Ustaz, Hentikan Ceramah Surga dan Seks Itu!

Konten dari Pengguna
17 Februari 2018 8:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M. Faruq Ubaidillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Membincang surga dan nikmatnya seks bersama bidadari memang menggiurkan, namun sekaligus memalukan!", hematku.
Jari ini rasanya gatal jika belum mengomentari tweet dari seorang ustaz populis yang gagal paham tentang substansi Islam. Tentu, penulis tak bermaksud menganggap diri yang faqir ini lebih alim dari sang ustaz. Tulisan inipun bukan untuk menghakimi, alih-alih menyesatkan, ceramah ustaz kita. Namun, sebagai seorang aktivis sosial yang berkecimpung dalam kajian filsafat dan agama, penulis perlu menuliskan komentar dan mengkritisi ceramah populis yang—beberapa tahun belakangan ini—laku di tengah umat Muslim perkotaan.
ADVERTISEMENT
Ustaz kita ini, dalam tweetnya mengungkapkan bahwa di surga nanti, laki-laki beriman akan ditemani oleh 12.000 bidadari yang siap melayani nafsu seksnya tanpa ada rasa lelah sedikitpun. Mendengar ceramah seperti ini sudah tentu jamaah yang kadar keimanannya masih di level “elementer” akan tertarik. Siapa yang tidak ingin melakukan hubungan badan dengan bidadari di surga? Hubungan badan di dunia saja enaknya sudah bukan main—menurut kalangan yang sudah menikah—apalagi di surga, dengan bidadari lagi!
Di dalam Alquran, surga memang digambarkan secara deskriptif-imajinatif. Khayalan-khayalan kenikmatan di dalamnya disuguhkan dengan begitu indah, hingga logika gagal memahaminya. Pohon yang berjalan terbalik, khamar yang tidak memabukkan, hingga bidadari yang lehernya bening dan siap melayani hasrat seksual lelaki berimanpun masuk dalam cerita di atas.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian cendikiawan Muslim progresif, misal Nadirsyah Hosen, penjelasan Alquran dalam kaitannya dengan kenikmatan di surga ini tidak lepas dari fakta historis masyarakat Arab kala itu dalam beribadah. Menurut Nadirsyah Hosen, ayat-ayat Alquran sengaja memberikan informasi kenikmatan di surga agar orang-orang Arab yang sudah terbiasa dengan perzinahan, mabuk-mabukan, simpati dan masuk Islam. Walhasil, dakwah seperti ini sesuai dengan kondisi jahiliyah kala itu.
Rupanya, model penyampaian dalam Alquran ini masih digunakan oleh ustaz kita. Di saat masyarakat mencapai pola berpikir kritis dan nalar sering digunakan, model dakwah semacam ini tentu perlu dievaluasi kembali. Jika tidak, ajaran inti Islam itu sendiri akan sulit terinternalisasi dalam komunitas umat Muslim dewasa ini. Mengapa begitu? Jawabannya adalah Islam sendiri menekankan substansi, bukan imajinasi. Bahwa adanya bidadari yang digambarkan Alquran sudah tidak layak untuk didakwahkan kembali. Saatnya ustaz-ustaz kita yang aktif di media sosial mengajarkan masyarakat tentang inti ibadah itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Menurut Ramdan Nugraha, penulis di Qureta, solusi untuk menyampaikan substansi ibadah dalam Islam itu dapat kita lihat melalui perspektif tasawuf. Ilmu ini mengkategorikan level peribadatan seseorang menjadi tiga kelas; budak, pedagang, dan yang tertinggi adalah, orang-orang yang sudah menyatu dengan Allah.
Kelas budak berarti beribadah karena hanya takut akan anacaman siksa yang Allah tetapkan. Mereka beribadah dengan harapan, jika rajin, akan mendapat pahala dan terhindar dari siksa baik di alam kubur terlebih surga. Ustaz medsos kita lebih cenderung menjual cerita-cerita siksa neraka ini dalam berdakwah. Setidaknya ini adalah perspektif pribadi penulis. Islam adalah agama yang besar, beradab, dan terhormat. Maka, ceramah Islam saat ini haruslah sudah beranjak dari cerita-cerita yang menakutkan seperti di atas.
ADVERTISEMENT
Kelas kedua adalah peribadatan kelompok pedagang. Ramdan menamainya pedagang karena orang-orang yang beribadah pada level ini sejatinya perhitungan. Model ibadah mereka adalah mengharapkan keuntungan yang besar, yaitu surga. Praktik ibadah shalat, pauasa, haji, umroh, dijadikan alat “transaksi” kepada Tuhan. Tentu tidak ada yang bermasalah dari ini semua. Namun, sekali lagi penulis tekankan, umat Islam sudah saatnya beranjak dari hal-hal normatif seperti ini dalam memahami substansi Islam itu sendiri.
Kelas yang terakhir adalah kelompok orang yang betul—betul beribadah dari hati. Mereka telah sampai pada level “wihdatul wujud”, menyatu dengan Tuhan. Cerita surga, apalagi bidadari dan seksnya, maupun siksa neraka sudah tidak menjadi alasan peribadatan sehari-hari. Pertanyaanya: bisakah kita mencapai level ini? Jawaban penulis adalah iya!
ADVERTISEMENT
Peribadatn yang hakiki dari Islam itu dapat diraih melalui kesadaran hati akan keagungan Tuhan. Cara beribadah seperti ini lebih menekankan isi hati, sehingga manusia akan mengenal dirinya sendiri setelah itu mereka akan mengenal Tuhannya sendiri.
Kembali pada permasalahan inti tulisan ini. Ustaz kita di media sosial terlihat masih jauh dalam mengarahkan level kemuliaan ibadah jemaahnya. Tentu, ini problematis sekali. Jemaah semestinya dibimbing untuk membuka hati dan mengenal Tuhan, bukan berpikir seks dan bidadari surga. Ditakutkan dari model dakwah seperti ini, umat Islam tidak mampu beranjak dari kekangan imajinasi-deskripsi tentang pahala dan dosa.
Jadi, masihkah layak mengkampanyekan surga beserta kenikmatan seksnya itu? Jawabannya ada pada diri anda sendiri.
*Penulis aktif dalam kajian filsafat agama, saat ini tinggal di Denpasar, Bali.
ADVERTISEMENT
*****