Konten dari Pengguna

Dosen dan Guru: Pahlawan yang Perlu Tanda Jasa

Jonson Handrian Ginting
Dosen Departemen Antropologi Universitas Andalas dan Peneliti di Bidang Sosial dan Budaya
5 Agustus 2024 8:20 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jonson Handrian Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi beban kerja dosen (Sumber: https://pixabay.com/id
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi beban kerja dosen (Sumber: https://pixabay.com/id
ADVERTISEMENT
Mengawali tahun 2024 ini, muncul fenomena menarik di ranah akademik, yaitu viralnya tagar jangan jadi dosen (#janganjadidosen) di twitter. fenomena ini seakan menjadi ‘bau’ tak sedap bagi yang bercita-cita ingin menjadi dosen atau guru di Indonesia. Tweet-tweet yang mengusung tagar #janganjadidosen mengangkat kesejahteraan dosen sebagai isu utama. Tidak lama setelah itu, muncul juga tulisan-tulisan bebas seputar kegiatan dan gaji dosen yang mengkonfirmasi bahwa gaji yang diterima oleh dosen perbulannya masih jauh dari kata sejahtera.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan perspektif yang lebih baru tentang bagaimana sulitnya dosen-dosen muda bertahan hidup di awal karier sebagai dosen di perguruan tinggi. Kondisi ini jugalah yang dirasakan banyak dosen muda sampai saat ini. Isu kesejahteraan ini selalu menjadi topik yang selalu dibicarakan di saat dosen-dosen muda bertemu.
Pahlawan tanpa tanda jasa, inilah gambaran sosok tenaga pengajar (baik guru ataupun dosen) yang ditanamkan kepada banyak peserta didik di bangku Sekolah Dasar, termasuk saya. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang melakukan hal-hal besar atau berpengaruh dalam kehidupan orang lain atau masyarakat, namun tidak mendapatkan pengakuan atau apresiasi yang layak atas kontribusinya. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang bekerja keras, berjuang, atau berkorban tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan atau penghargaan.
ADVERTISEMENT
Sebelum pembahasan menukik pada hal yang sifatnya substanfit, menurut saya, penting untuk menjelaskan bagaimana awalnya idiom ini melekat pada guru. Disematkannya nama pahlawan pada profesi guru atau dosen bukan tanpa alasan.
Pada saat awal kemerdekaan Republik Indonesia, urgensi pahlawan yang berjuang dengan cara berperang dan bergerilya sangat besar porsinya, menjadi kekuatan terdepan demi meraih kemerdekaan. Seluruh masyarakat yang berjuang melawan Belanda mundur dari Indonesia berhak menyandang gelar pahlawan, menyandang gelar pahlawan artinya akan mendapatkan tanda-tanda jasa yang melekat pada nama atau dirinya.
Pada tahun 1950-an pasca Kemerdekaan Indonesia, muncul kesadaran bahwa perjuangan yang dilakukan selama ini dengan senjata dan darah tidak lagi begitu relevan karena faktanya Negara Indonesia sudah merdeka karena sudah tidak ada lagi yang menjajah. kesadaran ini kemudian memaksa pemerintah pada saat itu untuk mempersiapkan sumberdaya manusia yang unggul agar Indonesia menjadi negara yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya kesadaran ini merupakan bagian dari menjalankan perintah Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sini, istilah guru menjadi kian krusial karena gurulah yang akan menjadi agen perubahan, ia menjadi sosok yang mengajarkan ilmu pengetahuan di Sekolah. Pada tahap inilah profesi guru menjadi sorotan, kontribusinya mencerdaskan kehidupan bangsa dianggap bahkan setara dengan pahlawan.
Namun sangat disayangkan penyematan gelar pahlawan pada profesi guru tidak diikuti dengan tanda-tanda jasa yang melekat pada dirinya. Pahlawan tanpa tanda jasa menjadi idiom yang melekat pada guru, istilah ini mengundang simpati bahkan empati, itu sebabnya kenapa guru-guru dulu sangat dihormati oleh banyak kalangan, termasuk orang tua murid itu sendiri.
Permasalahannya adalah, Meskipun menjadi titik sentral dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa, berikut adalah beberapa hal yang menjadi perhatian dalam tulisan ini
ADVERTISEMENT
1. Gaji Awal yang Tidak Kompetitif
Memulai karier sebagai dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) membawa pengalaman yang unik dan menantang, terutama dari sisi finansial. Sebelumnya, saya bekerja di sektor lain dan mampu menghasilkan hampir dua digit setiap bulannya. Namun, ketika beralih menjadi dosen, saya mengalami finansial shock yang cukup signifikan. Gaji awal yang ditawarkan oleh PTN tempat saya bekerja adalah Rp2.900.000 per bulan.
