Kritik Menggelitik: Cara Komedi Sampaikan Aspirasi

M Febriyanto Firman Wijaya
Peneliti Pusad Studi Anti Korupsi dan Demokrasi UMSurabaya Pemerhati Komunikasi Gaya Baru
Konten dari Pengguna
30 Juli 2021 18:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Febriyanto Firman Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
@studiostoks/shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
@studiostoks/shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pasca runtuhnya era orde baru saat ini di Indonesia memasuki era kebebasan berkomunikasi, pembicaraan politik di forum terbuka maupun di sosial media juga semakin terbuka, sehingga mengkritisi berbagai macam tentang kebijakan maupun jalannya pemerintahan menjadi hal yang biasa.
ADVERTISEMENT
Sesuai yang tertulis dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Dengan demikian kita sebagai rakyat Indonesia juga berhak untuk memberikan kritik serta solusi dengan berbagai macam cara dan gaya penyampaian.
Salah satunya dengan komedi, merupakan salah satu bentuk seni yang digunakan sebagai alat untuk menghibur. Di Indonesia sendiri komedi melekat dalam kesenian rakyat dengan keberagaman dan aneka jenisnya, seperti ludruk, ketoprak, wayang, dan lenong(Nastiti,2014)
Meski komedi bersifat menghibur juga terkadang terselipkan pesan-pesan sosial dan moral tiap kali pertunjukannya di gelar. Maka, komedi juga dijadikan sebagai media kritik, baik sosial maupun politik dengan gaya khas yang menyindir sesuatu, tanpa harus membuat yang dikritik tersinggung.
ADVERTISEMENT
Karena berbeda dengan demonstrasi yang lebih bersifat mengundang dan mengumpulkan massa yang banyak dan secara penyampaiannya juga lugas, sedangkan komedi sebaliknya yaitu tidak perlu mengundang massa yang banyak dan penyampaiannya pun bersifat lebih tenang dan santai.
Namun, dalam sejarahnya komedi sebagai salah satu alat penyampaian aspirasi ini juga dapat berujung pada represifnya pihak-pihak yang tidak suka terhadap kritikan tersebut. Hingga berjalannya waktu saat ini pun penulis merekam beberapa kasus yang menyeret komedian keranah hukum bahkan hingga pembunuhan.
Apakah Indonesia darurat komedi?
Pemikir budaya dari Rusia Mikhail Bakhtin (1984) berkata bahwa, 'suara yang kalah harus secara halus menanamkan kritik tanpa diketahui'. Adapun prinsip bahwa sejarah dituliskan oleh si pemenang, sementara yang kalah akan menuliskan komedi, dengan begitu kelompok-kelompok yang tereliminasi menjadikan komedi sarana untuk bertahan hidup dan juga melawan penindasan.
ADVERTISEMENT
Selaras dengan itu Sigmund Freud dalam Jokes and Their Relation to the Unconscious (1960) yang menyebutkan dua fungsi komedi.
Pertama adalah melerai ketegangan dan kecemasan. Scott Weems menjelaskan, di dalam komedi terdapat proses psikologi yang membuat manusia memberikan respons yang berlawanan dari kecemasan yang dia alami.
Tawa mampu meningkatkan pelepasan beta endorfin, bahan kimia yang mengikis depresi dan hormon pertumbuhan manusia alias HGH. Itulah mengapa orang cenderung lebih mudah menertawakan penderitaan, ketimpangan sosial, atau penindasan dengan cara paling tidak masuk akal sekalipun.
Fungsi Kedua, komedi bisa menjadi sarana kritik atau resistensi atas kondisi sosial dan politik. Freud menjelaskan, lelucon satire, ironi, atau sarkasme, adalah cara mengungkap kebenaran yang sukar diterima jika disampaikan apa adanya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di Indonesia sendiri banyak sekali komedian yang dalam lirik komedinya mengandung satire tentang kebijakan pemerintah, bahkan saat era penjajahan ada kisah Cak Durasim yang merupakan seniman ludruk asal Surabaya.
