Konten dari Pengguna

Zakat sebagai Solusi Kesejaheraan Sosial

Jonson Handrian Ginting
Dosen Departemen Antropologi Universitas Andalas dan Peneliti di Bidang Sosial dan Budaya
7 Agustus 2024 13:11 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jonson Handrian Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bayar zakat dengan uang.  Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bayar zakat dengan uang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan ini lahir dari hasil perbedaan fenomena yang penulis alami saat membayar zakat sebelum melaksanakan solat Idul Fithri 2024. Dari beberapa opini saya, tidak salah rasanya jika saya mengatakan bahwa zakat merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteran sosial apabila digunakan dan dikelola secara sistematis dan moderat. Saat itu, kami beserta keluarga bersepakat untuk melaksanakan Idul Fitri di kampung istri, di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT
Saat itu saya diberi sejumlah uang oleh mertua dan dimintai untuk membelikan beberapa kilo beras dengan timbangan tertentun, mertua saya mengatakan «tanyo sajo ukhang kode tu, bilang hondak mombolik bokhas untuk zakat» (tanyakan saja kepada orang yang di toko, bilang mau beli beras untuk zakat)
Sebenarnya saya bukanlah warga asli (KTP) Kota Tanjungbalai, saya lahir dan besar di salah satu kabupaten di Provinsi Aceh. Di kampung halaman, proses pembayaran zakat dilakukan cukup sederhana, baik mesjid Muhammadiah ataupun mesjid lainnya (baca: NU). Proses pembayaran zakat bisa dibayar dengan uang dan beras. Bagi orang-orang yang berprofesi sebagai pengusaha, tentu membayar dengan uang adalah opsi yang paling digemari demikian juga sebaliknya dengan masyarakat yang berpforesi sebagai petani, mereka akan memilih untuk membayar dengan beras karena dinilai lebih simple.
ADVERTISEMENT
Hal yang kontras berlaku di Kota Tanjungbalai, awalnya saya berkeyakinan bahwa salah satu mesjid, baik Muhammadiah atau mesjid lainnya akan menerima pembayaran zakat dengan uang. Saya berkeliling mengitari kampung dan berhenti di tiap mesjid, semua mesjid yang saya kunjungi, disudut kanan atau kirinya sudah ada tumpukan plastik putih tebal (seperti plastik gula yang tidak bermerek, tapi lebih tebal). Namun faktanya, tidak ada satupun mesjid yang menerima pembayaran zakat dengan uang. Mau tidak mau, akhirnya saya pergi ke kedai untuk membeli beras, masing-masing orang 2.7 kg dan saat itu ada 11 orang yang harus saya bayarkan zakatnya. Walhasil, beras dengan berat 27 kilo lebih itu saya angkat sendiri ke mesjid yang terdekat.
ADVERTISEMENT
Dalam Agama islam, zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam yang memiliki peran krusial dalam menciptakan kesejahteraan sosial. Dalam konteks ini, zakat berfungsi sebagai alat untuk mendistribusikan kekayaan dari mereka yang kaya kepada yang miskin, membantu mengurangi ketimpangan ekonomi dan memberikan bantuan langsung kepada yang membutuhkan. Dengan dana zakat yang terkumpul, masyarakat yang kurang mampu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal, memastikan akses yang layak bagi semua anggota masyarakat.
Perbedaan pendapat tentang asnaf zakat, yaitu kelompok yang berhak menerima zakat, adalah hal yang wajar dan telah berlangsung sejak masa awal Islam. Asnaf zakat disebutkan dalam Al-Qur'an, tepatnya dalam Surah At-Taubah ayat 60, yang menyebutkan delapan golongan penerima zakat: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, riqab (hamba sahaya yang ingin memerdekakan diri), gharim (orang yang berhutang), fi sabilillah (untuk jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal).
ADVERTISEMENT
Namun, interpretasi dan penentuan siapa yang masuk dalam kategori-kategori ini seringkali memunculkan berbagai pandangan di kalangan ulama dan cendekiawan Islam. Sebagian ulama menginterpretasikan kategori fakir dan miskin secara luas, mencakup mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Namun, ada juga yang memberikan batasan lebih spesifik, seperti mempertimbangkan penghasilan bulanan atau tingkat kepemilikan harta.
Golongan amil zakat, yang bertugas mengelola dan mendistribusikan zakat, juga menjadi sumber perbedaan pendapat. Beberapa ulama menyatakan bahwa amil hanya berhak menerima upah jika mereka memang sepenuhnya bekerja mengurus zakat, sementara yang lain berpendapat bahwa amil bisa mendapatkan bagian dari zakat sebagai penghargaan atas usaha mereka, meskipun mereka memiliki sumber penghasilan lain.
Dalam hal muallaf, ada perbedaan pandangan tentang siapa yang layak menerima zakat di bawah kategori ini. Beberapa ulama menganggap muallaf sebagai orang yang baru masuk Islam dan membutuhkan dukungan untuk memperkuat keimanan mereka, sedangkan yang lain memandang muallaf bisa juga termasuk non-Muslim yang menunjukkan minat pada Islam dan bisa didekati melalui pemberian zakat untuk mendukung dialog dan perdamaian.
