Cyberreligion: Sumber Kajian Agama Alternatif

M Febriyanto Firman Wijaya
Peneliti Pusad Studi Anti Korupsi dan Demokrasi UMSurabaya Pemerhati Komunikasi Gaya Baru
Konten dari Pengguna
1 Juli 2020 20:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Febriyanto Firman Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustration: Peter Schrank
zoom-in-whitePerbesar
Ilustration: Peter Schrank
ADVERTISEMENT
Perubahan kebiasaan dalam belajar tentang keagamaan di dunia siber, melalui internet, memang bebas menggali segala macam informasi dengan mudah dan cepat. Kondisi ini memungkinkan kita menjadi memiliki kebiasaan baru yang bisa menjadi positif atau bahkan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Dikarenakan saat mengenal teknologi informasi dengan akses internet serta tidak adanya batasan waktu dalam menerima informasi sehingga lebih efektif dan efisien.
Mengakses dalam dunia siber perihal keagamaan/keyakinan sangatlah banyak, contoh saat cari kata ‘Allah subhanahu wa ta'ala’ pada Google maka dalam 0,37 detik saja kita dapat hitungan Sekitar 3.9 jutaan situs.
Sementara kata ‘Tuhan’ hasilnya sekitar 71.7 Juta situs dalam 0,50 detik, begitu sangat mudah pada sisi positif mencari perihal keagamaan menjadi lebih mudah dengan adanya teknologi informasi.
Perkembangan teknologi & ilmu pengetahuan secara relatif mempererat jarak perbedaan budaya antara satu dengan lainnya, hal demikian mempengaruhi kesadaran manusia juga terhadap fenomena keagamaan.
Secara tidak langsung mulai terasa pergeseran paradigma pemahaman tentang agama dari yang dulu terbatas kepada idealitas kearah historisitas, dari yang dulunya berkisar pada doktrin ke arah entitas sosiologis, dari diskursus esensi ke arah eksistensi.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain agama tidak lagi terbatas hanya menjelaskan mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga perlu menjelaskan mengenai kesadaran hidup berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian sejarah-sejarah dalam agama tersebut (antropologis), dan juga memenuhi kebutuhan untuk pribadi manusia dalam dirinya (psikologis).
Ditambah dengan semakin masifnya teknologi informasi membuat masyarakat kini mudah mencari bahasan tentang agama sehingga dapat melakukan diseminasi pemikiran, ajaran dan kebenaran atau membenarkan iman secara cepat, efektif dan murah pastinya.
Bahkan bisa menjadi diskursus tersendiri untuk mencari keshahihan dalam pemahaman agama(lewat internet).
Sensasi Spiritual Beda Zaman
Sebagai generasi yang lahir sebelum era internet saat itu mempelajari agama selalu ditempat ibadah, atau saat pelajaran agama disekolah dengan model tatap muka oleh ustad(guru agama), disisi lain ketika itu kita harus selalu fokus pada ustad yang menerangkan dihadapan agar tetap mengikuti alur pembahasannya.
ADVERTISEMENT
Berangkat ke masjid berpakaian yang rapi(baju kokoh) lengkap dengan songkok hitam dan Al Qur’an ditangan serta kayu penunjuk untuk memudahkan saat membaca tiap hurufnya, secara konsisten hal tersebut kita lakukan seiring dengan berpindahnya tubuh dari rumah ke masjid.
Di era siber ini agama menjadi terlihat praktis. Hampir semua tentang spiritual mulai dari keimanan, ketauhidan sampai soal panduan seks yang syar'i pun ada. Kita bisa dengan mudah membaca atau menton melalui website, media sosial, dan YouTube berbagai konten khotbah ustad-ustad.
Ustadz atau ulama yang dulu selalu bertatap muka untuk konsultasi perihal agama pada tabligh akbar, kini perannya secara langsung bisa di visualisasikan melalui Webinar dan direkam serta disebarluaskan. Ini membuat kita lebih mudah untuk mengulang-ulang apa yang disampaikannya meski saat acara berlangsung kita tidak mengikuti pembahannya secara seksama.
