Konten dari Pengguna

Sekali Lagi, Hijrahmu (bukan) Hijrah Palsu!

9 Februari 2018 7:53 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M. Faruq Ubaidillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sekali Lagi, Hijrahmu (bukan) Hijrah Palsu!
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Karena Hijrah adalah Perjalanan Hati”
“Dear Mantan, Maafkan Aku yang telah Hijrah”
ADVERTISEMENT
“Sudah Benarkah Hijrah Kita?”
Sekali lagi, ini soal Islam Medsos. Ekspresi caption di atas adalah bagian dari banyaknya bentuk keislaman versi anak muda yang cenderung temporal. Mengapa temporal? Banyak pengamat keislaman dan pop culture berpendapat bahwa gairah keislaman generasi milenial saat ini bukanlah murni berasal dari pemahaman yang dalam tentang ajaran Islam itu sendiri namun banyak dipengaruhi oleh media dan gaya hidup komersil berbalutkan agama (Islam).
Dalam tulisan kali ini saya akan mendiskusikan fenomena hijrah sebagai media komersil dan sikap generasi milenial khususnya para akhwat dalam memahami substansi ajaran Islam. Dua pembahasan ini akan melihat apakah hijrah yang dikerjakan selama ini adalah (bukan) hijrah palsu.
Abdul Hadir, peneliti pop culture dan media, dalam tulisannya baru-baru ini di surat kabar online detik, mengungkapkan bahwa ada semacam gerakan komersialisasi dari para pebisnis pakaian wanita dalam mengampanyekan fenomena hijrah beberapa tahun belakangan ini (detik, 30 Januari 2018).
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan lebih jelas bahwa ketaatan beragama seseorang telah sepenuhnya terkooptasi oleh fashion, bukan inti ajaran agamanya. Ini bisa kita lihat dari maraknya bisnis pakaian muslimah yang diminati oleh kalangan menengah ke atas mulai dari hijab sya’ri hingga kaos kaki. Bagi perempuan muda yang berasal dari kalangan bawah, fenomena hijrah tidak terlalu banyak diperhatikan. Ini menunjukkan bahwa pasar fashion yang dibungkus oleh agama tidak laku di kalangan generasi milenial menengah kebawah.
Cara mengetahui seberapa banyak gerakan hijrah ini laku dikalangan remaja wanita di kota adalah dengan menulis hastag hijrah di beberapa media sosial seperti instagram dan facebook. Maka akan keluar hasil pencarian sebanyak ratusan bahkan mungkin jutaan followers pada akun hijrah tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika kita runut ke belakang, di Indonesia ini sebetulnya fenomena hijrah sudah terjadi sejak gelombang reformasi tahun 1998 lalu. Awalnya fenomena ini ditandai oleh beberapa artis yang berubah drastis dari kehidupan gemerlap ke dunia pengajian. Tidak ada yang salah dari sikap seperti ini namun ada hal kritis yang perlu kita lihat yaitu cara memahami ajaran Islam itu sendiri.
Banyak dari kalangan artis yang hijrah kemudian berafiliasi kepada kelompok salafy-wahabi, kelompok yang kaku dalam memahami ajaran islam dan mengganggu keragaman agama serta budaya di Indonesia. Fakta ini juga telah menjadi anti-tesis bagi Nahdlatul Ulama dan Muhamamdiyah dalam mengawal Islam moderat di NKRI.
Di samping faktor hijrahisasi melalui kegiatan komersil di atas, yang perlu diperhatikan juga adalah cara memahami substansi ajaran Islam di Indonesia. Dalam aspek ini kita melihat gerakan hijrah yang trending di media sosial telah—baik secara langsung maupun tidak—mereduksi nilai-nilai keislaman itu sendiri. Sekali lagi saya katakan, telah mereduksi nilai-nilai keislaman!
ADVERTISEMENT
Pasalnya, Islam hanya dilihat dan diukur dari panjang pendeknya jilbab, panjang pendeknya baju kurung, hubungan seorang wanita dengan lawan jenis, dan yang paling parah, seberapa sering seseorang mengunggah caption-caption ‘islami’ di akun media sosial. Sikap seperti ini cukup banyak digemari para akhwat dan telah mengubah arah pemahaman keislaman itu sendiri.
Harus juga kita cermati bahwa kalangan milenial wanita saat ini lebih sering mendengarkan ceramah instan dari para ustaz di media sosial—sebut saja seperti Khalid Basalamah dan Felix Siauw. Bahwa ceramah mereka dapat memberi ketenangan temporal memang benar, namun Islam yang harus dipahami oleh para generasi milenial wanita ini sangat dalam dan memerlukan pengkajian yang tidak sederhana, bukan sekadar pengajian instan.
ADVERTISEMENT
Kekuatan ceramah para da’i medsos di atas bukanlah pada isi atau substansi islam yang disampaikan namun karena peran media yang men-viral-kan sehingga sering dilihat dan didengarkan. Tak jarang Khalid Basalamah harus mendapat kritik pedas dari kalangan Islam moderat tentang ceramahnya yang dianggap sembarangan menghina suatu lembaga pendidikan tinggi sebagai sarang liberalisme dan menegasikan tradisi dalam berislam.
Begitu pula Felix Siauw. Ceramahnya yang selalu bernuansa politis melalui gerakan khilafah sudah banyak mengarahkan generasi milenial yang tidak memiliki dasar pemahaman agama untuk juga mendukung apa yang ia ceramahkan. Tak pelak, ia pun sering mendapatkan resistensi dari Banser NU terkait isi ceramahnya. Pola ceramah ceremonial dan temporal di atas memang banyak di media sosial dan telah memengaruhi generasi milenial dalam melihat inti ajaran Islam itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada inti tulisan ini, bahwa fenomena hijrah di kalangan generasi milenial masih belum memperlihatkan kesigapan mereka dalam memahami substansi ajaran Islam itu sendiri adalah fakta, dan hal ini diperkeruh oleh pengaruh komersialisasi busana dan pemahaman yang instan tentang Islam.
Kembali kepada kita jualah untuk memandang hijrah sebagai hal yang lazim atau tendensius-oportunis. Terlepas dari apakah sikap berhijrah ini sepenuhnya menjadi urusan hati yang melakukan dan Tuhan, namun dari kacamata logika model hijrah seperti ini tidak berlebihan untuk dikatakan (bukan) hijrah palsu.
Sekali lagi, (bukan) palsu!
*Penulis adalah peneliti sosial dan agama-agama lokal, saat ini berdomisili di Denpasar, Bali.