JUMUDNYA DAKWAH DIGITAL SAAT PANDEMI COVID-19

M Febriyanto Firman Wijaya
Peneliti Pusad Studi Anti Korupsi dan Demokrasi UMSurabaya Pemerhati Komunikasi Gaya Baru
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2020 20:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Febriyanto Firman Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pinterest.com/Behance
zoom-in-whitePerbesar
Pinterest.com/Behance
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa bulan telah berlalu dari pertama kali diumumkan pasien positif Covid 19 hingga saat ini belum ada tanda-tanda kurva melandai menjadikan beberapa tempat menjadi sorotan terutama tempat yang sering dijadikan berkumpul, dan menimbulkan keramaian termasuk tempat ibadah.
ADVERTISEMENT
Beberapa ormas(organisasi masyarakat) sampai mengeluarkan maklumat atau fatwa tentang aturan-aturan beribadah saat masa pandemic, hingga pelarangan sholat jamaah termasuk sholat fardu,jumat, terawih dan sholad Eid dimasjid, bahkan beberapa pendakwah kondang juga membuat video untuk menjelaskan agar tetap dapat beribadah meski dirumah saja, didasari dengan kondisi darurat saat ini pendakwah tersebut mengajak melalui video tersebut agar tetap beribadah dirumah saja terutama yang sudah masuk dizona merah.
Meski demikian masih saja ada beberapa pendakwah yang ngotot tetap berjamaah dimasjid karena mereka beranggapan segala sesuatu yang ada didunia ini adalah ciptaan Allah subhanahu wa taala maka kita seraya tetap berdoa kepadaNya.
Dalam hal ini memang kita perlu kembali kehakikat dakwah yang sebenarnya sehingga tidak membuat makna dakwah itu melenceng. Makna dakwah sendiri berasal dari Bahasa arab yang artinya mengajak, menyeru, dan memanggil seruan. Sedangkan menurut Syaikh Ali Makhfudz (Hidayatul Mursyidin) memberikan definisi bahwa dakwah sebagai cara mendorong manusia agar berbuat baik dan mengikuti petunjuk (hidayah), menyerukan mereka berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
ADVERTISEMENT
Tak terkecuali yang menjadi subjek pada dakwah yaitu para Da’i atau pendakwah sebagai orang yang mentransferkan ilmunya kepada Mad’u(jamaah), seperti dalam surat An-Nahl ayat 125 yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran(cara) yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dalam buku “Misteri kata-kata” karangan K.H. Abdurrahman Wahid(2010) menjelaskan ayat diatas “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah” , artinya dengan cara yang bisa diterima orang lain dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Kemudian “wa al-mau’idalotul hasanah”, tutur kata yang baik, “wa jadilhum bi allati hiya ahsan”, artinya berdiskusilah dengan mereka dengan baik, rasional, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Namun dalam kondisi saat ini para pendakwah bukan menempatkan pendapatnya dengan hikmad dalam memberian fatwa tapi malah dirasa dakwahnya jatuh pada kejumudan sehingga terasa kurang dinamis.
Pendapat konservatif ulama di media sosial
Semakin mudahnya akses dalam menyampaikan informasi melalui media sosial dimanfaatkan oleh beberapa pendakwah untuk membuat konten-konten keagamaan melalui kanal pribadi maupun dari rekaman-rekaman kanal keagamaan lainnya. tak sedikit pula nitizen ikut serta membagikan potongan video tersebut lalu membagikan akun medsos, instastory dan grup-grup keluarga.
Saat semakin cepat dan mudahnya informasi itu terkadang tidak dibarengi dengan penyampaian pemikiran yang dinamis sehingga dalam menyikapi pemahaman agama terlihat kaku dan berat jadi seolah-olah kita diajarkan bahwa agama itu keras, saklek tanpa melihat situasi dan kondisi dilingkungannya.
ADVERTISEMENT
Beberapa konten ustadz atau pemuka agama yang ada juga banyak yang menyikapi tho’un(wabah) ini seolah meremehkan dan justru menyerukan untuk tetap beribadah dengan berjamaah, serta beranggapan semua makhluk yang ada dunia ini adalah ciptaan Allah subhanahu wa taala, walaupun tidak langsung diciptakan Allah subhanahu wa taala pasti ada perantara dari campur tangan Allah subhanahu wa taala, sehingga yang memiliki kekuasaan dan dapat mengendalikan apapun termasuk tho’un ini adalah Allah subhanahu wa taala.
