Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika Ayah Pergi: Refleksi dari Sebuah Kehilangan yang Mendalam
20 Agustus 2024 16:25 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Jonson Handrian Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ayah. Hening malam itu, suara adzan yang mengumandangkan waktu sahur terakhir Ramadhan tahun lalu masih terasa menyayat hati. Sebuah kabar yang paling tidak diharapkan hadir tiba-tiba, mengisi kekosongan yang baru saja tercipta: ayah telah tiada. Sebuah realitas pahit yang perlahan namun pasti mulai meresap ke dalam jiwa. Ayah, yang selama ini menjadi penopang utama keluarga, meninggal dunia karena serangan jantung. Sebuah penyakit yang mungkin sudah lama bersarang dalam tubuhnya, namun menjadi lebih parah akibat kebiasaan merokoknya yang tak pernah henti sejak masa mudanya. Kehilangan ini bukan hanya membawa duka mendalam, tetapi juga membuka kembali luka lama tentang pentingnya menjaga kesehatan dan kebiasaan hidup yang baik.
ADVERTISEMENT
Kehadiran seorang ayah dalam keluarga bukan sekadar sosok yang memberikan nafkah atau sekadar figur yang disegani. Lebih dari itu, ayah adalah landasan bagi anak-anaknya, pelindung yang selalu siap sedia, dan pengarah yang bijaksana dalam setiap keputusan besar dalam hidup. Ayah memberikan teladan dalam sikap dan tindakan, menunjukkan bagaimana menjalani hidup dengan tanggung jawab dan keberanian. Dalam banyak hal, ayah menjadi panutan yang diam-diam diikuti oleh anak-anaknya. Ketika ayah pergi, bukan hanya kehadirannya yang hilang, tetapi juga rasa aman, rasa percaya bahwa ada seseorang yang selalu ada untuk mendukung di saat-saat sulit.
Kehilangan seorang ayah adalah seperti kehilangan bagian dari diri kita sendiri. Ada kehampaan yang tidak bisa diisi oleh apa pun, bahkan oleh waktu sekalipun. Setiap momen yang biasanya dilalui bersama, kini berubah menjadi kenangan yang menggigit hati. Saat melihat kursi di meja makan yang kini kosong, atau mendengar ucapan-ucapan yang dulu selalu keluar dari mulutnya, hati ini terasa semakin berat. Ketika ayah masih ada, mungkin kita tak terlalu banyak memikirkan betapa pentingnya perannya dalam hidup kita. Namun, saat kepergiannya, kita baru menyadari betapa besar pengaruhnya. Tiba-tiba, banyak hal yang terasa berbeda; ada rasa kehilangan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Kehidupan berlanjut, tetapi tidak pernah sama lagi.
ADVERTISEMENT
Bagi seorang anak laki-laki, kehilangan ayah bisa berarti kehilangan cermin yang selama ini menjadi refleksi dari apa yang diinginkannya dalam hidup. Ayah adalah sosok yang, meskipun mungkin tidak banyak bicara, memberikan contoh melalui tindakan. Namun, ketika sosok itu tiada, ada rasa kekosongan yang sulit dijelaskan. Banyak hal yang tak sempat disampaikan, banyak kata yang tertahan, dan banyak perasaan yang tak sempat diungkapkan. Penyesalan datang, menyadari bahwa begitu banyak waktu terbuang untuk hal-hal yang seharusnya bisa diisi dengan kehangatan dan komunikasi yang lebih dalam.
Sering kali, saya tidak menyadari betapa ayah sebenarnya peduli dan bangga terhadap saya, hingga saya mendengar hal itu dari orang lain. Mereka menceritakan bagaimana ayah sering berbicara tentang pencapaian saya dengan bangga, sesuatu yang jarang ia ungkapkan langsung kepada saya. Di balik sikapnya yang tampak keras dan tak banyak bicara, ternyata ada kebanggaan yang besar terhadap apa yang telah saya capai. Salah satu momen yang paling membuat hati saya terenyuh adalah ketika beliau mengatakan kepada seseorang bahwa dirinya sendiri tidak tamat SMA, dan karenanya ia berharap saya bisa mencapai pendidikan setinggi-tingginya, hingga gelar S3. Kata-kata ini, yang disampaikan melalui orang lain, begitu menyentuh hati saya, mengingatkan betapa besar harapan dan cinta seorang ayah terhadap anaknya, meskipun sering kali tak diungkapkan secara langsung.
