Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Konflik Pernikahan Beda Agama di Indonesia Seiring Perkembangan Zaman
13 Desember 2022 19:50 WIB
Tulisan dari Daffa Sahrim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keyakinan terhadap suatu agama merupakan hak individu sebagai warga bernegara, yang pada hakikatnya tidak dapat dipaksakan oleh seseorang kepada yang lainnya termasuk mengubah keyakinannya tersebut. Dalam hal ini meninjau dampak dari pernikahan beda agama sebenarnya dapat melukai psikologis seseorang dan hal demikian cenderung emosional sesaat. Sebab, pernikahan beda agama yang dilakukan tersebut dapat menciderai dan mengganggu kestabilan kerukunan keluarga dari kedua pihak, baik calon istri maupun calon suami. Bahkan lebih konkret melihat berdasar sisi psikoterapi dan kesehatan mental, pelaku pernikahan beda agama cenderung sulit berinteraksi dalam keluarga terlebih lagi jika keduanya memiliki anak karena akan mendapati pilihan berat untuk mengikuti salah satu agama yang dianut orang tuanya, hal ini merupakan pilihan dilematis ini akan berlanjut terus-menerus. Cinta hanyalah emosi sesaat yang mungkin saja dapat mengalahkan hal yang prinsip. Namun cinta dapat pula berubah karena hal yang prinsip, seperti sakralitas dari agama itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya pasangan beda agama sering kali mengalami bentrok psikologis. Apabila pasangan tersebut memiliki keturunan maka anak cenderung dilematis dalam menentukan keyakinannya. Bahkan hal ini akan dirasakan berkepanjangan dan merugikan kepribadian dari salah satu di antara keduanya. Karena itu, terjadinya gesekan psikologis ini dapat saja berdampak pada perceraian. Solusi terkait pernikahan beda agama hanya dapat dilakukan dengan konversi agama. Sehingga pernikahan dapat dilakukan sesuai agama yang sudah disatukan oleh keyakinan yang sama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Selain daripada itu, secara yuridis, perkawinan beda agama menimbulkan persoalan hukum keabsahan yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, status hukum anak yang dilahirkan, termasuk pula di dalamnya tentang perwalian dan kewarisan, dan kewarisan antar-pasangan. Hal ini mengingat ketentuan-ketentuan hukum berbeda yang diterapkan dalam agama Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selanjutnya secara psikologis dan sosiologis, perkawinan beda agama dapat memicu perselisihan dan bahkan memperkuat perselisihan yang telah ada sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Berikutnya perkawinan beda agama juga dinilai menimbulkan gangguan psikologis dan pendidikan terhadap anak-anak karena kebingungan untuk memilih agama yang akan dianutnya. Diperbolehkannya perkawinan beda agama akan menimbulkan ketidakselarasan dengan ketentuan hukum yang relevan dengannya kaitannya dengan perwalian, kewarisan, dan lainnya. Dalam hal ini banyak pasangan yang mempunyai pemahaman atau keyakinan jika perkawinan beda agama diperbolehkan, baik secara hukum dan agama dan beberapa memutuskan untuk melakukannya. Keyakinan ini ditemukan pada celah dalam merealisasikan beberapa pasal dalam UU Perkawinan dan UU Kependudukan.
Pasal 57 UU Perkawinan
Pasal 57 UU Perkawinan menyebutkan pernikahan yang disahkan di luar negeri dapat disahkan di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun setelah kepulangan pasangan di Indonesia. Pada undang-undang tersebut tidak dituliskan mengenai pernikahan beda agama, tetapi keumuman redaksi yang ada di dalamnya menimbulkan pemahaman pada beberapa kalangan jika pernikahan beda agama masuk di dalam ketentuan tersebut. Sementara ketentuan Pasal 35 UU Kependudukan menyebutkan pernikahan yang ditetapkan kebolehannya oleh Pengadilan Negeri dapat dicatatkan oleh pencatat sipil termasuk mengenai pernikahan beda agama.
ADVERTISEMENT
Sulitnya Pernikahan Beda Agama di Indonesia
Pernikahan antara dua mempelai yang berbeda bukanlah hal yang sederhana di Indonesia. Selain harus melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang harus dilewati pun berbelit. Tidak mengherankan jika banyak pasangan dengan perbedaan keyakinan akhirnya memilih menikah di luar negeri. Pasangan yang memutuskan menikah di luar negeri nantinya akan mendapatkan akta perkawinan dari negara bersangkutan atau dari perwakilan Republik Indonesia setempat (KBRI). Sepulangnya ke Indonesia, mereka dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.
Meski begitu, bukan berarti pernikahan dengan perbedaan agama tak bisa diwujudkan di dalam negeri. Sejatinya, berdasar putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 para pasangan beda keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan. Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama, sebab tugas kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan mengesahkan. Hanya saja, tidak semua kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda agama. Kantor catatan sipil yang bersedia menerima pernikahan beda agama pun nantinya akan mencatat perkawinan tersebut sebagai perkawinan non-Islam. Pasangan tetap dapat memilih menikah dengan ketentuan agama masing-masing. Caranya, mencari pemuka agama yang memiliki persepsi berbeda dan bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya, misalnya akad nikah ala Islam dan pemberkatan Kristen.
ADVERTISEMENT
Namun, cara ini juga tak mudah karena jarang pemuka agama dan kantor catatan sipil yang mau menikahkan pasangan beda keyakinan. Akhirnya, jalan terakhir yang sering dipakai pasangan beda agama di Indonesia untuk melegalkan pernikahannya adalah tunduk sementara pada salah satu hukum agama. Biasanya, masalah yang muncul adalah gesekan antar-keluarga ihwal keyakinan siapa yang dipakai untuk pengesahan. Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan rumitnya pernikahan berda agam di Indonesia.
Namun, yang perlu diingat adalah pernikahan merupakan salah satu bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk dalam hal ini pernikahan beda agama. Hak untuk melangsungkan perkawinan dijamin dalam Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan tujuan untuk melindungi hak setiap orang dan perlindungan keluarga. Hak untuk berkeluarga, beragama dan berkeyakinan adalah termasuk dalam hak-hak sipil. Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR – International Covenant on Civil and Political Rights) pada tahun 2006 dengan itu Indonesia telah menerima kewajiban untuk melindungi kebebasan hak-hak sipil dan politik.
ADVERTISEMENT
Ketentuan-ketentuan Konvenan hak sipil dan politik telah diadopsi ke dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Kemudian dikuatkan oleh Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin hak setiap orang untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan menjamin hak kebebasan untuk memilih calon suami dan calon istri, termasuk perempuan memiliki hak untuk menikah dengan warga negara asing dan bebas untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.