Maka siapa yang memiliki kehendak untuk memilih yang tidak terjangkit dan siapa yang terjangkit dari virus tersebut adalah Allah subhanahu wa taala, sehingga yang dapat menghilangkan virus tersebut juga Allah subhanahu wa taala. Dengan demikian maka sebagai hambanya kita harus kembalikan semua kepada-Nya Al Khaliq(Maha Pencipta).
ADVERTISEMENT
Hingga kini, dibeberapa daerah zona merah masih saja ada beberapa masjid yang mengadakan sholad Fardlu dan Jumat berjamaah dimasjid dengan dalih mereka melakukan prosedur dan ketetapan (protap) Physical Distance untuk tetap dapat melaksanakan sholat berjamaah di masjid. Sementara disaat kondisi Ad-Dharurat(darurat) seperti ini dengan resiko virus yang tidak kasat mata kita harusnya lebih waspada dan lebih baik untuk mencegah dari pada ketika sudah terlanjur terinfeksi.
Pandangan konservatif dari pendakwah yang perlu diimbangi dengan wacana keagamaan yang menyejukkan di media sosial, tujuannya agar dalam pelaksanaan ibadah, masyarakat dapat fokus beribadah dengan hati bahagia tanpa ada kekhawatiran karena jumudnya dakwah ulama konservatif yang justru membuat nilai keagamaan tidak menyejukkan.
Dakwah Digital yang Tersistem dan Membahagiakan
ADVERTISEMENT
Problematika seperti demikian memang perlu mengaplikasikan pendekatan system, dengan kata lain untuk menerjemahkan satu hukum islam tentang sebuah permasalahan yang mencakup fiqh dan ushul fiqh, maka didalamnya akan melibatkan beberapa komponen ada Unit, Elemen, dan Sub-Sistem yang menjadi satu kesatuan hirarkis.
Begitu juga saat berinteraksi dan bekerja sama secara terus-menerus, memiliki prosedur dan proses untuk mencapai tujuan tertentu, maka akan terdapat Supra-Sistem dalam lingkup keseluruhannya, hingga muncullah solusi yang tersistem dan tepat dengan situasi saat ini.
Pendekatan sistemik memang selain dapat menggunakan disiplin ilmu yang berbeda sebagai alat analisa juga perlu menganalisa dan mempertimbangkan semua faktor untuk menetapkan hukum yang Humanis dan Holistik. Jadi tidak perlu menggunakan analisa yang terpisah-pisah dan statis, maka dengan analisa sistem akan muncul hasil yang bersifat sinergis dan dinamis.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu dalam mengimplimentasikan kebijakan untuk tetap menjaga keharmonisan agar tetap mendukung Physical Ditancing pada diri sendiri dan masyarakat saat beribadah bisa dengan meminta pendapat dari seluruh ulama yang berkompeten dalam bidang tersebut, kemudian mendekatkan pemikiran kita agar lebih Holistik dan tidak mudah terprovokasi dengan satu permasalahan, dan senantiasa terbuka dalam pengetahuan untuk melihat sesuatu dari perspektif yang multidimensi, bisa juga tetap memperhatikan prinsip berfikir kita dalam menentukan tujuan, sehingga dapat mengidentifikasi masalah dan mencari solusi.
Dengan demikian seharusnya sebagai Pemuka Agama atau pendakwah menyikapi permasalahan yang terjadi saat ini seperti pesan dari Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah “Perubahan hukum terjadi karena perubahan situasi sosial, zaman yang berganti, ruang atau tempat yang berbeda, tradisi dan motif yang berbeda.”
ADVERTISEMENT
Sehingga saat ini seiring dengan perkembangan informasi serta digitalisasi juga akan membuat masyarakat lebih cepat menerima informasi tersebut, maka disinilah peran para Da’i akan sangat berpengaruh disaat mengambil keputusan yang baik dan tidak terasa tumpeng tindah dalam memahami dasar hukum yang mudah dipahami dalam situasi pandemi saat ini.