Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Yang Lembut dari Keras Agama?
12 Februari 2018 10:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari M. Faruq Ubaidillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Tidak ada kekerasan dalam agama dan tidak ada agama di dalam kekerasan. Titik", kataku.
Tak sengaja saya membaca berita di media kemarin. Gereja kembali diserang orang tak dikenal! Begitu bunyi headline di media. Dengan cepat saya mencari laptop kemudian membuka browser dan membaca penuh juga cermat berita tersebut.
ADVERTISEMENT
Ternyata benar. Media sudah ramai. Komentar miring dan hujatan sudah mewarnai pemberitaan di setiap media. Saya terus mencari tahu apa yang melatarbelakangi penyerangan Gereja St Lidwina di Sleman Yogyakarta itu. Kendatipun begitu, hasilnya nihil! Pelaku masih kritis di rumah sakit setelah terkena tembakan timah panas polisi di kakinya.
Peristiwa ini sungguh biadap, kata Buya Syafii, seorang intelektual Muslim sekaliber Gus Dur dan Cak Nur yang saat ini masih hidup. Din Syamsuddin pun tidak kalah kagetnya. Ia menganggap peristiwa ini sebagai tamparan atas kerukunan beragama di Indonesia. Din yang menjabat selaku Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antar Agama dan Peradaban mengaku heran dengan aksi penyerangan tersebut. Kendati kondisi sekarang sudah aman, namun korban dan peristiwa ini sungguh mencoreng predikat Negara Toleran yang disandang Indonesia di mata dunia selama ini.
ADVERTISEMENT
Jika Anda bertanya apakah agama mengajarkan kekerasan, jawabannya tidak! Manusialah yang tidak memahami esensi ajaran agamanya. Klaim kebenaran dipahami parsial dengan menutup mata terhadap eksistensi kebenaran agama lain menurut kaca mata berbeda.
Sungguhpun Islam, misalnya, mengajarkan hukum-hukum yang ketat dan “menakutkan” seperti potong tangan, pemenggalan leher, dan hantaman batu bagi pelaku zina, pemaknaan hukumnya pun tidak “kaku”. Santri, misalnya, di pesantren mempelajari kitab-kitab “keras” terkait hukum fiqh, seperti kafirnya seseorang yang meninggalkan shalat secara sengaja. Namun begitu, mereka ketika terjun di tengah masyarakat tidaklah mudah mengafirkan sesama manusia.
Agama itu keras jika hati dan akal tidak berfungsi bersamaan. Islam agama yang toleran dan menebarkan kasih sayang, jauh dari sifat keras! Lalu, Anda mungkin akan bertanya apa yang lembut dari keras agama?
ADVERTISEMENT
Lembutnya agama bergantung kepada lembutnya hati pemeluknya. Semua agama diciptakan Tuhan untuk manusia, dan Tuhan tidak butuh untuk disembah. Manusialah yang butuh untuk menyembahnya. Dalam mempraktikkan agama, Tuhan mengajarkan kelembutan dan kemudahan.
Orang yang tidak kuat shalat berdiri boleh duduk, berbaring. Jika masih tidak kuat boleh shalat dengan menggunakan isyarat. Nabi Muhammad SAW diturunkan ke bumi untuk memperbaiki akhlak, sikap lemah lembut antar sesama, menghargai perbedaan. Alquran yang digunakan Nabi mengajarkan umatnya untuk mendakwahkan Islam dengan penuh kelembutan. Tidak ada kekerasan dalam agama dan tidak ada agama dalam kekerasan. Keduanya tidak bisa disatukan dan saling bertentangan.
Yang lembut dari keras agama adalah nilai kemanusiaan. Semua agama membawa tujuan universal untuk kemaslahatan manusia. Agama mendamaikan yang bertengkar. Agama memperbaiki kesalahan. Agama mengajarkan kebenaran tanpa kekerasan. Agama memberi kebebasan memilih. Semuanya ini dilakukan dengan lembut oleh para Nabi dan Rasul.
ADVERTISEMENT
Hanya manusia yang tidak berpikir dan merasa dengan hati yang menganggap agama itu hadir dengan kekerasan. Tafsir Alquran tidak mengajarkan kekerasan. Tafsir kekerasan yang digunakan sebagai alat legitimasi hanya untuk tujuan politis, bukan dakwah Islam. Perang berdarah-darah di zaman para khilafah membuktikan betapa tujuan politik yang dibalut dengan agama mampu menghilangkan kesucian agama itu sendiri, Islam dalam hal ini.
Maka, yang lembut dari keras agama adalah tujuan universal agama itu sendiri. Yang keras dalam agama tidak lahir dari agama, melainkan dari sikap penganutnya yang tidak memfungsikan akal dan pikiran sebagaimana mestinya.
Jadi, apa yang lembut dari keras agama itu?
*Penulis adalah aktivis dialog lintas agama, saat ini sedang mengkaji keberadaan agama-agama lokal di Bali.
ADVERTISEMENT