ADVERTISEMENT
Kategori fi sabilillah, yang sering diartikan sebagai perjuangan di jalan Allah, juga menjadi titik perbedaan. Sebagian ulama memandangnya secara sempit sebagai dukungan bagi jihad atau perang, sementara yang lain mengartikannya lebih luas, mencakup berbagai bentuk kegiatan yang mendukung kebaikan umum dan dakwah, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan bantuan sosial.
Gharim atau orang yang berhutang juga memicu diskusi. Ada ulama yang berpendapat bahwa hanya mereka yang berhutang untuk kebutuhan dasar yang layak menerima zakat, sementara yang lain mengizinkan pemberian zakat kepada mereka yang berhutang untuk keperluan bisnis, selama itu halal dan bermoral.
Riqab, atau hamba sahaya yang ingin memerdekakan diri, merupakan kategori yang di masa kini menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya, mengingat perbudakan tidak lagi ada secara resmi. Beberapa ulama menyarankan agar kategori ini diterapkan untuk program-program yang membebaskan orang dari bentuk-bentuk perbudakan modern atau penindasan. Dan yang terakhir adalah ibnu sabil, atau musafir yang kehabisan bekal, juga ditafsirkan secara berbeda. Ada yang menekankan bahwa hanya musafir yang benar-benar kehabisan bekal yang berhak menerima zakat, sementara yang lain memperluasnya untuk mencakup mereka yang mengalami kesulitan saat bepergian untuk tujuan yang sah dan baik.
ADVERTISEMENT
Perbedaan pendapat ini mencerminkan dinamika pemikiran dalam Islam dan menunjukkan fleksibilitas syariat dalam menyesuaikan diri dengan konteks zaman dan tempat. Para ulama terus berdiskusi dan memberikan fatwa berdasarkan kondisi masyarakat yang berubah, dengan tujuan utama memastikan zakat tetap berfungsi sebagai instrumen kesejahteraan dan keadilan sosial.
Dalam hal ini, dimana masih terdapat ruang-ruang yang bisa dielaborasikan dengan ide-ide yang lebih baru terkait penggunaan uang zakat, misalkan zakat digunakan mendukung program kesehatan dan pendidikan, memberikan akses yang lebih baik kepada layanan ini sehingga masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidup mereka dan memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Praktik zakat memperkuat ikatan sosial dan solidaritas antar anggota masyarakat, di mana individu merasa terhubung dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain, menciptakan rasa komunitas yang kuat dan saling peduli. Tidak hanya itu,d istribusi kekayaan yang lebih merata melalui zakat juga membantu menciptakan stabilitas ekonomi. Ketika orang-orang miskin mendapatkan dukungan, daya beli mereka meningkat, merangsang ekonomi lokal dan nasional. Dengan mengurangi kemiskinan, potensi untuk kejahatan dan konflik sosial juga berkurang, menciptakan lingkungan yang lebih aman dan damai.
ADVERTISEMENT
Dana zakat dapat digunakan untuk mendanai program pemberdayaan ekonomi seperti pelatihan keterampilan, pemberian modal usaha, dan proyek pembangunan komunitas, membantu individu dan keluarga menjadi mandiri secara finansial. Praktik zakat mengajarkan nilai-nilai kebaikan, kemurahan hati, dan tanggung jawab sosial, membangun karakter dan moral individu yang lebih baik dan mempengaruhi masyarakat secara positif.
Dengan demikian, zakat memainkan peran penting dalam mencapai kesejahteraan sosial, tidak hanya dengan memberikan bantuan langsung kepada yang membutuhkan, tetapi juga dengan menciptakan sistem yang mendukung pembangunan ekonomi dan sosial jangka panjang.
Sebagai simulasi, kami akan menjadikan data Kota Tanjungbalai sebagai contoh untuk menjelaskan berapa dana yang dikumpulkan melalui zakat. Di Kota Tanjungbalai, jumlah penduduk tercatat sebanyak 183.170 jiwa. Dari total jumlah penduduk ini, 84.67% adalah penduduk muslim yang wajib membayar zakat fitrah. Berdasarkan perhitungan, jumlah penduduk muslim yang wajib membayar zakat fitrah adalah sekitar 154.972 jiwa. Setiap penduduk muslim wajib membayar zakat fitrah sebanyak 2.7 kilogram beras. Maka, total beras yang harus dibayarkan oleh seluruh penduduk muslim di Kota Tanjungbalai adalah sekitar 418.424 kilogram. Dengan harga beras per kilogram sebesar Rp13.000, apabila dikalikan antara harga beras dan jumlah kilo beras yang dibayarkan, maka total dana atau jumlah dana zakat fitrah yang terkumpul dari penduduk muslim di Kota Tanjungbalai diperkirakan mencapai Rp5.439.512.000. tapi jika beras yang dibayarkan adalah beras super yang Rp16.000, maka dana yang terkumpul adalah Rp6.694.784.000.
ADVERTISEMENT
Di bawah pengelolaan yang profesional dan amanah, dana zakat dapat disalurkan secara efisien kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, membantu mengurangi kemiskinan, mendukung pendidikan dan kesehatan, serta memberdayakan ekonomi masyarakat. Dengan distribusi yang merata dan tepat, zakat dapat menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi, memperkuat solidaritas dan rasa tanggung jawab sosial, serta meningkatkan kualitas hidup seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, di tangan yang tepat, zakat akan menjadi instrumen yang efektif dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera dan adil.