dengan nestapa dosen-dosen kami. Namun, seperti niat baik pada umumnya, selalu saja upaya semacam ini mendapatkan cerca dan halangan.
Seperti baru-baru ini, salah satu rektor di Indonesia mengeluarkan aturan terkait larangan memberi aneka macam makanan ke dosen ketika sedang ujian skripsi, bahkan jauh hari sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi melalui sebuah diskusi pernah berkelakar tentang fenomena memberi hadiah tergolong sebagai sebuah pelanggaran (gratifikasi).
ADVERTISEMENT
Padahal, kami ini tulus kok. Ya, kan? Tidak ada paksaan untuk memberikan mereka hadiah, jikalau memang terdapat paksaan, itu pasti dipaksa oleh hati jujur kami sebagai mahasiswa. Benar, kan?
Apapun alasannya yang pasti bukan berasal dari memanfaatkan relasi kuasa. Apalagi yang maksa itu dosen sendiri. Gak mungkin. Logika dari mana coba. Iya, kan?