Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Konflik Militer Di Sudan: Perang Antara RSF dan SAF 2023
31 Desember 2023 16:26 WIB
Tulisan dari Muhammad Firdaus Rajendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudan merupakan sebuah negara di Afrika Timur Laut, yang dimana berbatasan dengan Laut Merah, Libya, Republik Afrika Tengah, Mesir, Ethiopia, Sudan Selatan, Chad, Dan Libya. Sudan telah mengalami beberapa konflik internal dari masa lalu, dimulai dari konflik perang saudara Sudan pertama (The First Sudanese Civil War) yang merupakan konflik dari tahun 1955 hingga 1972, dimana perang antara Sudan Utara dan wilayah Sudan Selatan diakarenakan menginginkan otonomi keterwakilan wilayah yang lebih besar dari wilayah lainnya, Dilanjutkan dengan perang saudara Sudan kedua (The Second Sudanese Civil War) yang berlangsung dari tahun 1983 hingga 2005. Konflik tersebut merupakan konflik diantara Pemerintah Sudan dengan Tentara Pembebasan Rakyat Sudan, perang tersebut sebagian besar merupakan perang brutal lanjutan dari perang saudara Sudan pertama yang mengakibatkan sekitar dua juta orang tewas.
Pada tanggal 15 April tahun 2023, Perang antara Perang Dukungan Cepat (RSF) dengan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan meledak. Konflik ini terutama merupakan konflik perebutan kekuasaan di antara kedua belah pihak. Faksi saingan dalam pemerintahan militer Sudan muncul selama bulan Ramadhan. Wilayah Darfur dan Khartoum yang merupakan ibu kota negara, merupakan wilayah yang paling banyak dilanda pertempuran oleh kedua faksi tersebut. Ribuan orang tewas dalam delapan bulan RSF dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) terlibat dalam pertempuran, yang diklaim PBB sebagai bencana pengungsian manusia terbesar dalam sejarah. Saat ini belum ada tanda-tanda akan berakhirnya pertempuran tersebut. Selain memenjarakan warga negara dan menghancurkan infrastruktur di masyarakat yang sudah dilanda kemiskinan ekstrem, kedua belah pihak telah didakwa oleh pengamat PBB atas kejahatan perang. Selain itu, terdapat bukti bahwa RSF dan pendukungnya membantai anggota kelompok etnis Afrika di Darfur barat, kemungkinan melakukan genosida yang sama seperti yang terjadi dua puluh tahun sebelumnya. Pertempuran antara kedua kelompok militer ini dipandang oleh diaspora Sudan sebagai perkembangan tragis terbaru bagi negara yang beberapa tahun lalu, tampaknya baru saja bangkit dari otoritarianisme selama beberapa dekade. Setelah berbulan-bulan melakukan protes jalanan, pasukan keamanan menggulingkan presiden lalim Omar al-Bashir pada tahun 2019. Namun, kekuatan yang sama kemudian melancarkan kudeta pada tahun 2021, mengakhiri transisi menuju pemerintahan demokratis yang dipimpin sipil dan memperburuk masalah yang mengarah pada perpecahan RSF dan SAF yang berperang pada bulan April tahun ini. Pada tanggal 23 Desember 2023, Perang ini mengakibatkan sekitar 5 juta orang menjadi pengungsi internal dan lebih dari 1,5 juta orang lainnya terpaksa meninggalkan negara tersebut sebagai pengungsi, serta banyak warga sipil tepatnya di Darfur tewas diakibatkan oleh pembantaian Masalit pada tahun 2023.
Pejabat tinggi kemanusiaan PBB di Sudan mengeluarkan peringatan pada bulan Oktober 2023, dengan menyebut pertempuran sengit yang sedang berlangsung sebagai penyebab “krisis pengungsi dengan pertumbuhan tercepat di dunia” yang mungkin menghambat upaya terbesar Organisasi tersebut untuk membantu kelompok yang paling rentan. Perang ini tentu mengakibatkan kerugian di negara Sudan dalam berbagai aspek dimulai dari aspek ekonomi hingga kemanusiaan, dan yang pastinya merusak infrastruktur yang ada pada negara tersebut diakibatkan oleh senjata udara yang akan menyebabkan krisis berkelanjutan. Bantuan Kemanusiaan PBB telah mencoba untuk membantu krisis kemanusiaan yang terjadi diakibatkan konflik antara faksi di Sudan, namun pejabat tinggi kemanusiaan PBB mengatakan bahwa penyaluran bantuan di zona perang sangatlah rumit, berbahaya dan memakan waktu, sering kali melibatkan negosiasi dengan berbagai kelompok bersenjata untuk mendapatkan akses ke komunitas terpencil, jelas pejabat PBB tersebut.
ADVERTISEMENT