Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Tantangan Menjadi Dosen Muda di Kalangan Gen-Z
11 Agustus 2024 9:02 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Jonson Handrian Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 2024 adalah tahun kedua saya berprofesi menjadi seorang dosen di salah satu PTN, tulisan ini adalah bagian dari refleksi menuju 1000 hari menjadi dosen. Menjadi dosen di era sekarang bukanlah hal yang mudah. Tantangan yang dihadapi semakin kompleks, seiring dengan perkembangan teknologi, tuntutan akademis, dan perubahan sosial yang cepat.
ADVERTISEMENT
Hal di atas langsung menjadi perhatian saya saat tahun pertama mengajar, bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar bagaimana generasi Y dan Z menyikapi perkuliahan, relasi dengan dosen dan proses belajar mengajar. pandangan ini pula yang menjadi dasar saya mengubah metode belajar. berikut adalah beberapa hal yang penting untuk diperhatikan bagi dosen-dosen muda.
Saya mulai menyadari bahwa Generasi Z, yang dikenal lebih suka menonton daripada hanya mendengar, memiliki preferensi yang sangat memengaruhi cara mereka belajar di perguruan tinggi. Mereka lebih memilih kuliah tatap muka daripada kelas online melalui Zoom atau platform sejenis.
Meskipun teknologi memungkinkan fleksibilitas, banyak dari mereka merasa kelas Zoom kurang memuaskan. Ini karena kelas online cenderung lebih banyak berfokus pada mendengarkan daripada interaksi visual dan langsung.
ADVERTISEMENT
Bagi Gen Z, belajar bukan hanya soal mendengar dosen berbicara. Mereka ingin melihat ekspresi dan bahasa tubuh dosen, serta berinteraksi secara langsung dengan teman-teman sekelas. Di dalam kelas fisik, mereka bisa lebih aktif terlibat dalam diskusi, presentasi, dan kegiatan kolaboratif yang melibatkan unsur visual.
Hal ini sering kali sulit dicapai dalam kelas online. Bagi mereka, pengalaman belajar yang lebih interaktif dan visual adalah kunci, membuat pertemuan tatap muka terasa lebih efektif dan memuaskan.
Dosen Bukan Guru Mengajar, Tapi Teman Belajar
Saat saya duduk di bangku pendidikan, bagi saya guru atau dosen adalah seorang yang punya hak prerogratif dan absolut, tidak ada satu pun yang boleh membantah karena membantah berarti melawan. Tapi, Generasi Z yang tumbuh di era digital, melihat peran dosen dalam pendidikan dengan cara yang berbeda. Bagi mereka, dosen bukan lagi sosok otoritatif seperti guru di sekolah, melainkan teman belajar yang bisa diajak berdiskusi. Dengan akses informasi yang begitu luas, Gen-Z cenderung lebih mandiri dalam belajar dan menganggap dosen sebagai rekan yang membantu mereka memahami materi, bukan sekadar mengajari.
ADVERTISEMENT
Generasi ini juga menyukai belajar secara kolaboratif. Mereka lebih tertarik pada pengalaman belajar yang interaktif, di mana mereka bisa terlibat langsung dan bertukar pikiran dengan dosen secara setara. Dosen yang mau mendengarkan dan terbuka terhadap ide-ide baru dianggap lebih relevan dan efektif. Hubungan antara dosen dan mahasiswa Gen-Z pun jadi lebih setara, di mana dosen berperan sebagai fasilitator yang membantu mengarahkan diskusi, bukan mendominasi.
Selain itu, Gen-Z melihat proses belajar sebagai sesuatu yang berlangsung seumur hidup, bukan hanya di ruang kelas. Mereka melihat dosen sebagai partner yang bisa membantu mereka mengeksplorasi berbagai sumber pengetahuan, baik di dalam maupun di luar kampus. Dengan cara ini, belajar jadi lebih fleksibel dan mahasiswa merasa lebih bebas untuk mengejar minat mereka dengan bimbingan dosen, tanpa terbebani oleh hierarki yang kaku.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, cara pandang Gen-Z ini mendorong perubahan dalam dunia pendidikan. Mereka menghargai pendekatan yang lebih personal dan relevan dengan kebutuhan mereka. Dosen kini bukan hanya pengajar, tetapi juga mitra dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kemandirian. Ini mengubah cara interaksi mereka dengan dosen dan memaksa institusi pendidikan untuk menyesuaikan metode pengajaran agar lebih sesuai dengan karakteristik generasi ini.
Rentang Perhatian yang Pendek
Meskipun belum ada penelitian yang tegas yang menyatakan hal ini, tapi saya merasakan bahwa Gen-Z memiliki rentang perhatian yang lebih pendek dibandingkan generasi sebelumnya. Mungkin ada pengaruh dari konsumsi konten yang serba cepat dan ringkas, seperti video TikTok atau unggahan media sosial lainnya, yang secara alami membentuk cara mereka memperhatikan dan memproses informasi. Akibatnya, ketika berada di lingkungan akademis yang menuntut konsentrasi lebih lama, seperti perkuliahan, tantangan besar bagi mereka adalah mempertahankan fokus dalam durasi yang panjang.
ADVERTISEMENT
Sebagai dosen, memahami karakteristik ini sangat penting untuk memastikan proses belajar-mengajar tetap efektif. Dosen perlu lebih kreatif dalam membagi waktu atau porsi belajar agar materi dapat disampaikan dalam format yang lebih menarik dan mudah dicerna oleh mahasiswa Gen-Z. Misalnya, alih-alih menyampaikan materi dalam satu sesi panjang, dosen dapat membagi perkuliahan menjadi beberapa segmen pendek dengan jeda interaktif di antaranya, seperti diskusi kelompok kecil atau aktivitas berbasis game, untuk menjaga keterlibatan mahasiswa.
Selain itu, presentasi Power Point yang digunakan dalam perkuliahan juga perlu disesuaikan dengan preferensi Gen-Z. Desain yang menarik dengan visual yang kuat, penggunaan infografis, serta slide yang singkat dan padat dapat membantu menjaga perhatian mereka lebih lama. Dosen juga bisa memanfaatkan media interaktif seperti video singkat atau kuis online yang diintegrasikan ke dalam presentasi untuk memberikan variasi dan menstimulasi keaktifan mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, menjadi dosen di era Generasi Z bukanlah perkara mudah, tetapi juga merupakan tantangan yang menarik. Untuk bisa beradaptasi dengan karakteristik unik generasi ini, kita perlu memahami apa yang mereka butuhkan dan inginkan dalam proses belajar mereka.
Generasi Z cenderung lebih suka belajar dengan cara yang interaktif dan visual, serta menghargai hubungan yang setara dengan dosen. Maka, penting bagi kita sebagai pendidik untuk mengubah cara mengajar kita menjadi lebih inovatif dan menyenangkan. Dengan menciptakan suasana belajar yang lebih kolaboratif dan mengajak mahasiswa terlibat aktif, kita tidak hanya mengajarkan materi, tetapi juga membantu mereka mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreativitas.
Melalui pendekatan ini, kita dapat membangun pengalaman belajar yang lebih berarti dan relevan, menjadikan pendidikan sebagai ruang eksplorasi yang mendorong mahasiswa untuk berkembang. Dengan demikian, kita semua berkontribusi dalam membentuk generasi masa depan yang siap menghadapi tantangan dunia yang terus berubah.
ADVERTISEMENT