Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Ilusi Dibalik Pendapatan Industri Rokok
12 Januari 2025 8:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Akhtar Hamzah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita tahu sebagaimana berbahayanya rokok. Benda yang membuat penggunanya tenang ini dapat merusak tubuh sang pengguna dan orang disekitarnya dengan ribuan zat beracun yang terkandung di dalamnya seperti karbon monoksida, cadmium, tar dan lain - lain. Akan tetapi terdapat fakta yang mungkin masyarakat belum tentu ketahui yaitu rokok mempunyai kontribusi besar pada pendapatan negara. Pada Agustus 2024, pendapatan cukai rokok mencapai Rp132,8 trilliun, angka ini tentu bukan angka yang kecil dan mempunyai peranan besar bagi negara. Namun rokok selalu dikaitkan dengan permasalahan kesehatan. Rokok dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti kanker paru - paru, penyakit jantung, stroke dan sebagainya. Tentu hal ini menimbulkan pro dan kontra terkait industri ini karena industri rokok memiliki pengaruh besar pada ekonomi negara akan tetapi apakah pengaruh tersebut sepadan dengan kerusakan atau kerugian yang diberikan?
ADVERTISEMENT
Per Agustus 2024 Kemenkeu membekukan pendapatan negara melalui bea dan cukai sebesar Rp183,2 trilliun dengan hasil cukai tembakau atau rokok mencapai Rp132,8 trilliun. Kemudian industri ini membuka lapangan kerja yang besar juga. Pada tahun 2019, Berdasarkan Kementerian Perindustrian terdapat 5,98 juta orang tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok, terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja disektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan. Angka ini bukanlah angka yang kecil serta memiliki pengaruh bagi ekonomi negara. Akan tetapi, rokok juga menimbulkan beban jaminan kesehatan nasional.
Pada konferensi pers Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indriati menyatakan bahwa negara mengeluarkan biaya kesehatan akibat rokok bisa sebesar Rp17,9 triliun-Rp27,7 triliun dalam satu tahun. Dari total biaya tersebut, sebesar Rp10,5 – Rp15,6 trilliun merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan oleh BPJS kesehatan. Beliau juga mengatakan bahwa pemerintah memberikan subsidi untuk program Jaminan Kesehatan Nasional sebesar Rp48,8 trilliun yang sebesar 20% - 30% dana tersebut digunakan sebagai biaya perawatan kesehatan akibat merokok. Selain itu berdasarkan data BPJS 2023, penyakit jantung mengeluarkan dana sebesar Rp17,6 trilliun sementara penyakit stroke sebesar Rp5,97 trilliun. Tentu kedua penyakit tersebut terdapat korelasi antara rokok. Rokok dapat meningkatkan risiko penyakit stroke karena kandungan karbon monoksida serta nikotin pada rokok. Karbon monoksida ini akan memberikan dampak berkurangnya kandungan oksigen di dalam darah serta nikotin dapat meningkatkan detak jantung lebih cepat sehingga dapat berisiko dalam menimbulkan stroke. Selain itu, nikotin juga dapat meningkatkan frekuensi detak jantung sehingga dapat menimbulkan risiko penyakit jantung.