Saat pendudukan Jepang di Surabaya, ia bahkan diburu oleh tentara Jepang karena Joke ludruknya yang membuat resah tentara Jepang. Joke berbahasa jawa tersebut berisi “Pagupon omahe doro, dijajah Nippon tambah soro” yang artinya dalam bahasa Indonesia berarti ”Rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara” yang dimaksudkan bahwa Indonesia seperti rumah burung dara yang dalam hal ini berarti penjajah datang dan pergi, namun lebih sengsara lagi ketika dijajah oleh Jepang. Gara-gara guyonan inilah Cak Durasim dibunuh oleh tentara Jepang ketika ia sedang pentas di atas panggung dengan sebilah katana (Utomo, 2018).
ADVERTISEMENT
Kemudian setelah bertahun-tahun dari era penjajahan, pelawak Srimulat yang berkumis ala Charlie Caplin dan celana longgar hingga atas pinggang yaitu Jojon, harus berurusan dengan pemerintah Orde Baru karena lawakannya soal Presiden Soeharto.
"Kalau di uang Rp500 itu gambar monyet, kalau di Rp50 ribu itu bapaknya monyet," penggalan lawakan Jojon di salah satu stasiun TV nasional tahun 90an. Uang Rp50 ribu saat itu memang bergambar Soeharto yang menyebut dirinya sebagai Bapak Pembangunan.
Meski Jojon tidak sampai dihukum bahkan di penjara, ia mendapat teguran dari pemerintah, dan kasusnya hanya bergulir seminggu saja.
Berikutnya di tahun 80an ada grup lawak yang sangat legendaris Warkop DKI dengan personel Dono, Kasino dan Indro juga sering menyelipkan kritik-kritik cerdas dan elegan dalam film mereka, misalnya dalam adegan 'Depan Bisa Belakang Bisa' yang dirilis tahun 1987, dikutip dalam Nurhuda dan Liana (2014), menampilkan seseorang yang menanyakan tentang karyawan asing di perusahaan Kasino, mengapa perusahaannya mempekerjakan orang Barat(asing)?. Dengan lugas Kasino pun menjawab “Kami memang memperkerjakan orang Barat supaya perusahaan kami lebih bonafide”.
ADVERTISEMENT
“Memangnya kualitas orang asing itu lebih hebat?” sahut orang yang menanyakan tadi, dengan lugas pun Kasino membalas “Oh, soal kualitas itu no. 2, yang paling penting gengsinya dulu tuan”. Salah satu Adegan tersebut menggambarkan bahwa saat itu perusahaan-perusahaan yang ada di dalam negeri lebih memilih orang asing dibandingkan orang lokal dalam hal pekerjaan.
Padahal belum tentu orang asing tersebut lebih hebat dari orang Indonesia sendiri, karena gengsi maka dari itu perusahaan di Indonesia lebih banyak mempercayakan orang asing untuk bekerja di perusahaannya.
Dan yang trending tahun lalu, seorang komica yang terkenal dengan joke yang cerdas, Bintang Emon. Sebagai komica memang sudah tidak asing baginya untuk selalu membuat joke yang lucu dan membuat tertawa, namun kali ini ia membuat vlog dirinya tentang kasus penyiraman terhadap petugas KPK, sehingga membuat salah satu matanya cacat dikarenakan penyiraman air keras oleh oknum yang tidak dikenal.
ADVERTISEMENT
Walaupun tidak “dijaring” oleh pihak berwajib, namun Bintang Emon harus menelan pil pahit, pribadinya dituding menggunakan narkoba oleh beberapa pihak (Bernie, 2020; Indonesia, 2020).
Meski begitu dari rentetan kejadian yang represi maupun yang menyerang pribadi seseorang ini tak efektif dalam membungkam komedi. Sehingga bisa dikatakan, hari ini komedi yang menggelitik dan kritis masih diberi umur panjang, kendati sejarah komedi tetap diwarnai teror dan penangkapan dari penguasa yang mudah tersinggung.