Microphone Mati, tanda Darurat Demokrasi

M Febriyanto Firman Wijaya
Peneliti Pusad Studi Anti Korupsi dan Demokrasi UMSurabaya Pemerhati Komunikasi Gaya Baru
Konten dari Pengguna
11 Oktober 2020 18:24 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Febriyanto Firman Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi :MI/seno
Berbulan bulan tak kunjung ada perubahan yang signifikan dari penanganan COVID-19 di negeri ini, ditambah semakin carut marutnya demokrasi yang seolah berjalan bersebrangan antara kekuasaan dan rakyat.
ADVERTISEMENT
Padahal secara teoritis, demokrasi sejatinya kekuasaan yang dibangun dan ditegakkan diatas kehendak rakyat; dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Selaras dengan hal tersebut demokrasi mencita-citakan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi atau biasa disebut salus populi suprema lex.
Bahasan demokrasi dalam rumusan teoritis jika dikontekskan ke Indonesia bisa dikatakan belum menemukan habitusnya. Dengan kata lain demokrasi kita saat ini masih dalam keadaan macak (baca: bersolek diri) diwajah prosedural.
Meski kerap dibajak oleh para elitis dalam tikungan prosedural dengan tujuan memburu dan memupuk kekuasaan. Begitu juga dengan demokrasi kita saat ini bukan lagi sebagai cita ideal dari apa yang dibahas diatas, namun demokrasi kini hanya bergerak dalam poros kekuasaan antar kelompok elit politik.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, demokrasi menjelma menjadi elitkrasi yang mana kekuasaan dibangun di atas kemauan pribadi elit politik sehingga; dari elit, oleh elit dan untuk elit bersama komplotannya.
Dalam praktiknya beberapa hari lalu dalam rapat paripurna dalam membahas UU cipta kerja terjadi sebuah tindakan yang kurang demokratis dilakukan oleh ketua DPR RI dengan mematikan microphone dari salah satu anggotanya yang sedang memberikan tanggapan.
Perbuatan tersebut jelas sebagai tanda darurat demokrasi, dan jelas terlihat lebih otoriter dengan berkali-kali dilakukan saat salah satu anggota parlemen berbicara.
Demokrasi tak normal
Praktik oligarki para elit politik menjadikan demokrasi syarat dengan ketidak normalan. Hal tersebut bisa dilihat dari meluasnya hak-hak sipil-politik di satu sisi, sedangkan pada sisi yang lain hak sosial-ekonomi mengalami defisit.
ADVERTISEMENT
Meski hak sipil-politik rakyat ini terbuka secara luar namun bukan berarti rakyat menikmati sepenuhnya hak tersebut. Karena substansialnya hak-hak mereka kerap diplintir oleh elit politik untuk kepentingan oligarki semata.
Kesejahteraan yang digerus, pendidikan yang direstriksi, hingga budaya yang kerap dipolitisasi adalah pemandaan yang umum dan sering terjadi di negeri ini. Anomali demokrasi seperti ini semakin membuat rakyat jauh dari ideal demokrasi.
Jeffry A.Winters (Winters, 2012), menegaskan bergeraknya oligarki terjadi dari kekuatan pemerintah yang memegang otoritas dalam perizinan serta ditopang investor yang rakus, tujuannya untuk mendapatkan keuntungan tanpa memperdulikan lingkungan, kemudahan investasi, serta menegasikan hak dasar warga negara, walaupun jika harus dilindungi perundangan-undangan sekalipun.
Praktik dalam kasus dimatikannya microphone saat sidang paripurna DPR RI dalam memutuskan UU cipta kerja beberapa waktu lalu, sontak membuat publik geram dengan beranggapan bahwa hak bicara sebagai perwakilan rakyat dari fraksi demokrat sebagai representasi rakyat.
ADVERTISEMENT
Pasca kejadian tersebut terlihat bahwa demokrasi kita tidak normal, karena sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum dalam prosedur pembentukan dan substansi hukum juga penegakan hukum semua harus didasari asas dan prinsip hukum.
Dalam hal tersebut prosedur dan substansi hukum harus tunduk pada substantive due process of law, sedangkan bagaimana hukum itu dijalakankan harus tunduk pada procedural due of law.
Sehingga ketika menyentuh dalam procedural due of law maka partisipasi dari publik juga perlu diperhatikan dalam pembentukan sebuah produk hukum karena itu adalah bagian sendi demokrasi.
Maka dengan demikian ketika pemutusan UU cipta kerja terdapat tragedi seperti yang dibahas diatas, bisa dibilang merusak proses demokrasi kita dengan mematikan microphone akibatnya partisipasi publik yang dalam hal ini diwakilkan oleh anggota dewan(Fraksi Demokrat) tidak dapat tersampaikan secara tepat.
ADVERTISEMENT
Revitalisasi Cara Berpolitik
Demokrasi memang harus diposisikan kembali sebagai dasar untuk memperjuangkan kepentingan popular kerakyatan. Sebagai jalan terbaik dan solusi untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan revitalisasi cara berpolitik.
Salah satunya menyiapkan politisi-politisi adiluhung yang siap memanifestasikan politik yang berorientasi kerakyatan. Politisi yang siap mengabdikan dirinya demi terwujudnya kemaslahatan bersama dan bekerja di atas landasan kemanusiaan.
Politisi model adiluhung inilah yang senantiasa mengedepankan spirit kearifan dan kebijakan dalam mengartikulasikan kehendak politiknya.
Revitalisasi cara berpolitik disini kami tekankan proses kaderisasi untuk melahirkan politisi yang baik dan lebih memperhatikan hak-hak rakyat, ketika nanti sudah muncul sosok dari kaderisasi tersebut, maka ketika itulah rakyat menjatuhkan pilihan politiknya secara sehat akal budi dan hati nurani padanya.
ADVERTISEMENT
Bingkai dari kaderisasi tersebut juga pasti akan melalui proses pendidikan politik yang tekun dan telaten, walau saat ini banyak sekali pendidikan politik yang sudah ada, namun disayangkan hanya sebagai hiasan AD/ART bagi sebagian besar partai politik.
Oleh karena itu, pendidikan politik sebagai salah satu langkah merevitalisasi cara berpolitik yang diharapkan dapat dihadirkan lembaga-lembaga pegiat demokrasi, selain dapat menjadi agenda penting yang mendesak bagi partai politik untuk menjadikn pendidikan politik sebagai agenda utama.
Ketika pendidikan politik ini dapat direalisasikan dengan baik pada lapisan masyarakat sehingga melahirkan masyarakat yang melek akan politik, dan secara tidak langsung akan membuat demokrasi kita semakin sehat serta semakin berkeadilan.
Kejadian-kejadian mematikan microphone juga tidak akan terjadi ketika revitalisasi cara berpolitik kita baik, ditambah dengan situasi rasionalitas publik yang semakin sadar senantiasa melancarkan kritik kontruktif terhadap praktik kekuasaan yang sedemikian rupa akan lebih membuat demokrasi kita lebih berkeadilan.
ADVERTISEMENT