ADVERTISEMENT
Lalu begaimana dengan kondisi beragama di dunia siber? Apakah membuat kita mendapatkan sensasi keberagamaan yang sama dengan cara beragama konvensional?
Memahami agama di era Cyberreligion
Ketika menelaah sensasi beragama akan lebih menarik ketika kita lihat pendapat Emile Durkheim dalam bukunya The Elementary Forms of The Religious Life. Menurutnya, agama sebagai suatu praktik sosial yang memiliki 2 kategori yaitu keyakinan dan ritual.
Keyakinan untuk mempercayai kesakralan dalam agama selalu didasarkan pada kitab suci kemudian dinaratifkan secara ekspresif dengan menghubungkan tentang baik & buruk, surga & neraka, dan apapun yang bersifat keyakinan.
Sedangkan ritual sebagai praktek pemeluk agama dengan syarat serta menggambarkan perilaku seseorang apabila telah melakukan upacara atau kredo keagamaan, pada semua agama selalu memiliki ritual tersendiri yang merupakan penggabungan antara spiriualisme dan material.
ADVERTISEMENT
Beribadah di tempat ibadahnya yang suci(Masjid, Gereja, Vihara dll) bagian dari melakukan ritual keagamaan yang pada dasarnya tidak merubah tujuan beragama untuk menyembah tuhan.
Saat ini semakin maraknya di era siber penguna internet membuat kita mudah mencari bahkan mendapatkan sumber keagamaan hanya dengan berbekal Smartphone saja, fenomena ini dikenal dengan Cyberreligion.
M. Hatta mengatakan dampak yang sangat terasa juga didapat pada sebagian remaja dalam memanfaatkan internet untuk mencari perihal keagamaan, ditemukan 51,3% dari rutinitas sebagian remaja per hari minimal membutuhkan waktu lebih dari empat jam untuk berselancar di dunia siber dan minimal separuh dari itu diantaranya dimanfaatkan untuk mempelajari atau menambah pengetahuan mereka tentang agama islam.
Beberapa remaja tersebut juga memilih dan memilah beberpa materi keagamaan serta siapa penceramah yang mereka gandrungi, ustad(guru ngaji) yang menjadi favorit atau idolanya saat mengakses internet ada Abdul Somat (34,7%) yang terpilih sebagai penceramah favorit, serta ada sebagian yang lebih millenials seperti Hanan Attaki (22,2%) mereka beranggapan bahwa bahasanya yang mudah dipahami dan anak muda banget.(M Hatta, 2018)
ADVERTISEMENT
Dalam survei tersebut juga menghasilkan mayoritas remaja mengunakan internet ialah untuk alasan spiritual pribadi, termasuk mencari di luar tradisi mereka sendiri. Dengan kata lain agama sebagai spiritual pribadi seseorang kini diukur dari diri mereka sendiri dan terlihat lebih praktis tanpa ada unsur paksaan.
Melihat dari hal tersebut teknologi informasi menjadikan perubahan dalam berbagai macam cara berkomunikasi serta pola keberadaan manusia itu sendiri.
Sehingga teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan akhirnya mengarahkan manusia untuk merubah kebiasaanya. Hal tersebut biasa dikenal dengan Determinasi Teknologi (Marshall Mcluhan,1962) dengan kata lain teknologi baik secara langsung maupun tidak langsung, merupakan penggerak utama roda perubahan sosial.
Akhirnya mau tak mau, suka tak suka, perkembangan teknologi informasi mengantarkan kita ke berbagai peluang baru dalam berinteraksi dan berkomunikasi melalui dunia siber. Begitu pula dalam perihal mengekspresi atau mengisi ulang keimanan agar menjadi lebih ‘baik’ maupun malah menjadikan kita ‘liar’ dari dunia cyberreligion.
ADVERTISEMENT
Karena itu, jika kita sedikit berani optimis, tentunya tanpa meninggalkan sikap kritis, jauh dari mengancam sensibilitas religius, teknologi informasi yang berkembang sesungguhnya bisa memperkaya perihal keyakinan dan dengan demikian menyediakan ruang baru keimanan tumbuh dan mengekspresi religius yang baru.