ADVERTISEMENT
Kedua data tersebut menunjukkan bahwa dana BPJS dikeluarkan untuk pengobatan penyakit tidak menular yang faktor pemicu yang dapat meningkatkan risiko terjangkit penyakit tersebut salah satunya rokok. Kemudian rokok juga memberikan kerugian disisi ekonomi makro negara. Bahkan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti menyatakan bahwa kerugian yang timbul akibat konsumsi rokok 3 kali lebih besar dibandingkan dengan penerimaan negara dari cukai rokok. Pernyataan ini didukung oleh hasil studi mengenai biaya kesehatan untuk penanganan penyakit akibat rokok tahun 2020 yang menyebutkan bahwa pada tahun 2017 penerimaan dari cukai hasil tembakau sebanyak Rp147,7 triliun, namun nilai kerugian ekonomi makro yang timbul akibat konsumsi rokok mencapai Rp 431,8 triliun. Dari studi tersebut terdapat total 4,9 juta kasus penyakit akibat rokok dengan 209.429 kematian pada tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Dari hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebesar apapun pendapatan negara dari cukai rokok akan menimbulkan kerugian juga bagi negara. Hal ini disebabkan rokok dapat menimbulkan penyakit yang serius mulai dari kanker, stroke, penyakit jantung hingga penyakit pernapasan kronis yang pengobatannya memperlukan biaya yang tidak sedikit. Kemudian, asap rokok juga merugikan masyrakat di sekitar karena mereka akan menghirup asap tersebut yang menyebabkan mereka menjadi perokok pasif yang dampaknya lebih fatal daripada yang merokok itu sendiri. Hal ini menimbulkan adanya usulan penyakit akibat rokok tidak ditanggung oleh BPJS mulai tahun 2025. Usulan ini diungkapkan oleh Direktur utama BPJS kesehatan Ali Ghufron Mukti agar penyakit rokok tidak ditanggung pada program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN sehingga pengeluaran JKN dapat ditekan. Beliau menilai bahwa masih banyak peserta yang tidak mampu serta tidak sadar akan menjaga kesehatan namun tetap memilih untuk merokok daripada membayar iuran.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perlu ada kebijakan pemerintah dalam menanggulangi masalah terkait industri rokok yang diantaranya:
1. Edukasi pemahaman tentang dampak sosial
Selain berdampak pada kesehatan individu dan ekonomi negara, rokok juga dapat memberikan dampak sosial yang signifikan. Hal ini disebabkan perokok pasif yang terpapar asap rokok memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi yang diantaranya adalah gangguan pernapasan, penyakit jantung, dan kanker paru-paru. Menurut World Health Organization (WHO), lebih dari 1,2 juta orang meninggal setiap tahun akibat paparan asap rokok dari perokok pasif. Hal ini menjadi beban bagi kesehatan masyarakat yang seharusnya tidak terpengaruh langsung oleh kebiasaan merokok orang lain.
2. Alokasi pekerja di industri rokok ke sektor lain yang lebih berkelanjutan
ADVERTISEMENT
Memang industri rokok membuka lapangan pekerjaan yang signifikan yaitu sekitar 5,98 juta pekerja, namun kita juga harus memperhitungkan dampak jangka panjang dari paparan bahan kimia berbahaya dalam rokok. Banyak pekerja di sektor ini yang mungkin mengalami gangguan kesehatan serius di kemudian hari, termasuk penyakit paru-paru kronis atau kanker, yang tentunya akan menambah biaya pengobatan di masa depan. Dengan perkembangan teknologi dan perubahan pola hidup, negara perlu merencanakan alokasi pekerjaan di sektor lain yang lebih berkelanjutan bagi masa depan tenaga kerja.
3. Kebijakan pengurangan produksi dan konsumsi rokok
Beberapa negara sudah menerapkan kebijakan pengurangan produksi dan konsumsi rokok secara bertahap. Salah satu contohnya yaitu Selandia Baru yang berencana untuk mengurangi jumlah perokok hingga nol dalam beberapa dekade mendatang dengan meningkatkan harga rokok di pasaran, melarang penjualan rokok kepada generasi muda, serta mendorong masyarakat untuk berhenti merokok melalui program edukasi dan dukungan medis. Pemerintah seharusnya dapat mengadopsi kebijakan serupa yang sejalan dengan upaya menurunkan tingkat konsumsi rokok sambil menggali potensi sumber pendapatan baru untuk negara.
ADVERTISEMENT
4. Menjadikan tembakau sebagai komoditas ekspor
Tanpa industri rokok dalam negeri, pemerintah dapat mengembangkan industri pengolahan tembakau untuk diekspor ke negara lain yang dapat memberikan sumber pendapatan baru tanpa menambah dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. Namun, pengelolaan yang baik dan berkelanjutan harus dilakukan agar tidak menambah kerusakan lingkungan atau kesehatan global.