Namun, karena status saya masih sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), gaji pokok yang diterima hanya 80% dari total tersebut, yaitu sekitar Rp2.320.000 per bulan. Kondisi ini berlaku untuk satu tahun. Perbedaan yang sangat mencolok ini menyebabkan penyesuaian yang tidak mudah. Dulu, dengan penghasilan yang lebih tinggi, saya dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan lebih leluasa.
ADVERTISEMENT
Sekarang, saya harus lebih bijaksana dalam mengatur keuangan dan menyesuaikan gaya hidup agar sesuai dengan pendapatan yang jauh lebih rendah. Ini adalah tantangan besar yang harus dihadapi oleh banyak dosen muda yang memutuskan untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan, meskipun pengorbanan finansialnya cukup besar.
Gaji tersebut mungkin aman-aman saja bagi pegawai yang belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga. Namun, bagi saya yang sudah menikah dan memiliki dua orang anak, hal ini menjadi cukup sulit. Kebutuhan keluarga, seperti susu dan popok, memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Dengan gaji yang didapat, memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi tantangan besar. Untungnya, kami masih memiliki tabungan dari pekerjaan sebelumnya. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama. Selama satu tahun, tabungan kami sebesar Rp25.000.000 habis hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
ADVERTISEMENT
Pengeluaran yang terus meningkat dan pendapatan yang terbatas membuat kami harus benar-benar bijak dalam mengatur keuangan. Tantangan ini tidak hanya mempengaruhi kondisi finansial, tetapi juga memberikan tekanan mental yang cukup besar.
Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya perbaikan dalam sistem penggajian dosen, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga. Dosen-dosen muda perlu dukungan yang memadai agar dapat fokus pada tugas utama mereka, yaitu mendidik dan menginspirasi generasi muda tanpa harus khawatir tentang masalah finansial yang mendesak.
2. Perbedaan Gaji Yang Kontras Dengan Negara Tetangga
Ketika membandingkan kondisi gaji dosen di Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia, perbedaan yang mencolok muncul ke permukaan. Di Malaysia, gaji awal seorang dosen di universitas negeri berkisar antara MYR 3,000 hingga MYR 5,000 per bulan, yang jika dikonversi ke rupiah, berada di rentang Rp10.000.000 hingga Rp16.500.000. Perbedaan ini sangat signifikan dibandingkan dengan gaji awal dosen di Indonesia yang hanya Rp2.900.000 per bulan, dan itu pun hanya 80% yang diterima jika status masih Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
ADVERTISEMENT
Meskipun biaya hidup di Malaysia relatif lebih tinggi, dosen di sana masih bisa menabung dengan jumlah yang signifikan. Dengan gaji yang lebih tinggi dan berbagai tunjangan, dosen di Malaysia dapat menjalani kehidupan yang lebih sejahtera dan masih memiliki kesempatan untuk menyimpan sebagian pendapatan mereka. Ini kontras dengan kondisi di Indonesia, di mana banyak dosen harus menghabiskan seluruh gaji mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, tanpa banyak sisa untuk ditabung.
Kondisi ini mencerminkan betapa pentingnya evaluasi terhadap sistem penggajian dosen di Indonesia. Tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan para pendidik, tetapi juga untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik di bidang pendidikan.
Dengan gaji yang lebih kompetitif, diharapkan dosen dapat lebih fokus pada tugas utama mereka, yaitu mendidik dan melakukan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Perbaikan sistem penggajian dan pemberian tunjangan yang memadai akan memberikan dampak positif yang besar terhadap kualitas pendidikan di Indonesia secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Untuk melengkapi gambaran tentang kondisi gaji dosen di Indonesia dan Malaysia, mari kita tinjau perbandingan gaji profesor di kedua negara ini. Gaji seorang profesor di Indonesia dan Malaysia mencerminkan perbedaan yang signifikan, baik dalam nominal maupun dalam kesejahteraan keseluruhan.
Di Indonesia, gaji seorang profesor di universitas negeri berkisar antara Rp10.000.000 hingga Rp15.000.000 per bulan. Meskipun ini adalah peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan gaji awal dosen, jumlah ini masih relatif rendah ketika mempertimbangkan tuntutan pekerjaan dan biaya hidup yang terus meningkat. Selain itu, tunjangan tambahan yang diberikan kepada profesor sering kali terbatas dan tidak selalu mencakup biaya yang diperlukan untuk penelitian atau pengembangan profesional lebih lanjut.
