Konten dari Pengguna

Filsafat Politik Prancis sebagai Pijakan Bernegara

Muhamad Fahmi Ilman
Mahasiswa Aqidah & Filsafat Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
19 Februari 2025 19:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Fahmi Ilman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gemerlap tirani yang tak terbaca-potret masyarakat Tengger Nyadran (Fahmi).
zoom-in-whitePerbesar
Gemerlap tirani yang tak terbaca-potret masyarakat Tengger Nyadran (Fahmi).
ADVERTISEMENT
Negara sebagai “a purely impersonal authority”, sudah selayaknya menjamin hak-hak universal warganya. Terutama terkait kebebasan dalam beragama secara umum. Namun, bagaimana caranya negara mampu bertanggung jawab secara total atas tugas yang diemban masih menimbulkan tanda tanya. Untuk itu, kiranya, mengkaji ulang sejumlah pemikiran-pemikiran yang terkategori masuk dalam filsafat politik menjadi penting.
ADVERTISEMENT
Adalah filsafat politik sebagai suatu disiplin ilmu yang secara komprehensif membincang perihal Negara. Filsafat politik pada dasarnya berbeda dengan politik an sich. Sebuah wadah yang secara khusus membincang dan memikirkan secara terus menerus tentang bagaimana tatanan pemerintahan yang ideal itu dicapai.
Dalam hal ini, Indonesia perlu berterima kasih kepada Prancis. Indonesia rupanya sedikit banyak mengadopsi filsafat politik Prancis, khususnya dalam hal perumusan model negara. Sumbangsih pemikiran Montesquieu, dalam hal ini, terlihat jelas pada sistem perpolitikan di Indonesia. Selain itu, ada juga Rousseau dan Voltaire, yang masing-masing dari keduanya menawarkan konsep dan fokus yang berbeda tetapi saling terkait. Karenanya, penulis merasa penting menjadikan pemikiran sekaligus kritikan atas mereka sebagai pertimbangan atas konsekuensi yuridis dan bahan evaluasi dalam proses pembuatan kebijakan di Indonesia sebagai jaminan atas hak-hak mendasar warga negara.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah sajian hasil dialektika para filsuf politik Prancis yang membincang seputar negara ideal, yang oleh Indonesia dapat bercermin darinya.
Montesquieu terkenal dengan pemikirannya tentang pemisahan kekuasaan. Pemikirannya tertuang dengan jelas dalam karyanya yang berjudul Spirit of Law (1748), karya ini sekaligus menjadi inti dari pemikiran sosial dan politiknya yang membahas politik pada khususnya, dan analisis hukum pun ekonomi pada umumnya. Dalam buku tersebut, sebetulnya filsuf Prancis ini memandang lebih jauh doktrin pemisahan kekuasaan sebagai upaya preventif menghadapi despotisme. Meski begitu, upaya demikian juga relevan bagi demokrasi di Indonesia sebagai model pemerintahan.
Sebagai sebuah konsep yang dirumuskan oleh Montesquieu, “the separation of power” tampak jelas melekat dalam pembagian fungsi pemerintahan di Indonesia. Bagian-bagian dari kerja-fungsi pemerintahan itu di antaranya mewujud dalam tubuh lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Masing-masing dari ketiganya pada dasarnya memiliki tanggung jawab dan fungsi berbeda. Meski begitu, kehadirannya dalam sebuah sistem pemerintahan demokrasi sesungguhnya saling berkelindan dan menopang satu sama lain. Pembagian ini sekaligus membatasi potensi hadirnya otoritas kekuasan absolut.
ADVERTISEMENT
Pembagian kekuasaan atas negara versi Montesquieu, sebagaimana penjabaran sebelumnya, disebut trias politika. Trias politika terdiri dari kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kekuasaan Legislatif sendiri adalah kekuasaan yang bertugas membuat undang-undang. Sementara, eksekutif bertugas sebagai praktisi dari undang-undang tersebut. Sedangkan yudikatif berperan sebagai hakim, badan yang mengadili pelaku pelanggaran atas undang-undang. Sekali lagi, pembagian ini adalah bentuk upaya agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang, yang dapat berimplikasi pada tindakan diskriminatif. Sehingga pemenuhan hak-hak fondasional individu bisa dibungkam dan dikebiri. Dengan demikian maka, menurutnya, kekuasaan harus dipisahkan.
