Konten dari Pengguna

Pedagogi Para Pendidik Kita Bermasalah

Muh Akbar
Bermukim di Makassar. Memiliki minat pada kajian seputar Sosiologi, Pendidikan, dan Politik.
28 Mei 2024 7:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Kenny Eliason/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Kenny Eliason/Unsplash
ADVERTISEMENT
Apa yang dapat dipelajari dari paparan mengenai materi kuliah oleh sekelompok mahasiswa yang begitu payah membuat makalah, disamping gaya presentasinya sekadar membaca deret kalimat terpampang di salindia mereka?
ADVERTISEMENT
Sangat sulit untuk mengatakan terdapat cerapan pengetahuan di sana. Apalagi mengenalinya sebagai aktivitas pedagogi.
Namun, itulah model belajar yang jamak kita temui. Sepanjang bersekolah, melewati jenjang SD, SMP, SMA, bahkan kuliah, temuan-temuan atas model pedagogi dengan kualitas medioker—bahkan buruk—kerap kali hadir tanpa malu-malu.
Kondisi ini seketika membuat kita (terpaksa) bertanya, tentang bagaimana peran para pendidik, baik guru atau dosen, selaku aktor penting dalam proses pedagogi?
Sayangnya, disinilah letak masalah utamanya. Untuk memberi gambaran, pengalaman yang penulis alami di atas, sedikit-banyak diakibatkan oleh laku para pendidik itu sendiri.
Tidak ada upaya fasilitasi. Tidak ada verifikasi. Begitu juga tambahan materi maupun respon kritis, tidak ada. Diskusi berjalan melompong. Membiarkan mahasiswa saling bercengkrama dalam suasana lusuh dan berujung debat kusir.
ADVERTISEMENT
Bahkan, keputusan belajar menggunakan format tersebut lahir dari komitmen mereka, para pendidik. Dengan menganggap model berikut “membebaskan”, “kekinian” dan terpenting “berpusat pada peserta didik”.

Salah Paham Model Pedagogi?

Asal-usul model pedagogi nelangsa ini nampaknya bertumpu pada apa yang dinamakan student center-learning (SCL). Sebuah model yang berkembang luas dari aneka transformasi pada bidang ilmu pendidikan, tidak sedikit pula yang mengaitkannya dengan prinsip kerja metode pedagogi kritis.
Melalui pengakuan para pendidik, SCL dinilai mampu membawa kabaruan dalam belajar, khususnya membangkitkan cara berpikir kritis, membuat pelajaran terasa lebih demokratis, dan seluruh aspek belajarnya berangkat dari potensi peserta didik.
Tidak ada yang salah dengan proses dan rujukan. Sekilas model SCL memberi nuansa berbeda dengan metode belajar sebelum-sebelumnya. Namun, para pendidik-pendidik ini hanya sekadar tahu tentang SCL, belum tentu paham sebenar-benarnya mengenai model pedagogi yang mereka terapkan.
ADVERTISEMENT
Ketidakpahaman tersebut, dalam hemat penulis, bukan tanpa alasan. Selain menyalahartikan konsepsi mengenai metode pedagogi berbasis student-centered learning—yang berimbas pada kegamangan posisi pendidik dalam relasi pendidik-peserta didik, sekaligus mengakibatkan kekacauan pedagogi secara praktikal—para pendidik lantas tidak sadar dan tidak segera melakukan pembenahan radikal terhadap model belajar yang telah menahun dipraktikkan.
Memahami pedagogi secara konseptual lalu menerapkannya merupakan dua aktivitas berbeda. Bahkan seringkali didapati kondisi yang bertolak belakang dari apa yang dipelajari dan pembuktian di lapangan. Sehingga belajar mengenai “keidealan pedagogi” akan dianggap buang-buang waktu. Toh nanti semua berbeda ketika proses belajar-mengajar.
Anggapan sesat demikian lah yang dianut. Padahal, dengan memahami pedagogi terlebih dahulu, kesempatan pendidik memperoleh cakrawala pengetahuan baru terbuka lebar, lebih komprehensif menilik jabaran filosofis, sosiologis, hingga aplikatif yang terkandung dalam sebuah metode pedagogi.
ADVERTISEMENT
Pada kasus yang berangkat dari cerita penulis di atas, tuntutan presentasi dengan kualitas seperti itu tidak dikenal dalam konsep dan pemberlakuan SCL di belahan bumi manapun. Apabila sang pendidik memahami betul metode SCL, haqqul yaqin mereka berhenti menerapkannya sejak detik pertama.
Seyogyanya student-center learning hadir sebagai konsep pembelajaran yang mengedepankan kebutuhan murid, berfokus pada segala potensi yang berada dalam peserta didik, lalu semua itu diarahkan pada upaya maksimalisasi.
Segala yang termuat pada diri sang murid merupakan“modul” dan “materi” untuk ditindak lanjuti pendidik yang tentunya melibatkan partisipasi murid itu sendiri sebagai agen berkesadaran.
Namun, konsep SCL tidak sebatas berfokus pada murid belaka. Diperlukan jabaran konkret dari struktur sosial makro yang meliputi, bukan hanya si murid, melainkan institusi pendidikan secara garis besar. Diperlukan perhatian mumpuni dalam melihat yang makro-makro tadi.
ADVERTISEMENT
Peran pendidik dalam bingkai SCL memang rumit, jikalau kita membandingkan mereka dengan yang sekadar “penonton mahasiswa presentasi” atau “menjadi moderator kaku”. Di sisi lain, konsep SCL tidak menitikberatkan pada kuantitas pembelajaran melainkan bertumpu pada kualitas konten pembelajaran.
Jadi, seberapa banyak kita berdiskusi, presentasi, dan tanya jawab bukan indikator utama. Yang jadi penilaian adalah seberapa bermakna diskusi maupun presentasi tadi bagi peserta didik.
Mereduksi SCL sekadar ajang presentasi-tanya jawab yang penuh nuansa formal hanyalah bentuk lain penghinaan yang lahir dari ketidakmampuan para pendidik.
Selain tidak memahami dengan baik konsep belajar mereka, terkadang para pendidik mengalami kebingungan terkait posisi mereka di dalam proses mengajar.
Mereka seolah diberi pilihan, kembali memberi ceramah satu arah sembari mengukuhkan diri sebagai otoritas tertinggi pengetahuan di dalam kelas? atau menjadi fasilitator yang siap memandu peserta didik ke arah pengembangan potensi pribadi melalui pembelajaran partisipatif?
ADVERTISEMENT