Sebaliknya, di Malaysia, gaji profesor di universitas negeri dapat mencapai MYR 10,000 hingga MYR 15,000 per bulan, atau sekitar Rp33.000.000 hingga Rp49.500.000. Ini adalah perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan gaji profesor di Indonesia. Selain gaji pokok yang lebih tinggi, profesor di Malaysia juga menerima berbagai tunjangan tambahan, seperti tunjangan perumahan, tunjangan penelitian, dan tunjangan kesehatan, yang secara signifikan meningkatkan kesejahteraan mereka.
ADVERTISEMENT
Perbedaan ini tidak hanya mencerminkan nilai finansial yang lebih besar, tetapi juga menunjukkan bagaimana dukungan institusional terhadap pengembangan profesional dapat mempengaruhi kualitas pendidikan dan penelitian. Profesor di Malaysia memiliki lebih banyak sumber daya untuk mendanai proyek penelitian, menghadiri konferensi internasional, dan mengembangkan keahlian mereka, yang pada akhirnya memberikan manfaat besar bagi mahasiswa dan lembaga mereka.
3. Akhirnya, dosen banyak ‘ngamen di luar kampus’
Di Indonesia, kecilnya gaji dosen memaksa banyak dari mereka untuk "ngamen di luar kampus". Istilah "ngamen" ini menggambarkan usaha mencari penghasilan tambahan di luar tugas utama mereka sebagai dosen, seperti menjadi konsultan, ikut proyek penelitian, atau bahkan mengajar di institusi lain. Akibatnya, waktu dan energi yang seharusnya difokuskan pada proses mengajar dan belajar di kampus menjadi terpecah.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini dapat berdampak negatif pada kualitas pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa. Ketika dosen harus membagi perhatian antara mengajar dan mencari penghidupan di luar kampus, mereka tidak dapat memberikan perhatian penuh pada pengajaran dan pengembangan kurikulum. Proses belajar mengajar yang ideal menjadi terabaikan, dan mahasiswa pun akan merasakan dampak dari kurangnya keterlibatan dan perhatian dosen terhadap mereka.
Lebih jauh lagi, "ngamen" di luar kampus juga dapat menciptakan ketidakstabilan dalam lingkungan akademis. Dosen yang tidak sepenuhnya terlibat dalam kegiatan kampus dapat menyebabkan ketidakcocokan antara materi ajar dan kebutuhan mahasiswa. Dengan kata lain, mahasiswa mungkin kehilangan kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan pengetahuan dosen yang seharusnya menjadi mentor mereka secara penuh.
Situasi ini semakin memprihatinkan ketika kita mempertimbangkan tantangan yang dihadapi oleh banyak dosen muda yang masih berusaha membangun karier mereka. Ketidakpastian finansial membuat mereka sulit untuk fokus pada penelitian atau pengembangan diri, karena mereka terpaksa mencari pendapatan tambahan demi kelangsungan hidup. Akhirnya, hal ini menciptakan siklus yang sulit diputus, di mana pengajaran dan penelitian berkualitas menjadi semakin sulit dicapai.
ADVERTISEMENT
Kondisi gaji dosen di Indonesia yang relatif rendah, terutama bagi dosen muda, telah menciptakan tantangan signifikan dalam menjalankan tugas mereka sebagai pendidik. Gaji yang tidak kompetitif memaksa banyak dosen untuk mencari penghasilan tambahan di luar kampus, yang berdampak negatif pada kualitas pengajaran dan perhatian yang dapat diberikan kepada mahasiswa. Perbandingan dengan negara tetangga seperti Malaysia menunjukkan adanya perbedaan mencolok dalam hal gaji dan tunjangan, di mana dosen di Malaysia memiliki kesejahteraan yang lebih baik dan kemampuan untuk fokus pada pengajaran dan penelitian.
Dalam konteks ini, penting untuk mengingat bahwa dosen dan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang berjuang untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa tanpa mendapatkan penghargaan dan pengakuan yang setara dengan kontribusi mereka. Meskipun mereka berperan sebagai agen perubahan dalam masyarakat, kondisi gaji dan tunjangan yang minim membuat banyak dari mereka harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Dampak dari rendahnya gaji ini tidak hanya dirasakan oleh dosen, tetapi juga oleh mahasiswa yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi mendalam terhadap sistem penggajian dan tunjangan bagi dosen di Indonesia.
Peningkatan kesejahteraan dosen akan berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan, menarik talenta terbaik ke dalam dunia akademik, dan memastikan bahwa generasi mendatang dapat menerima pendidikan yang memadai dan relevan.
Akhirnya, pengakuan yang layak terhadap peran dan kontribusi dosen serta guru sebagai pahlawan pendidikan perlu diwujudkan melalui pemberian tanda jasa dan penghargaan yang sesuai. Dengan memberikan dukungan yang memadai kepada para pendidik, kita tidak hanya menghormati jasa mereka, tetapi juga berinvestasi dalam masa depan bangsa yang lebih baik
ADVERTISEMENT