Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Manusia Setengah Tuhan?
12 Februari 2018 9:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari M. Faruq Ubaidillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
KONON katanya Indonesia merupakan negara yang paling plural, mulai dari budaya hingga agama. Negeri ini terkenal dengan jumlah agama dan kepercayaan lokalnya yang banyak. Pemerintah memang hanya mengakui enam ‘agama formal’ dalam pemerintahan—yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, akan tetapi ribuan bahkan jutaan kepercayaan lokal masih terus hidup di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2003, Kementrian Budaya dan Pariwisata mencatat terdapat sekitar 400.000 orang Indonesia yang menganut kepercayaan lokal dan 25% adalah penganut agama Buhun. Betapa kayanya Indonesia akan aliran kepercayaan ini?
Sudah tentu semua kalangan yang berpikir egaliter dan moderat berpendapat dan setuju bahwa keragaman agama ini perlu dilestarikan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa gesekan perbedaan agama masih menghantui bangsa kita.
Contoh nyatanya adalah lahirnya populisme Islam di Ibu Kota beberapa waktu yang lalu. Gerakan Islam yang dihimpun melalui demo berjilid-jilid kemarin adalah satu bukti betapa populisme itu berhasil mencederai iklim demokrasi di Indonesia. Ungkapan kafir pun menjadi makanan sehari-hari yang diberitakan media selama dua tahun belakangan ini.
Orang-orang yang dengan mudah merasa agamanya paling benar dan paling sesuai dengan ‘agama Tuhan’ nampaknya tidak sadar bahwa mereka sendiri telah menjadi ‘Tuhan’ bagi hawa nafsu. Mereka secara tidak langsung merebut tugas Tuhan dalam menentukan siapa benar siapa salah dan siapa masuk surga siapa masuk neraka.
ADVERTISEMENT
Mereka ini patut diberi pertanyaan: apakah sedang menjadi manusia yang memanusiakan manusia atau manusia setengah Tuhan yang menuhankan hawa nafsunya? Faktanya, mereka adalah manusia biasa yang juga terbatas oleh pengetahuan, akan tetapi secara bersamaan mereka bersikap seolah-olah menjadi Tuhan dengan menegasikan agama lain yang dianggap tidak sesuai dan mereduksi nilai kemanusiaan.
Bagi kelompok seperti ini, kebenaran dalam beragama adalah dengan menyalahkan agama selain milik mereka. Apakah surga ingin juga mereka kapling sendiri? Gus Mus pun pernah berkata, “apa mereka itu tidak takut tinggal di Surga sendirian?”.
Islam sebagai agama yang paling besar yang dianut oleh penduduk Indonesia tentunya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas kekacauan dan keributan horizontal yang selama ini terjadi. Kita tidak bisa menafikan fakta bahwa sekelompok umat Islam yang memanfaatkan atribut agamanya untuk kepentingan politis-oportunis harus sadar diri bahwa keutuhan demokrasi berada di posisi tertinggi di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Bahwa agama memang terpisah dari politik adalah benar dengan pemahaman bahwa politik harus dijalankan oleh ruh agama itu sendiri, bukan penggunaan agama untuk tujuan politik. Semua agama menuju pada satu titik sama yaitu kemanusiaan dan kedamaian. Dalam Alquran, manusia berasal dari bahasa Arab yaitu insan, yang berarti kemanusiaan. Maka, sebelum lahir ke dunia, manusia telah membawa amanah besar di atas amanah harta, kekuasaan, kepemimpinan dsb, yaitu amanah kemanusiaan.
Tidak ada agama yang mengajarkan kebencian kepada sesama manusia. Di agama Hindu, misalnya, dikenal istilah Tri Hita Karana, yaitu kepercayaan bahwa manusia harus berdamai dengan Tuhan, alam, dan sesamanya.
Oleh karena itu, sikap beragama yang berlebihan tidak dibenarkan oleh semua agama. Tujuan kita sama, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang dibingkai oleh ajaran agama, karena sejatinya manusia diciptakan untuk memanusiakan manusia. dengan agama, manusia seharusnya hidup damai dan nyaman. Itulah tujuan utama manusia dilahirkan ke dunia--membawa nilai kemanusiaan, bukan menjadi Tuhan, apalagi manusia setengah Tuhan.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, BUKAN menjadi manusia setengah Tuhan!
*Penulis adalah aktivis HAM dan Demokrasi, saat ini aktif dalam kajian filsafat, budaya, politik dan dialog lintas agama di Denpasar, Bali.