Memahami Posisi Pendidik

Kegamangan menentukan posisi ini ditelaah secara juti oleh Gert Biesta (2017) dalam bukunya “The Rediscovery Teacher”. Menurutnya posisi guru telah mengalami redefinisi besar-besaran, terutama ketika mendapati mereka tergerus gelombang model pembelajaran yang sebelumnya berbasis teacher-based menjadi student-based.
Kondisi inilah yang ia namakan sebagai “learnification of education”. Posisi Biesta jelas di sini, ia mengkritik keberadaan SCL yang menyelisih keberadaan pendidik sebagai otoritas pengetahuan dalam ruang kelas—yang ia rasa masih sangat penting dalam sebuah proses pembelajaran—sekaligus membuat rancu garis batas “kebebasan”, “kebutuhan murid”, dan apa yang menjadi “penting” dalam proses pembelajaran.
Tentu, pendidik yang dimaksud oleh Biesta bukan lah mereka yang melakukan indoktrinasi, kontrol berlebih, dan selalu menghalangi pandangan kritis peserta didik. Apabila pendidik semacam itu lahir, ia lebih baik berada di kubangan sampah. Biesta justru mendorong terciptanya pendidik yang tajam nalar kritisnya.
ADVERTISEMENT
Semisal SCL yang begitu mengagungkan makna “kebebasan” dalam belajar. Ia lantas kurang sependapat dengan pemaknaan demikian. Sebab, kita tidak boleh sekenanya menganggap “kebebasan” sebagai realitas yang terberi oleh struktur sosial yang berlaku, bisa jadi (dan memang sepertinya) kebebasan tersebut adalah rekaan ilusif yang diciptakan oleh ideologi-ideologi tertentu yang sarat akan kepentingan tertentu, sebut saja kebebasan a la neoliberalisme.
Pendidik kita seolah berada dalam kelimpungan, ketika kebiasaan mereka mengajar (dan diajar) melalui metode ceramah secara satu arah, tetiba datang suatu masa mereka menerima mandat mengganti metode mereka ke arah student-centered, karena dianggap lebih modern dan demokratis.
Nahasnya, para pendidik semacam ini belum tentu menguasai secara komprehensif model pedagogi yang ditawarkan. Alhasil, mereka menerjemahkan metode ini sebagai sekadar presentasi mahasiswa belaka.
ADVERTISEMENT
Menganggap kebebasan dan partisipasi yang melekat dalam SCL sebagai ajang para mahasiswa berbicara sepuas-puasnya, tanpa ada gangguan, maupun otoritas. Membiarkan tujuan belajar berjalan secara formalitas, tanpa menimbang esensi dan kualitas belajar yang ada.
Inilah kekacauan pedagogik. Ketika pendidik kita tidak mampu memposisikan dirinya sebagai pedagog yang kritis, di sisi lain proses mereka mengajar cenderung ugal-ugalan, tidak komprehensif, dan seringkali nir-makna.
Dan, coba tebak siapa yang dirugikan dalam situasi ini? tidak lain dan tidak bukan adalah peserta didik itu sendiri. Kasihan.