ADVERTISEMENT
Sebagai seseorang yang lahir dan besar dalam keluarga Karo, saya merasakan bahwa pendidikan di suku kami cenderung keras. Sejak kecil, kami dibesarkan dengan disiplin ketat dan sering kali disertai hukuman fisik. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, melainkan sebagai bentuk pembelajaran tentang ketangguhan dan keberanian dalam menghadapi hidup. Ayah, sebagai kepala keluarga, menjadi figur sentral dalam mendidik anak-anaknya. Namun, di balik kerasnya pendidikan tersebut, ada jarak yang tercipta, terutama antara ayah dan anak laki-laki. Komunikasi yang terbangun sering kali minim, dengan percakapan yang hanya seputar hal-hal penting saja. Tidak ada ruang untuk berbicara tentang perasaan atau pengalaman pribadi. Kami, anak laki-laki, tumbuh dengan pandangan bahwa ayah adalah sosok yang kuat dan tidak banyak bicara, tetapi di balik itu, ada banyak hal yang tidak terucapkan.
ADVERTISEMENT
Saya ingat bagaimana dalam banyak kesempatan, saya dan ayah hanya bertukar kata-kata singkat, tanpa ada percakapan mendalam. Setiap kali kami bertemu, hanya sedikit yang dibicarakan, dan sering kali, kami memilih untuk diam. Bukan karena tidak ada yang ingin dikatakan, tetapi karena ada semacam jarak emosional yang terasa sulit untuk dijembatani. Mungkin inilah yang membuat hubungan ayah dan anak laki-laki di suku Karo terasa berbeda. Meskipun ada rasa hormat dan kekaguman, ada juga rasa canggung yang tidak mudah diatasi. Ketika ayah masih ada, mungkin saya tidak terlalu memikirkan hal ini. Namun, saat kepergiannya, semua itu kembali menghantui. Air mata tidak dapat ditahan, setiap kenangan yang melintas di benak membawa penyesalan mendalam. Ada begitu banyak yang belum disampaikan, begitu banyak yang belum diketahui satu sama lain, dan sekarang semua itu terasa sia-sia.
ADVERTISEMENT
Saat ini, saya sudah menjadi seorang ayah. Perlahan, saya mulai memahami mengapa ayah cenderung tertutup dalam banyak hal. Menjadi seorang ayah membawa tanggung jawab yang besar, dan kadang-kadang, demi melindungi anak-anaknya dari kekhawatiran, seorang ayah memilih untuk menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri. Rasa tanggung jawab untuk memastikan bahwa segala sesuatu berjalan dengan baik bisa menjadi beban yang tidak mudah dibagi. Melalui pengalaman ini, saya belajar bahwa ada alasan di balik sikap ayah yang tampak tertutup. Meskipun mungkin tampak seolah-olah ia tidak banyak bicara atau menunjukkan emosinya, ternyata di balik itu ada perasaan dan pikiran yang sangat dalam. Saya mulai memahami bahwa ayah saya, seperti banyak ayah lainnya, berusaha melakukan yang terbaik dalam caranya sendiri, meskipun sering kali sulit dipahami oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
Penyesalan ini menjadi semakin nyata ketika menyadari bahwa waktu tidak dapat diputar kembali. Kehilangan ayah adalah kehilangan kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam, untuk memahami perasaannya, dan untuk menyampaikan apa yang sebenarnya saya rasakan. Ada begitu banyak hal yang ingin saya katakan, tetapi sekarang semuanya terasa terlambat. Rasa kehilangan ini bukan hanya tentang kepergian fisik, tetapi juga tentang kehilangan kesempatan untuk membangun hubungan yang lebih baik. Ayah telah pergi, dan dengan kepergiannya, saya menyadari betapa pentingnya setiap momen yang dulu mungkin dianggap sepele.
Penutup dari refleksi ini adalah bahwa kehilangan ayah membawa kita pada kesadaran akan betapa pentingnya waktu yang kita miliki bersama orang-orang yang kita cintai. Tidak ada yang tahu kapan kita akan kehilangan kesempatan untuk berbicara, untuk mengungkapkan perasaan, atau untuk mengenal satu sama lain lebih baik. Kehilangan ini mengajarkan kita untuk lebih menghargai setiap momen, untuk lebih terbuka dalam komunikasi, dan untuk tidak menunda-nunda hal-hal yang penting. Sebuah pelajaran yang datang dengan harga yang sangat mahal, tetapi juga membawa kesadaran yang mendalam tentang arti sebuah hubungan keluarga. Ayah mungkin telah tiada, tetapi kenangan dan pelajaran yang ditinggalkannya akan selalu menjadi bagian dari diri kita, mengarahkan langkah-langkah kita dalam menjalani hidup ini.
ADVERTISEMENT