Lebih jauh, pemikiran model Montesquieu semacam itu tentunya tidak muncul secara tiba-tiba. Itu adalah hasil pengamatan secara mendalam dan ikhtiar dalam memikirkan solusi bagaimana membangun tatanan yang ideal atas situasi sosio-politik di zamannya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam hal bagaimana toleransi harus diperjuangkan, pemikiran Voltaire amat penting untuk dijadikan sebagai salah satu opsi strategis. Voltaire adalah salah satu pejuang kebebasan dan toleransi paling terkemuka di zamannya. Semasa hidupnya, dengan gagah-berani, ia menyatakan betapa pentingnya sebuah toleransi dalam bernegara. Ia prihatin terhadap situasi krisis di Prancis. Ia menganggap negara Prancis pada waktu itu, melalui kebijakan, telah merenggut hak paling mendasar dari individu, yakni kebebasan dalam pengertian umum. Jadi, dalam pandangan Voltaire, kebijakan negara seharusnya menjadi payung hukum atau benteng bagi warganya, bukan justru sebaliknya.
Dalam kacamata Rousseau, hukum adalah tatanan sosial yang datang dari konvensi. Dalam artian, peraturan tak tertulis yang lama-kelamaan menjadi suatu kelumrahan dan bahkan menjadi peraturan yang disepakati secara pasif oleh masyarakat. Walaupun demikian, hak ini tidak datang dari alam, melainkan harus diwujudkan berbasis pada kesepakatan-kesepakatan. Karenanya, Rousseau menawarkan sebuah konsep dalam pengambilan kebijakan. Konsep itu dikenal dengan sebutan “social contract”, sebuah konsep pengambilan keputusan berdasarkan konvensi sosial. Menurut Rousseau, konvensi masyarakat akan melahirkan kehendak umum yang harus memperlakukan seluruh rakyat secara setara.
ADVERTISEMENT
Di sisi yang berseberangan, Voltaire menganggap bahwa kerangka berfikir Rousseau bermasalah. Ia mempertanyakan slogan “Retour Nous a la nature” milik Rousseau. Bagaimana mungkin akan tercipta tatanan yang ideal jika manusia dikembalikan pada keadaan alamiahnya? Karena pada dasarnya, sekurang-kurangnya menurut Voltaire, sifat manusia itu rakus, individualis, irasional dan tentu saja kehendak saling mengalahkan. Maka dalam konteks ini, ketentraman, keadilan dan terjaminya hak-hak mendasar individu tidak mungkin tercapai. Sehingga, menurut Voltaire, mengembalikan manusia pada keadaan alamiah adalah ide yang absurd.
Tidak cukup di situ, selain slogan kembali ke alam, pemikiran Rousseau tentang “sosial kontrak” menuai kritik dari sejumlah kalangan. Dalam pandangan Rousseau, kontrak sosial adalah alternatif terbaik dalam pengambilan keputusan. Ia menganggap kesepakatan bersama adalah cerminan kebebasan. Namun, secara konkret, keputusan atau kehendak umum yang dimaksud Rousseau ditentukan atas prinsip mayoritas. Metode ini bukannya tanpa menimbulkan masalah. Tentu saja, itu bersifat sewenang-wenang. Maka muncul pertanyaan, atas dasar apa mayoritas mendaku secara pasti mewakili kepentingan umum? Mengapa kehendak umum lebih dikaitkan dengan kehendak mayoritas? Dan bagaimana jika sebaliknya, bahwa kepentingan minoritas yang sesungguhnya mencerminkan kehendak umum? Nyatanya, Rousseau sama sekali tidak mampu memberi alasan rasional mengapa kehendak mayoritas diidentikan dengan kehendak umum. Jadi, identifikasi sederhana atas kontrak sosial Rousseau secara prinsip tidak bisa dibenarkan.
ADVERTISEMENT
Kiranya dengan sejumlah pemikiran filsuf Prancis ini, Indonesia sebagai representasi kepentingan rakyat dapat menimbang ulang dalam mengonstruksi tatanan ideal agar mampu menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, mendiskusikan bagaimana seharusnya negara membangun tatanan ideal bagi warganya adalah keniscayaan, sekalipun bentuk NKRI sudah ditetapkan.